YOGYAKARTA bisa disebut sebagai kota terkenal, sama terkenalnya dengan Jakarta sebagai ibukota negara. Hal yang pertama kali terlintas di pikiran kita jika menyebut Yogyakarta adalah suatu kota yang sarat dengan budaya dan tradisi serta tentu saja menjadi destinasi wisata yang sulit untuk dilupakan.
Namun, bagi para pendatang, tinggal di Yogyakarta akan memberikan sedikit kejutan budaya yang tidak terduga atau yang kita kenal dengan istilah “culture shock”.
Beberapa hal yang sudah dianggap biasa oleh warga lokal justru akan menjadi pengalaman baru yang membingungkan atau bahkan membuat mereka yang baru menetap di kota ini tersenyum tipis. Mulai dari biaya hidup yang lebih murah hingga kentalnya suasana akademik akan kita bahas satu persatu. Let’s see!
Biaya hidup lebih murah
Salah satu hal yang paling mengagetkan bagi pendatang adalah murahnya biaya hidup di Yogya. Makanan enak bisa didapat dengan harga yang jauh lebih murah dibandingkan di kota besar lainnya.
Saya pun merasakan kenikmatan ini, salah satunya adalah nasi Padang yang di beberapa tempat cuma dibanderol dengan harga 10 ribu dengan lauk yang sudah cukup lengkap. Makanan ini jika dibeli di kampung halaman saya di Bali, belum tentu akan mendapatkan menu yang lengkap dengan harga tersebut.
Namun, justru karena hal itulah, banyak pendatang yang tanpa sadar menghabiskan uang lebih banyak, karena merasa harga-harga begitu terjangkau. Bagi para mahasiswa dan pekerja rantauan harus hati-hati nih karena kita pasti berpikir bisa hidup hemat, tetapi akhirnya malah sering makan di luar dan menikmati berbagai hiburan karena harga yang murah.
Tidak ada suara bising klakson saat lampu merah
Di Yogya, salah satu hal yang cukup mencolok bagi saya adalah jarangnya suara klakson saat berada di lampu merah. Berbeda dengan kota-kota lainnya seperti Jakarta atau Denpasar tepat tinggal saya, di mana suara klakson menjadi bagian dari ritme lalu lintas sehari-hari, namun di Yogya pengendara cenderung lebih sabar dan jarang terburu-buru.
Foto bersama saat orientasi mahasiswa baru program Pasca Sarjana UGM | Foto: Dokumentasi Pribadi.
Sepertinya orang Yogya sudah sadar sepenuhnya jika berada di jalan harus selalu siap dengan resikonya, seperti macet. Hal ini sejalan dengan budaya setempat yang menjunjung tinggi kesopanan dan ketenangan.
Mengklakson secara berlebihan bisa dianggap kurang sopan atau bahkan mengganggu ketertiban. Kalau kata orang lokal, di Yogya punya prinsip “Nek kowe ra sabaran, mabur o wae” yang kurang lebih artinya “kalau kamu gak sabaran, mending terbang saja”.
Alih-alih membunyikan klakson, banyak pengendara di Yogya lebih memilih untuk menunggu dengan tenang hingga lampu hijau menyala, meskipun ada kendaraan yang lambat merespons. Sepertinya orang Yogya sudah sadar sepenuhnya jika berada di jalan harus selalu siap dengan resikonya, seperti macet.
Apakah kalian juga merasa heran dengan kebiasaan ini saat pertama kali datang ke Yogya?
Norma sosial dan adat istiadat
Orang Yogya sangat menjunjung tinggi etika dan kesopanan. Nada bicara yang terlalu keras, sikap yang terlalu blak-blakan, atau terbiasa menyela pembicaraan bisa dianggap kurang sopan. Selain itu, budaya sungkan juga sangat kuat.
Jalan-jalan keliling Kota Yogya sambil swafoto di kaca spion | Foto: Dokumentasi Pribadi
Banyak orang yang enggan menolak permintaan atau memberi jawaban langsung demi menjaga perasaan orang lain. Contohnya saat saya berada di bus dalam perjalanan dari Denpasar menuju Yogya misalnya, kebetulan seseorang di sebelah saya adalah orang Yogya asli yang di mana saat saya menawarkan kudapan, mereka cenderung menolak terlebih dahulu sebagai bentuk kesopanan, sebelum akhirnya menerimanya. Hal ini bisa membingungkan bagi pendatang yang tidak terbiasa dengan kebiasaan ini.
Selain itu, Yogya masih sangat kental dengan nilai-nilai budaya dan tradisi. Mulai dari berbagai upacara adat, seni pertunjukan seperti wayang dan tari, hingga ritual-ritual khas seperti Sekaten, Labuhan Merapi, dan Malam 1 Suro yang semuanya masih dilestarikan dengan baik.
Jam malam dengan suasana yang lebih sepi
Tidak seperti kota besar yang tetap ramai hingga larut malam, Yogya cenderung lebih sepi setelah pukul 10 malam. Banyak warung makan dan toko yang sudah tutup, kecuali beberapa tempat tertentu seperti angkringan atau kafe mahasiswa. Ini menjadi kejutan bagi saya yang selama di Bali terbiasa dengan kehidupan pada malam hari.
Suasana malam di salah satu sudut Kota Yogya | Foto: Dokumentasi Pribadi
Namun, bagi yang menikmati suasana tenang, hal ini bisa menjadi kelebihan tersendiri. Kota yang lebih sepi di malam hari membuat Yogya terasa lebih nyaman untuk beristirahat tanpa hiruk-pikuk yang berlebihan. Namun, suasana malam yang lebih sepi sering dimanfaatkan oleh anak-anak remaja yang sedang mencari jati dirinya.
Tentu saja kita semua pernah mendengar fenomena klitih yang umumnya terjadi di malam hari hingga dini hari di berbagai jalanan Yogya, terutama di ruas jalan yang sepi. Para pelaku sering kali masih berstatus pelajar atau remaja, menyerang korban secara acak, baik untuk menunjukkan eksistensi, dendam antar kelompok, maupun sekadar iseng.
Suasana malam dari salah satu sudut jalan Kota Yogya | Foto: Dokumentasi Pribadi
Meskipun klitih menjadi salah satu sisi gelap Yogya, kota ini tetap memiliki banyak hal positif. Kesadaran dan kewaspadaan adalah kunci utama agar tetap bisa menikmati suasana Yogya dengan aman dan nyaman.
Sepeda motor sangat banyak dalam berbagai plat
Yogya adalah kota dengan populasi sepeda motor yang sangat tinggi. Jalanan sering dipenuhi oleh motor yang bergerak lincah, bahkan di gang-gang kecil. Bagi yang terbiasa dengan transportasi umum yang luas seperti di kota besar, harus siap menyesuaikan diri dengan dominasi kendaraan roda dua ini.
Selain itu, lalu lintas di Yogya kadang bisa terasa semrawut, terutama di sekitar kawasan kampus atau destinasi wisata. Banyak pengendara motor yang tidak ragu untuk menyelinap di antara kendaraan lain, membuat lalu lintas menjadi cukup menantang bagi yang belum terbiasa.
Suasana salah satu lampu merah di Kota Yogya | Foto: Dokumentasi Pribadi
Saking banyaknya populasi sepeda motor, sering kali saya jumpai plat-plat motor dari berbagai daerah di Indonesia, dari Indonesia barat hingga ke timur, serta dari utara hingga ke selatan pasti dijumpai di kota ini.
Suasana akademik yang kental
Sebagai kota pelajar, Yogya memiliki atmosfer yang sangat berbeda dibandingkan kota lain. Banyaknya kampus-kampus besar di Yogya membuat mahasiswa dari berbagai daerah di Indonesia berkumpul di sini, menciptakan suasana yang unik antara modernitas dan tradisional.
Ibarat kata, Yogya adalah Indonesia dalam versi mini. Kehidupan sehari-hari sering kali dipenuhi dengan diskusi intelektual di warung kopi, seminar budaya, hingga kegiatan seni yang menarik. Banyak komunitas yang aktif di berbagai bidang, mulai dari seni, musik, sastra, hingga teknologi.
Berbagai arsip yang tersimpan di Dinas Perpustakaan dan Arsip Daerah DIY | Foto: Dokumentasi Pribadi
Kehidupan akademik yang dinamis ini membuat Yogya tidak hanya menjadi tempat belajar formal, tetapi juga tempat berkembangnya ide-ide kreatif.
Sebagai penutup, meskipun menghadapi culture shock bisa terasa menantang, pada akhirnya banyak orang akan jatuh cinta dengan Yogyakarta. Kota ini bukan hanya tempat tinggal, tetapi juga pengalaman hidup yang kaya akan nilai, tradisi, dan keramahan.
Bagi yang bisa beradaptasi, Yogya bukan sekadar tempat singgah, melainkan rumah kedua yang penuh kehangatan. [T]
Penulis: Kadek Prayuda Sathyananta
Editor: Adnyana Ole