”Satu-satunya tulisan sejati yang muncul selama perang adalah puisi.” Tulisan-tulisan lainnya adalah bom yang meledak di gedung-gedung rumah sakit dan rumah-rumah yang berdebu, sebelum akhirnya roboh dan rata dengan tanah. Itulah tulisan-tulisan yang ditembakkan dari hati yang benci, pikiran yang dirasuki superioritas, dan degup jantung yang haus kekuasaan”. -Ernest Hemingway-
Peraih Hadiah Nobel Sastra Ernest Hemingway (1899-1961) pernah menulis puisi pedih tentang akibat Perang Dunia I. Pada puisi berjudul ”Tahanan” itu, Hemingway menggambarkan kelelahan manusia akibat berpikir untuk saling membenci. Mundur dan berharap telah selesai.
Pada dasarnya semua orang telah menjadi tahanan atas kekejian demi kekejian, yang akhirnya menjadi kesedihan dan kematian. Bahkan penyembuhan yang dilakukan justru menghasilkan perang yang berkepanjangan.
Sastrawan dan jurnalis ini mengalami luka mendalam akibat perang. Bahkan para serdadu yang kelak ditemuinya tidak mampu menolongnya terbebas dari rasa perih dan ngeri. Salah seorang di antara mereka bernama Eric Dorman-Smith, yang dengan gagah berani mengutip dialog dalam drama Henry IV Bagian Dua karya William Shakespeare.
”…Aku tidak perduli, mati hanya satu kali; kita berutang maut kepada Tuhan…dan biarkanlah hal itu terjadi sesukanya; orang yang mati tahun ini berarti bebas pada tahun depan…,” kata Eric. (www.kompas.id/baca/opini/2023/11/14)
Barangkali penderitaan Hemingway akan jauh lebih dalam, kalau saja ia sempat mendengar ungkapan warga Palestina bernama Ahmed Abu Al-Saba (35). Di tengah-tengah suasana muram dan duka di Rumah Sakit Al-Shifa di kota Gaza, Ahmed berkata lirih, ”Kami menuliskan nama kami di tangan kami dan nama anak-anak kami di lengan mereka. (Itu semua) Agar tubuh kami dapat dikenali jika pesawat pendudukan (Israel) mengebom kami.” (www.kompas.id/baca/opini/2023/11/14).
Mereka tak hanya menulis nama di lengan, kaki, dan tubuh mereka, tetapi juga tempat-tempat di mana mereka bisa berharap kelak ketika bom menghancurkan tubuhnya, mereka bisa segera dikenali. Dan pengenalan atas tubuh yang berkeping-keping akibat kebiadaban perang akan menjadi bagian paling menyedihkan dalam sejarah umat manusia.
Barangkali itulah puisi paling syuhada, puisi yang menderetkan nama-nama orang yang bersiap menjemput kematian dengan perasaan gemuruh. Barangkali juga (seharusnya) hanya puisi yang mampu menusuk ke dalam ingatan para pengebom dengan harapan merasakan rasa sakit yang sama. Sebab, bukankah perang adalah peristiwa saling bunuh untuk memuaskan rasa superioritas satu manusia atas manusia lainnya?
Di Gaza tengah terjadi pembantaian anak-anak, dan oh.. kaum ibu, ibu kita!!?, penduduk sipil yang tak bersenjata, kaum lemah. Peristiwa di Gaza menurut saya bukan perang antara negara Palestina dan Israel, tetapi adalah Hollocoust niat busuk, orang-orang Yahudi menghilangkan orang Palestina di Gaza sana.
Disebut perang adalah kalau masing-masing pihak bersenjata, apa pun senjatanya bambu runcingkah, golok, klewang, tombak, keris, slepetan dan lain sebagainya, seperti ketika kita menghadapi penjajah Belanda dan Inggris di Surabaya saat mempertahankan kemerdekaan, itu namanya perang. Seheroik apa pun perang tetap perang, suatu hal yang menyedihkan.
Di Gaza sana bukanlah peperangan, tetapi rencana pemusnahan bangsa Palestina. Dalam tulisan ini saya tidak akan membahas lebih jauh peristiwa yang memilukan itu. Melihat dasyatnya penderitaan orang-orang di Gaza sana. Semoga segera berakhir tragedi di Gaza.
***
Penulis merasakan penderitaan mereka, melalui syair-syair pilu berbalut nada para seniman, seperti lagu a hard rain’s a-gonna fall (1962), dari Bob Dylan (seorang Yahudi) yang secara simbolik menggambarkan dan mengkomunikasikan penderitaan, kekacaubalauan, kenistaan, kepiluan dan kepedihan peperangan. Lagu yang sampai sekarang masih sering penulis dengarkan dalam berbagai kesempatan.
Syair lagu ini banyak menanyakan dengan nada lirih sesuatu yang menakutkan selalu hadir dalam kedamaian. Lagu ini mendapatkan penghargaan Nobel pada 2016, bidang sastra setelah 53 tahun dinyanyikan dan disenandungkan oleh banyak penyanyi, satu penggalan syairnya ” Oh, dari mana saja, anakku yang bermata biru? Oh, dari mana saja kau, anakku yang manis? Aku tersandung di sisi dua belas gunung berkabut, Aku sudah berjalan dan aku merangkak di enam jalan raya yang bengkok, Aku telah melangkah di tengah tujuh hutan yang menyedihkan, Aku sudah berada di depan selusin lautan mati, Aku sudah sepuluh ribu mil di mulut kuburan,..”
Terus terang saya tidak akan menyadari apa pun kecuali kebingungan, ketidakpastian, hari-hari gelap, perpecahan, kejahatan demi kejahatan, bencana kemanusiaan dan akan menjadi sebuah ritual pemakaman yang tidak pernah putus.
Satu lirik lagi, sebetulnya masih banyak lirik-lirik berbalut nada kepiluan, lagu Epitaph. Saya sebut lagu tersebut dalam tulisan ini adalah “Syair untuk sebuah nisan”, bila membaca seluruh lirik lagunya. Sebuah kidung bernada murung ini menempati track ketiga pada album In The Court of Crimson King yang rilis di penghujung 1960-an, salah satu hits milik King Crimson, band progresif rock (Progrock) asal Inggris, kerap masih; sering saya dengarkan di setiap kesempatan luang, dan membekas dalam sanubari penulis.
Greg Lake, salah satu komposer lagu itu yang juga pemain bass merangkap vokalis band tersebut, mengatakan “Epitaph pada intinya adalah lagu yang bertutur tentang kebingungan memandang dunia yang semakin gila.” Lake, dan jutaan pemuda lainnya kala itu adalah generasi yang kecewa. Para pemuda yang tumbuh setelah Perang Dunia II itu, mungkin merasa terpukul, karena konflik ternyata masih saja berkecamuk, terutama di Vietnam. (https://mediaindonesia.com/nusantara/82078/memoar-tentang-surga)
Greg Lake, sang pelantun lagu itu, wafat karena kanker di usianya yang ke-69. Dia pergi di tengah dunia yang masih saja karut-marut. Entah kalimat apa yang bakal tertera di batu nisannya kelak, tetapi tolong tuliskan saja, dengan lantang saat bersenandung, “Confusion will be my Epitaph”.
Kebingungan akan jadi batu nisanku, saat ku merangkak pada jalan yang retak dan rusak. Jika berhasil, kita semua bisa duduk-duduk dan tertawa, tapi aku takut esok aku bakal meratap, ya, aku takut esok aku bakal meratapi impian tentang surgaNya.
Saya tidak bermaksud menganalisis dan menyampaikan bait demi bait isi lagu tersebut, saya hanya ingin menyampaikan sebuah keadaan impian memoar tentang surga hadir, dalam situasi masyarakat banyak yang berkeluh kesah.
Di antara gerbang kuat terjal dan kokohnya nasib, benih waktu kutaburkan dan kusiram, dengan amalanku dan amalan mereka. Siapa yang tahu dan siapa yang diketahui, semuanya tidak ada yang tahu amalan mana yang bakal menemani kita menuju SurgaNya. Karena pengetahuan adalah sahabat yang berbisa dan teman yang mematikan. Ketika tidak ada yang menata cara dan menetapkan aturan. Nasib seluruh umat manusia, tampaknya ada di tangan orang-orang genius dan gila. Demikian yang dikeluhkan para seniman perihal getirnya perang, Greg Lake dan Bob Dylan.
Ya Allah, kau zat yang Mahakuasa, hancurkanlah, sakitkanlah, sadarkanlah orang-orang berniat memusnahkan saudara kami, ya Allah Kau zat yang Mahakuat, kuatlah saudara kami di Gaza yang tengah berjuang melawan angkara murka, lemahkanlah ya Allah kaum angkara murka itu, karena mereka makhluk Mu juga ya Allah.
Kami membaca dan begitu menghayati firmanMu ya Allah dalam (QS. Al Baqarah, ayat 155), dan Kami pasti akan menguji kamu dengan sedikit ketakutan, kelaparan, kekurangan harta, jiwa, dan buah-buahan. Dan kami pun mendengar seruan NabiMu, ya Allah, “sampaikanlah wahai Nabi kabar gembira kepada orang-orang yang sabar menghadapi musibah tersebut, bahwa mereka akan mendapatkan sesuatu yang menyenangkan hati mereka di dunia dan di akhirat.
Lalu kami pun selalu yakin kepadaMu, ya Allah dengan mengimani firmanMu ya Allah selalu, berprasangka baik kepada Allah bahwa dalam setiap kesulitan dan permasalahan terdapat kemudahan dan jalan keluar (QS. Al-Insyirah: 5). Kami yakin pada firman Mu ya Allah, sangat yakin, segerakan pertolonganMu hadir di Gaza. Melalui malaikat-malaikatMu. [T]
Penulis: Ahmad Sihabudin
Editor: Adnyana Ole
- BACA artikel lain dari penulis AHMAD SIHABUDIN