MESKI sama-sama menggunakan peristiwa hijrah Nabi Muhammad dari Mekah ke Madinah sebagai tumpuan, penghitungan tahun hijriah versi Persia berbeda dari penghitungan tahun hijriah dalam versi Arab. Jika penghitungan versi Arab menggunakan penanggalan bulan, penghitungan versi Persia menggunakan penanggalan matahari. Tahun baru hijriah versi Persia (Nowruz) dimulai tepat pada ekuinoks musim semi, yakni titik lintasan matahari yang melintasi ekuator langit dan bergerak dari selatan ke utara.
Setiap menjelang tahun baru diadakan festival dan sebagai bagian dari festival tersebut ada satu tradisi dalam kebudayaan Persia yang disebut Chaharshanbeh Suri; suatu pesta (kembang) api untuk merayakan hari Rabu terakhir di tahun yang sedang berlangsung.
Sebagaimana ekuinoks musim semi, hari Rabu juga merupakan titik tengah yang memisahkan jumlah tujuh hari dalam seminggu.
Titik tengah, di mana sesuatu yang baru dimulai tepat ketika sesuatu yang lama diakhiri, merupakan kunci dalam film Chaharshanbeh Suri (2006, Fireworks Wednesday) karya Asghar Farhadi. Perayaan Chaharshanbeh Suri ─tepatnya sehari sebelum hari Rabu terakhir tahun itu─ juga dipergunakan sebagai latar waktu di mana keseluruhan peristiwa berlangsung, dari pagi sampai malam.
Pusat cerita Firewoks Wednesday terletak pada krisis rumah tangga pasangan Mozhdeh Samiei (Hedieh Tehrani) dan Morteza Samiei (Hamid Farokhnezhad). Mozhdeh curiga suaminya berselingkuh dengan Simin (Pantea Bahram), seorang janda, tetangga apartemen mereka, yang membuka salon kecantikan di kamarnya.
Namun, kita tidak langsung dibawa ke pusat cerita. Kita akan diantar oleh Rouhi (Taraneh Alidoosti), seorang perempuan muda yang akan segera menikah. Rouhi yang tinggal jauh dari Tehran, mendapat panggilan dari agensi tenaga kerja untuk bekerja sebagai asisten rumah tangga selama sehari di Heravi Square, Tehran. Di kawasan itulah letak apartemen yang dihuni pasangan Samiei, dan di rumah tangga Samiei itu Rouhi akan bekerja.
Sampai di sini bisa dilihat jalinan makna antara latar waktu dan latar cerita. Keduanya sama-sama menghadirkan titik tengah sebagai kunci. Rumah tangga Samiei yang memperlihatkan tanda-tanda akan berakhir berhadap-hadapan dengan rumah tangga Rouhi yang baru menjelang. Upaya seorang istri membongkar perselingkuhan suaminya adalah pintu untuk tema yang lebih dalam, yakni perubahan cara pandang terhadap pernikahan dalam benak seorang perempuan muda yang akan segera menikah. Tema ini bisa berkembang lebih jauh oleh kemungkinan narasinya; bagaimana alam pikir konservatif memandang fakta modernitas dalam konteks pernikahan dan rumah tangga. Rouhi mewakili sosok konservatif yang tinggal jauh dari pusat kota Tehran. Sementara pasangan Samiei mewakili sosok modern dengan prinsip privasi dan kemandirian pribadinya.
Asghar Farhadi (bersama Mani Haghighi) meletakkan Rouhi, yang tidak terlibat langsung dengan peristiwa yang menjadi topik cerita, sebagai tokoh utama. Mirip dengan posisi A’la dalam film Asghar sebelumnya, Beautiful City (2004). Rouhi cuma asisten sementara yang secara logis tak berkepentingan dengan urusan rumah tangga majikannya. Bahwa pada akhirnya ia dilibatkan, dan kemudian melibatkan diri, itu adalah konsekuensi dari kehadirannya sebagai persona.
Bagi kita, protagonis cerita adalah Rouhi, sebab melalui sosok inilah kita memasuki cerita. Namun, dalam konteks cerita, Mozhdeh adalah sang protagonis, sebab ia adalah sosok yang punya keinginan, dalam hal ini keinginan membuktikan dugaannya perihal perselingkuhan sang suami. Parasnya yang hampir selamanya tegang dan awas terhadap tiap tanda menajamkan sifat aristokrasi kelas atas yang menjadi pembawaannya, dan bagaimana sifat tersebut bertahan habis-habisan dari tekanan mental akibat obsesi pembuktian dan pertengkaran terus menerus menimbulkan pula kesan rapuh dan layu.
Penyejajaran dua perempuan, yang di satu titik bertemu dalam situasi kontras (Mozhdeh diambang perpisahan sementara Rouhi menjelang pernikahan) memberikan perspektif feminin bagi film ini.
Dalam upaya membuktikan perselingkuhan suaminya Mozhdeh beberapa kali memanfaatkan Rouhi, hal yang sama dilakukan pula oleh Morteza. Rouhi seperti berfungsi sebagai proksi dalam seteru rumah tangga itu. Sementara kehadiran Simin, yang bagi Rouhi sangat baik hati, turut membuat Rouhi kian jauh terlibat, meski ia sebetulnya belum sungguh-sungguh tahu apa yang terjadi. Kepolosan dan sifat kekanak-kanakan pada diri Rouhi membuat ia beberapa kali berbohong. Namun, kebohongan itu bukan dimaksudkan sebagai persekongkolan, melainkan reaksi spontan dalam menghadapi situasi.
Meski begitu, apakah Morteza benar-benar berselingkuh dengan Simin bukan rahasia yang dipedulikan oleh film ini. Kita sudah tahu faktanya sebelum mereka yang berkepentingan dalam cerita mengetahuinya.
Lebih lanjut, jika titik tengah adalah kunci yang dibentuk dari hubungan makna antara latar waktu dan struktur cerita, api adalah kunci lainnya. Api merupakan simbol utama dalam perayaan Chaharshanbeh Suri. Api juga punya watak ganda; ia bisa menghancurkan tapi juga bisa membentuk. Kita bisa melihat semacam oksidasi yang ditimbulkan para tokoh, yang menyebabkan munculnya api, dan pada gilirannya membakar satu hal, sekaligus membentuk hal baru. Api juga muncul dalam bentuk verbal melalui korek api yang merupakan petunjuk penting dalam cerita, serta tentu saja kembang-kembang api yang tiada henti meletus di luar gedung apartemen.
Secara indrawi film ini memang menampilkan kesan kacau yang seakan bersahut-sahutan. Selain bunyi kembang api yang tak henti-henti, serta simpang siur orang-orang yang bersiap merayakan tahun baru, situasi di dalam apartemen juga tak kurang berantakannya. Apa yang pertama-tama dilihat Rouhi, yang berarti juga apa-apa yang kita lihat, dalam apartemen keluarga Samiei adalah kaca jendela yang pecah; barang-barang berserakan yang belum ditata ulang setelah rencana mengecat ulang apartemen itu; serta Morteza yang tangannya diperban, dan sibuk menjawab telepon, sambil repot mencari korek api untuk membakar rokok.
Pada banyak adegan ditampilkan pula situasi polilog dengan interupsi yang bisa muncul setiap saat di antara para karakter, bercampur suara tangis anak-anak. Semua itu memberi kesan seakan-akan ada “perang” sungguhan; kembang api dan orang-orang di luar apartemen serupa para pemberontak yang menguasai kota dan mengepung apartemen tempat penerapan kehidupan modern berlangsung ─sementara di dalam apartemen itu juga terjadi perang yang lain.
Di sela-sela keadaan konstan itu, sinematografi yang dikerjakan Hossein Jafarian merakit beberapa gambar yang memikat mata. Satu yang paling cemerlang adalah rangkaian adegan ketika Morteza melihat Mozhdeh, dari jendela lantai atas kantornya, sedang berjalan mengenakan chudor (cadar) milik Rouhi untuk mematai-matai suaminya. Morteza turun menggunakan lift, kamera turut berada di dalam lift. Namun, ketika Morteza keluar dari lift, berlari ke jalanan, dan memukuli istrinya, kamera tetap berada dalam lift sehingga adegan pemukulan itu hanya bisa kita lihat dari jauh, tentu saja tanpa suara. Kamera bahkan tetap berada dalam lift ketika lift kembali naik.
Siasat ini pertama-tama menghindarkan adegan pemukulan tersebut dari histeria. Kedua, siasat ini juga mencegah adegan menjadi anti-klimaks, sebab sebagai bagian dari rangkaian adegan, pemukulan di jalan itu cuma awal dari pertengkaran selanjutnya yang berlangsung di rumah. Adegan pertengkaran itu kemudian menjadi klimaks. Adegan yang sungguh-sungguh menyerap emosi, memancarkan cekaman, dan menciutkan keberadaan kita ke dalam semesta fiksional yang digarap sungguh-sungguh nyata.
Topik rumah tangga dalam Fireworks Wednesday dari matra sosiologis dan antropologisnya mengantar kepada tema bagaimana dunia tradisional, atau konservatif, tidak terhindarkan bertransformasi menuju dunia modern, tapi secara halus juga menginterogasi dan menggugatnya.
Tanda penting dibubuhkan pada objek chador (cadar) sebagai representasi dari dunia tradisional. Pada adegan awal ketika Rouhi diantar calon suaminya, Abdolreza (Houman Seyyedi), menuju kantor agensi, di tengah jalanan yang di sisi-sisinya tampak sisa-sisa salju, chador Rouhi jatuh, dan mereka harus berhenti sebentar untuk memungutnya. Peristiwa sepele yang tampak tak berarti apa-apa itu bisa dibaca sebagai tanda jatuhnya budaya tradisional dalam perjalanan menuju modernitas. Tafsir ini akan kelihatan memiliki pegangan oleh kenyataan yang muncul di akhir cerita, yakni tertinggalnya chador itu di apartemen keluarga Samiei, sementara Rouhi sendiri pulang sembari membawa tanda modernitas di alisnya, hasil permak salon kecantikan Simin.
Abdolreza memuji Rouhi yang di matanya tampak lebih cantik dengan model alis baru, tapi ia jelas tidak tahu bahwa apa yang dilihat dan dialami Rouhi selama sehari di apartemen keluarga Samiei bagai kursus berumah tangga yang akan dibawanya sebagai pelajaran bagi dirinya, yang bisa jadi akan mengubah pandangannya tentang pernikahan. [T]
Penulis: Kiki Sulistyo
Editor: Adnyana Ole