YONINÉ GENTOSIN: Mengubah Kualitas Kelahiran Perspektif Ida Padanda Made Sidemen[i]
NUN di sebuah wilayah bernama Canggu yang kini menitis menjadi tempat bergumul para turis, Ida Padanda Made Sidemen mulai menulis tapak perjalanan hidupnya. Kala itu, beliau sudah berumur delapan puluh tahun, tetapi masih aktif dalam pengabdian di bidang seni rupa yang beliau istilahkan dengan walatanda. Usai mewarnai topeng sungsungan masyarakat setempat, sembari menunggu kendaraan untuk pulang ke Sanur, beliau menggurat sebuah karya sastra yang kini masyur dengan judul Geguritan Salampah Laku. Beliau sendiri sejatinya memberi judul karya ini dengan sebutan Tembang Pamancangah[ii] yang artinya‘nyanyian sejarah [perjalanan hidup]’.
Karya yang diselesaikan pada tahun 1780 Saka atau 1858 Masehi itu ditujukan untuk putrinya bernama Ida Ayu Pidin. Alih-alih menyebut karya ini sebagai suatu autobiografi yang penuh dengan muatan hal-hal inspiratif untuk diteladani, Ida Padanda Made Sidemen justru menyatakan karyanya hanya sebatas luun palangkiran‘sampah sisa sesajen yang dihaturkan di sebuah tempat pemujaan kecil di dalam rumah’. Ungkapan ini barangkali cara pengarang untuk merendahkan hati ketika hendak menutup karyanya. Namun, pilihan kata ini terasa sangat khas-original yang menjadi gaya bahasa (stylistic) Ida Padanda Made Sidemen. Pada bagian lain, beliau menyebut aktivitas berkaryanya tak lebih dari Gandha Sesa‘sisa aroma setelah mengikuti jejak Bhagawan Byasa dalam bidang candi bahasa-kesusastraan’ dan Bhasma Sesa‘sisa abu pembakaran setelah mengikuti takik kerja Bagawan Wiswakarma dalam bidang tata ruang-kearsitekturan’.
Dalam konteks luun palangkiran, kata luu berhubungan dengan sisa sesuatu yang tidak berguna, dan kata palangkiran berasosiasi dengan ruang dan orang yang terbatas, yaitu keluarga: istri dan putrinya. Mengikuti pola konsisten Ganda Sesa dan Bhasma Sesa, jejak siapakah yang beliau teladani? Sebagai Padanda Siwa, kemungkinan besar adalah Hyang Siwa sebagai asal dan tujuan seluruh kehidupan di dunia [sangkan paraning sarāt]. Ketika hidup telah sepenuhnya diabdikan untuk Siwa, maka karya tulis tentang dirinya sendiri, tidak lebih dari sekedar luun palangkiran.
Meski ditujukan untuk lingkup kecil, nyala makna kehidupan yang terpendar dari Geguritan Salampah laku ternyata banyak menyinari langkah orang. Tak sedikit ungkapan Ida Padanda Made Sidemen dalam karya sastra tersebut yang kemudian menjadi sangat populer seperti nandurin karang awak ‘menanami lahan diri’, mayasa lacur ‘menjadikan kemiskinan sebagai tapa’, guna caraning wong dusun ‘keterampilan untuk mengabdi di desa’, dan yang lainnya. Ungkapan-ungkapan tersebut tentu tidak lahir dari ruang hampa, tetapi dari kristalisasi proses panjang memaknai suka-duka kehidupan[iii].
Konon, pertemuan dengan duka sekaligus luka mengajarkan manusia lebih banyak hal tinimbang perjumpaan dengan suka cita yang sementara. Pun juga ujian hidup akan melapangkan kesabaran manusia lebih luas, daripada pujian yang sering membuat jumawa.
Sampai di titik ini, kita tentu bertanya, dalam putaran jantra kehidupan apa sesungguhnya seorang Ida Padanda Made Sidemen merasa berada di posisi terbawah? Jawaban atas pertanyaan ini tidak akan kita cari di tempat lain, tetapi di dalam Geguritan Salampah Laku sendiri. Sebab, dalam karya ini Ida Padanda Made Sidemen hadir sebagai pencerita sekaligus tokoh dalam cerita yang dinarasikannya. Karya sastra yang tidak terlalu panjang ini dapat dipastikan memuat serpih-serpih kehidupan terpenting dari seorang Ida Padanda Made Sidemen. Beliau memilih untuk mencatatkannya dalam gurat-gurat aksara. Barangkali beliau sadar betul bahwa yang terucap akan lenyap dilahap udara, sedangkan yang ditulis akan abadi disimpan aksara.
Pakeling Salampah Laku
Menariknya, dalam kisah hidup yang ditulis sendiri, Ida Padanda Made Sidemen memuat bagian-bagian perjalanan hidup terjal dan berkerikil yang pernah dilewatinya. Beliau menunjukkan sisi-sisi kemanusiannya yang apa adanya, seperti sedih, lemah, memerlukan pertolongan, belas kasihan orang, dan seterusnya. Beliau tampaknya sadar betul hakikat kepemilikan atas tubuh yang tidak terhindarkan, seperti yang diingatkan dalam pustaka Dharma Pātañjala: apan jātiniṅ māvak juga hanaṅ lāra ‘karena hakikat memiliki tubuh adalah adanya penderitaan’[iv].
Ini tentu berbeda dengan teknik penulisan babad yang ditulis dengan bentang waktu yang jauh dengan kisah hidup pelakunya. Babad sebagai karya sastra sejarah memang sedari awal ditulis untuk memuliakan sisi-sisi baik leluhur sehingga terkesan tanpa cela. Tanpa disadari teknik itu juga potensial menyebabkan seseorang dikira sebagai figur mitologis, bukan historis. Sebagai figur historis, cerita hidup yang pertama kali dituturkan oleh Ida Padanda Made Sidemen adalah perjalanannya ketika memasuki dwara berumah tangga. Mari kita simak bagian pembuka Geguritan Salampah Laku di bawah ini.
Hana wong pangresek jagat, tan peguna tiwas lekig, kewala uning mangucap, kadi pangucining paksi, wawu sumrangsang aksi, tahun kalih dasa pitu, pakebure manglayang, maninggalin yayah bibi, ngungsi dusun, lumayati wong kanyaka. (Geguritan Salampah Laku, Pupuh Sinom: 1)
Terjemahan
Ada orang yang hanya menjadi penyesak dunia, tiada berguna [karena] miskin dan malas, hanya bisa berkata, seperti kicauan burung, yang baru membuka mata, pada umur dua puluh tujuh, pergi mengembara, meninggalkan ayah-ibu, menuju desa, melarikan seorang gadis.
Dalam usia yang cukup matang, yaitu 27 tahun Ida Padanda Made Sidemen memutuskan untuk mengarungi kehidupan berkeluarga. Pada masa itu, beliau menikahi seorang gadis dari wilayah Sanur. Namun sayang, pernikahan dengan gadis yang dicintainya itu ternyata mendapatkan penolakan dari pihak keluarga sang istri. Oleh sebab itu, setelah menikah ia memutuskan untuk nyelong raga: serupa laku “menghukum diri” atas keberaniannya mengambil seorang anak gadis dari keluarga yang terhormat[v]. Beliau sendiri mengistilahkannya dengan lumayati wong kanyaka. Dalam bahasa Bali yang lebih sederhana, pernikahan itu dilakukan dengan cara ngerorod.
Nyelong raga ini barangkali usaha beliau meredam konflik. Kadang suatu masalah bisa dipecahkan tanpa perlu buru-buru, tetapi cukup meminta bantuan Sang Waktu. Dan Ida Padanda Made Sidemen tampaknya memilih hal itu. Para musafir menyatakan: tak akan pernah ada cerita tentang cinta tanpa teman setianya yang bernama derita.
Pada masa ini, Geguritan Salampah Laku menceritakan bahwa beliau memutuskan untuk mengembara ke berbagai pelosok desa. Ida Padanda Made Sidemen juga mengakui bahwa dirinya kerap meminta makanan kepada orang-orang desa yang berbelas kasihan kepadanya (ngahasi desa met nasi). Bahkan, tidur di jalan pun biasa dilakoninya bersama istrinya (asring anginep ring awan). Ida Padanda Made Sidemen benar-benar berumah di semesta. Beliau menjadikan langit sebagai atap rumah, tanah sebagai tempat tidur, dan orang-orang sebagai bagian dari keluarga tanpa memandang asalnya. Kita dapat membayangkan, betapa kehidupan beliau sepenuhnya bergantung pada berkah semesta melalui uluran tangan-tangan masyarakat di desa.
Tak diketahui dengan pasti berapa lama masa sulit tersebut dilalui oleh Ida Padanda Made Sidemen. Beliau akhirnya memutuskan untuk kembali ke Intaran. Setelah sampai di tanah kelahirannya itu, beliau mengisahkan perjalanan berburu dan berguru pengetahuan ke Gria Mandara Sidemen Karangasem. Jarak yang membentang dari Sanur menuju Karangasem tentu tidak dekat, apalagi di tengah zaman saat ini yang dimanjakan berbagai moda kendaraan. Akan tetapi, bagi Ida Padanda Made Sidemen yang memang hendak menimba pengetahuan (arep amicara sastra), jarak tak pernah menjadi halangan. Beliau sangat menyadari bahwa belajar memerlukan proses panjang, terlebih bagi seseorang yang memiliki warisan wangsa utama. Kesadaran mewarisi wangsa dengan sasana yang harus dilakukan ini penting kita kutip untuk dijadikan renungan.
yening tahu teken awak, wawarisan sang pandita sang adi, sampun ugi kasalimur, dening karya wanehan, kabisane nora dadi bahan nemu, sampun anganti ketikan, malajahin Sang Hyang Aji (Geguritan Salampah Laku, XVIa.9).
Terjemahan.
Apabila tahu diri, mendapatkan warisan [wangsa] dari sang pendeta yang mulia, jangan sampai terpikat, oleh pekerjaan lain, [sebab] keterampilan tidak bisa didapatkan dengan cara yang mudah [instan], jangan sampai menanti suruhan orang, dalam mempelajari Pengetahuan Suci.
Kesadaran itulah yang menyebabkan Ida Padanda Made Sidemen tak pernah berhenti belajar. Beliau dikenal sebagai pencatat yang taat, bahkan di semua tempat (anurat asing gon). Menjadi pendeta sendiri sesungguhnya beliau niatkan untuk bisa mengakses berbagai pengetahuan suci (tetujonne madiksa, niksayang paplajahan). Karena prinsip-prinsip hidup inilah kemudian beliau berguru ke Gria Mandara Sidemen. Kala menuntaskan pembelajarannya, ada bagian yang mengharukan ketika beliau hendak pulang dari asrama Sang Guru Spiritual. Sang Nabe dari Gria Mandara memberikan bekal kepada Ida Padanda Made Sidemen untuk membangun rumah sehingga bisa menerima tamu dan membaktikan hidupnya kepada masyarakat. Sang Nabe tampaknya tahu betul bahwa di masa depan anak didiknya itu akan memiliki magnitud untuk menarik para pencinta pengetahuan, tak hanya dari Bali tetapi juga dari luar negeri[vi].
Itulah hubungan spiritual antara guru dan murid yang tidak hanya mengasah pengetahuan anak didiknya, tetapi juga mengasihinya dengan tetes rasa sayang yang tak terbatas. Dengan bekal dari Sang Guru pula, ia kembali dan membangun rumah untuk keluarga dan anaknya. Namun sayang, meski samar-samar, Geguritan Salampah Laku menceritakan bahwa Ida Padanda Made Sidemen tampaknya sempat kehilangan sanak keluarga, yaitu cucunya bernama IB Sena yang meninggal dunia pada umur 17 tahun akibat penyakit cacar (Suamba, 2014: 355). Seperti yang disebutkan di atas, dalam karya sastra yang ditulis sendiri, Ida Padanda Made Sidemen menunjukkan dimensi-dimensi beliau yang jujur apa adanya: bahwa dalam hidup ini semesta tak hanya akan mengirimkan puisi yang penuh kata-kata indah, tapi segala berbagai duka-nestapa dan juga air mata.
Yonine Gentosin
Menghadapi suka duka kehidupan, Ida Padanda Made Sidemen sampai pada simpulan bahwa penderitaan yang dialami ketika hidup tidak bisa dilepaskan dari rangkaian perbuatan terdahulu. Terlebih bagi seseorang yang tidak pernah melakukan pengabdian (nguni sinah tan payasa).
Untuk mengubah hal ini, beliau menyarankan agar seseorang berusaha mengubah yoninya (yonine gentosin). Apakah yang dimaksud dengan yoni? Pustaka Vr̥haspati Tattva dan Tattva Jñāna menjelaskan bahwa yoni adalah sisa-sisa karma yang menempel pada jiwa lalu menemaninya pada setiap kelahiran. Daya lekat sisa karma ini seperti sebuah kendi yang berisi cuka. Walaupun sudah dibersihkan berkali-kali dengan air, digosok, dan dikeringkan, tetapi aromanya masih melekat[vii]. Dalam bahasa yang lebih sederhana, yoni memiliki anyaman makna yang dekat dengan karakter sebagai bentuk endapan dari kebiasan-kebiasaan dalam keseharian.
Yoni dikelompokkan menjadi tiga berdasarkan tri guna [tiga sifat dasarnya] lalu dirinci menjadi 14 jenis. Yoni dari budi satwika adalah (1) Yoni Sang Hyang Tri Purusa: karakter seseorang yang dari dalam hatinya tertarik dengan sendirinya pada ilmu pengetahuan pada umumnya dan spiritual pada khususnya; (2)Yoni Panca Resi: seseorang yang dari dalam hatinya muncul keinginan untuk melakukan tapa, brata, yoga, dan samadhi; (3) Yoni Sapta Resi: seseorang yang dari dalam hatinya senang pada hal-hal yang berhubungan dengan kegiatan upacara agama, japa, dan mantra; (4) Yoni Dewa Resi: seseorang yang dari dalam hatinya merasa senang dengan sendirinya berkorban demi kebaikan semua makhluk; (5) Yoni Dewa: seseorang yang dari dalam hatinya merasa tertarik pada ajaran dharma, senang melakukan jasa, dan memberi; (6) Yoni Widhyadara: seseorang yang dari dalam hatinya merasa tertarik pada ilmu kanuragan, rela mempertaruhkan jiwa, dan berketetapan hati yang keras; (7) Yoni Gandharwa: seseorang yang dari dalam hatinya merasa senang dengan sendirinya pada keindahan, kesenian, dan mengembara ke alam;
Selanjutnya, yoni dari buddhi rajah misalnya (1) Yoni Danawa: seseorang yang karekternya cepat marah apabila mendapatkan kata-kata kasar, tetapi cepat pula mengendalikannya karena malu pada masyarakat sekitar; (2) Yoni Daitya: seseorang yang karakternya menjadi cepat marah apabila mendapat kata-kata kasar tapi mampu mengendalikan diri untuk sementara lalu menggerutu dan melupakan kemarahannya; (3)Yoni Raksasa: seseorang yang langsung marah ketika mendapatkan kata-kata kasar, badannya bergetar, mulutnya mengumpat, matanya mendelik, kakinya mencak-mencak, dan ucapannya menantang.
Terakhir adalah yoni yang berasal dari buddhi tamas, misalnya (1) Yoni Bhutayaksa: seseorang yang senang makan, ia puas hanya dengan sejumput makanan, sayur, dan nira; (2) Yoni Bhuta Dengen: dapat dilihat dari kesukaan seseorang dalam memilih makanan, sering uring-uringan dan pembawaannya tidak riang; (3) Yoni Bhutakala: seseorang yang selalu rakus terhadap makanan, ia tidak memilih jenis makanan karena yang dipentingkan hanya rasa kenyang. (4) Yoni Bhutapisaca: orang yang mendambakan makanan enak, selalu bingung apabila tidak mendapatkan makanan, senang mencuri, dan membuat keributan karena makanan.[viii]
Keterangan foto: Ida Padanda Made Sidemen sedang mulas tapel
Sumber foto: IG Sanur Archive
Itulah sejumlah yoni ‘karakter’ yang menyebabkan kualitas kelahiran dan kehidupan seseorang tidak sama. Di yoni jenis manakah kita berada? Apabila kita menyadari bahwa dari karakter kita cenderung pada yoni buddhi tamas dan rajas, maka Ida Padanda Made Sidemen menyarankan agar seseorang berjuang mengubah yoninya. Caranya adalah dengan konsisten menjalankan tapa brata yang dilandasi dengan kebenaran dan kesetiaan (tapa brata denya kukuh matatakan dharma satia). Lalu dilengkapi dengan penyucian pikiran, kata-kata, dan perbuatan (trikaya reko bresihin). Dengan demikian, rajah dan tamah tidak akan mengikat setiap pekerjaan (sagawe tan kasaliwur, rajah tamahe wus mari).
Jalan pertama mengubah yoni dari penjelasan di atas adalah melaksanakan tapa brata. Tentang tapa brata, Nusantara mewarisi berlimpah naskah dalam tradisi Bali-Merapi Merbabu. Akan tetapi, penjelasan terpenting dapat diambil dari pustaka Dharma Patañjala. Karya spekulatif dengan naskah tunggal itu menyebutkan bahwa brata [dan yoga pranayama] dapat menghilangkan penderitaan yang tebal dan banyak (kleśa magə̄ṅ aganal tәkanya, yeki hilaṅ de niṅ brata) yang melekat pada manusia (Acri, 2018: 244-245). Demikian pula pembersihan Tri Kaya dengan berbuat, berujar, dan berhati baik sebenarnya adalah jalan pembebas dari derita dan lara sekaligus senantiasa berusaha mengonsentrasikan diri kepadaNya. Melalui laku hidup ideal yang sukar itulah seseorang pada gilirannya dapat melangkah dengan bebas di jalan keheningan (kasatwikan).
Sejumlah jalan yang ditawarkan oleh Ida Padanda Made Sidemen di atas dapat ditempuh oleh seseorang yang hendak mengubah yoninya. Jelas perjuangan dengan jatuh bangun yang tidak mudah. Terutama untuk kita yang barangkali merasa bahwa di dalam diri cenderung rakus [kekayaan], tak pernah puas [dengan kekuasaan], senang mencuri [uang rakyat] seperti yoni dengan kualifikasi Bhuta. Demikian pula, bagi yang merasa mudah marah, mencak-mencak, menantang, dan cepat mengumpat akibat kedudukannya seperti yoni dengan kualifikasi Danawa, Daitya, dan Raksasa. Kedua yoni ini diharapkan dapat diubah naik kelas menjadi yoni yang memiliki keterpanggilan dalam bidang keindahan, kecintaan terhadap alam, senang berkorban, aktif dalam kegiatan keagamaan, dan cinta terhadap pengetahuan seperti kualifikasi yoni Gandarwa, Widyadara, Dewi Rsi, hingga mencapai Hyang Tri Purusa.
Dari penjelasan di atas, kita mengerti bahwa hidup bagi seorang Ida Padanda Made Sidemen bukan sekedar yusa ‘mengisi umur’, tetapi juga memperjuangkannya dengan yasa ‘pengabdian’. Maksudnya, seseorang yang saat ini berada di yoni dengan level bawah, perlu perjuangan agar ia mencapai kualitas yoni yang lebih tinggi sehingga tidak mengalami nasib yang sama pada saat kelahiran. Inilah yasa yang diperlukannya untuk mengubah kualitas kelahirannya. Yoni, yusa, dan yasa ketiganya penting direnungkan agar kita tidak seperti sapi yang terikat di sebuah pohon. Merasa diri telah menghabiskan perjalanan hidup yang jauh dan lama, tetapi ternyata masih berputar di tempat yang sama!
[i] Catatan ini ditulis pada saat menempuh studi di EPHE-PSL di bawah project ERC MANTRATANTRAM nomor 101124214.
[ii] Tulisan ini didasarkan pada alih aksara dan terjemahan yang dilakukan oleh Bagus, I Gusti Ngurah, dkk tahun 1987/1988 dalam buku berjudul Analisis dan Kajian Geguritan Salampah Laku Karya Ida Padanda Made Sidemen. Jakarta: Depdikbud.
[iii] Selanjutnya baca buku karya IBG Agastia tahun 2007 berjudul Memberi Arti Kehidupan Membaca “Salampah Laku” Ida Pedanda Made Sidemen. Denpasar: Yayasan Dharma Sastra.
[iv] Dikutip dari Acri, Andrea tahun 2018 dalam buku Dharma Pātañjala Kitab Śaiva dari Jawa Zaman Kuno Kajian Perbandingan dengan Sumber Jawa Kuno dan Sanskerta Terkait. hal. 244-245. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.
[v] Selanjutnya baca buku karya IBP Suamba tahun 2014) dalam bukunya berjudul Biografi Ida Pedanda Made Sidemen Pendeta-Sastrawan Bali (1858-1984). Denpasar: Dinas Kebudayaan Kota Denpasar.
[vi] Selanjutnya baca artikel mendalam tentang Kanda Mpat karya Andrea Acri tahun 2021 berjudul Pañcakuśika dan Kana Mpat: Dari Mitos Pāśupata ke Folklor Bali dalam buku Dari Siwaisme Jawa ke Agama Hindu Bali. Dalam tulisan ini, Ida Padanda Made Sidemen disebut menjadi salah satu informan dari peneliti bernama Mershon ketika meneliti ritual Hindu Bali.
[vii] Penjelasan tentang hubungan antara yoni dengan wangsa seseorang dapat ditemukan dalam buku yang ditulis IBM Dharma Palguna pada tahun 2018 berjudul Shastra Wangsa: Kamus Istilah Wangsa Bali Pustaka, Pusaka, Manusia. Mataram: Sadampatyaksara.
[viii] IBM Dharma Palguna mengutip buku Sukayasa dan Sarjana untuk menjelaskan mengenai jenis-jenis yoni dalam diri manusia. Ulasan utuh tentang jenis yoni dapat dibaca dalam buku tahun 2011 berjudul Brahmawidya: Teks Tattwa Jnyana. Denpasar: Program Pascasarjana UNHI Denpasar.
Penulis: Putu Eka Guna Yasa
Editor: Adnyana Ole
Keterangan foto: Ida Padanda Made Sidemen sedang mulas tapel
Sumber foto: IG Sanur Archive
- BACA artikel lain tentang IDA PADANDA MADE SIDEMEN
- BACA artikel lain dari penulisPUTU EKA GUNA YASA