SEEKOR naga terbang dari Klenteng Ling Gwan Kiong, di Pelabuhan Tua, Singaraja-Buleleng, Selasa malam, 28 Januari 2025. Orang-orang tegap berdiri. Mereka menonton dan sedikit terkejut. Hewan legenda itu mengelilingi mereka.
Malam itu merupakan perayaan Tahun Baru Imlek 2576 Kongzili, dan Dinata Kusuma menjadi nyawa naga yang bisa melayang-layang itu di udara. Naga dimainkan oleh sembilan orang, dan Dinata Kusuma salah satunya.
Naga itu terbang membentuk lingkaran kecil. Pertunjukan naga atau liong itu membuat anak-anak senang, bapak-bapak terbengong sambil menjaga anak mereka, dan istri juga tersenyum gembira.
Barongsai pada malam perayaan Imlek di Klenteng Ling Gwan Kiong, Pelabuhan Tua, Singaraja-Buleleng | Foto: tatkala.co/Son
Musik khas Cina itu terus ditabuh. Naga semakin menggeliat, ekornya panjang. Kepalanya seberat 2,5 kilogram. Sebagai orang yang berperan memainkan bagian kepala naga, Dinata bertugas menggerakkan arah pandang dan membuka jalan atau membuat pola gerakan.
Ia berdiri kemudian di antara tubuh teman-temannya, mengacungkan kepala naga itu ke udara. Naga itu berada di atas ketinggian seperti sedang memberi berkat ke semua orang.
Dalam kepercayaan orang Cina, naga menjadi lambang keagungan. Bahkan raja-raja terdahulu menggunakan gambar naga, selain di jubah, di kamar mereka juga penuh desain naga dan menyebut itu dengan sebutan ranjang naga.
“Cukup berat. Untuk pertunjukan liong, itu kami terus atraksi tanpa berhenti, dan kami mengandalkan fisik dan kecermatan sebagai tim. Saat ritme gerakan sedikit santai, kami mengatur napas tapi naga harus tetap di atas,” kata Dinata setelah pementasan liong selesai.
Setelah musik pelan dan lalu berhenti, naga itu kembali ke arah klenteng tempat ia masuk. Tambur kembali ditabuh lebih kencang setelah pergantian pemain. Semakin semarak. Sorot mata mencari arah kejutan.
Barongsai pada malam perayaan Imlek di Klenteng Ling Gwan Kiong, Pelabuhan Tua, Singaraja-Buleleng | Foto: tatkala.co/Son
Seekor barongsai masuk. Dua ekor barongsai masuk, dan seterusnya. Lebih atraktif. Tepuk tangan menyala seperti semangat baru. Ombak di laut utara Bali dikalahkan oleh semarak mereka. Antusias.
Dua badut bernama Ti Tou Fu atau juga disebut Bi Lek menemani barongsai itu bermain dan membagi angpao kepada para penonton, terutama anak-anak.
Di China, permainan ini sudah populer sekitar tahun 420-589 Masehi pada Zaman Dinasti Selatan dan Utara (Nan Bei). Ketika itu—dalam sebuah pertempuran (pasukan gajah) Fan Yang dari Negri Lin Y dengan Raja Song. Raja Song membuat tiruan singa untuk mengusir gajah-gajah itu pergi, dan hasilnya puas. Pasukan Raja Fan berhasil didepak mundur. Karena telah berhasil, barongsai kemudian dipertahankan sebagai budaya atau tradisi—mereka yang menyimbolkan keberuntungan.
Tetapi eksistensinya, barongsai sudah dimainkan sejak 300-200 SM di lingkungan istana di kawasan Cina Daratan pada peperangan antara tujuh negara yang kemudian dipersatukan oleh Dinasti Chin. Sementara di Indonesia, sejak kedatangan warga Cina—ketika migrasi ratusan tahun lalu atau sekitar abad ke-17 di Nusantara, barongsai menyebar dan menjadi budaya etnis Tionghoa sejak itu.
Barongsai dan orang-orang dari lintas etnis dan agama berdesakan pada malam perayaan Imlek di Klenteng Ling Gwan Kiong, Pelabuhan Tua, Singaraja-Buleleng | Foto: tatkala.co/Son
“Ada banyak legenda atau cerita rakyat tentang barongsai atau liong. Di Tiongkok, konon pada zaman dahulu, barongsai digunakan untuk mengusir hama atau hewan buas jika masuk ke pemukiman warga, dengan bantuan alat-alat ditabuh kencang, hewan buas itu kemudian pergi setelah dihadapkan dengan barongsai yang lebih besar dari badan binatang itu,” kata Koh Iwan, salah satu pendiri Kelompok Bahana Surya Darma.
Menghidupkan Tradisi
Mereka yang tergabung dalam pementasan barongsai dan liong di Klenteng Ling Gwan Kiong, merupakan atlet-atlet terlatih dari Kelompok Bahana Surya. Kelompok ini didirikan sejak tahun 2003 dengan semangat menghidupkan tradisi, yang barangkali sempat vakum selama 32 tahun saat masa Orde Baru, tentu di seluruh Indonesia.
Etnis Tionghoa menjadi satu korban rasial secara terstruktur di masa Soeharto. Terbitnya Inpres No.14/1967 tentang Agama, Kepercayaan dan Adat Istiadat Cina—yang membatasi setiap kegiatan mereka, seperti liong atau barongsai pada perayaan Imlek, arak-arakan Toapekong dan lain sebagainya yang berbau Etnis Cina. Dibatasi dan cenderung dimusuhi, bahkan, nama—yang berbau kecina-cinaan juga diatur. Tidak boleh.
Barongsai dan orang-orang berdesakan mengambil foto pada malam perayaan Imlek di Klenteng Ling Gwan Kiong, Pelabuhan Tua, Singaraja-Buleleng | Foto: tatkala.co/Son
Kemudian setelah reformasi atau rezim Orba roboh, di masa kepresidenan Abdurrahman Wahid (Gusdur), etnis Tionghoa dibebaskan sebagaimana agama lain dalam merayakan keagamaannya. Gusdur menjamin itu melalui terbitan Kepres No.6/2000 yang memberikan kebebasan ekspresi ibadah pada umat Khongucu. Sekitar tahun 1999, pertunjukan barongsai mulai hidup dari kematiannya beberapa tahun silam itu.
“Kelompok ini dibangun, agar tradisi tidak punah dengan melakukan regenerasi. Agar budaya kami tetap lestari,” kata Koh Iwan.
Romantisme orang-orang dalam permainanan barongsai kala itu, cukup banyak peminatnya. Tapi sayang, kata lelaki itu. “Sempat vakum juga kami di 2006 karena banyak yang bekerja dan lain sebagainya. Katakanlah sibuk. Tapi pementasan barongsai tetap berjalan dengan orang-orang seadanya,” lanjut lelaki itu.
Di tahun 2009, kelompok Bahana Surya kembali pada debutnya dalam melakukan regenerasi. Sugar Marley, ikut terlibat setelah diajak Koh Iwan tentang pementasan barongsai. Sugar merasa senang, ia bertahan dan mulai belajar cukup giat, hingga saat ini ia menjadi seorang pelatih dan tetap setia mengempu anak-anak berlatih. Semangat membangunnya tinggi. Semoga seterusnya.
Sekitar 34 orang anggota mereka dengan 3 kali latihan dalam seminggu. Kini, ada banyak anak-anak ikut terlibat dalam pementasan. Mereka tetap dilatih bagaimana memainkan barongsai atau liong, atau menjadi badutnya. Hanya saja karena mereka masih kecil, mereka dipentaskan pada alat musik seperti tambur, ceng-ceng atau sambal, dan ling dengan jumlah sepuluh orang.
Liong pada malam perayaan Imlek di Klenteng Ling Gwan Kiong, Pelabuhan Tua, Singaraja-Buleleng | Foto: tatkala.co/Son
Barongsai ada dua jenis, Hoksan dan Fatsan. Hoksan memiliki konstruk bibir seperti bebek, dan memiliki tanduk cenderung tumpul. Sementara Fatsan terlihat seperti kucing, dan memiliki tanduk cenderung lancip. Warna boleh apa saja.
Barongsai-barongsai itu, beberapa didatangkan dari Malaysia dan Semarang. “Nanti kita mau beli lagi untuk ukuran yang lebih kecil, agar mereka yang anak-anak bisa juga ikut pentas. Mereka sangat semangat,” kata Koh Iwan.
Liong dan anak-anak yang takjub bergembira pada malam perayaan Imlek di Klenteng Ling Gwan Kiong, Pelabuhan Tua, Singaraja-Buleleng | Foto: tatkala.co/Son
Menariknya, para pemain atau yang menjadi bagian dari kelompok ini tak hanya orang dari etnis Tionghoa atau beragama Khongucu, dari agama lain juga ada—lintas agama. Toleransinya cukup kuat sehingga melahirkan solidaritas tim yang sama kuatnya.
Salah satunya Ni Komang Devika Triana Wedhani, atau biasa dipanggil Vika, ia beragama Hindu, sekitar tahun lalu ia baru bergabung. Meski tergolong baru, permainannya sudah lincah.
Malam itu, Vika ikut serta dalam pementasan barongsai, dengan bertugas menggerakkan kepala barong. Mengedipkan mata. Membuka mulut, dan yang paling terpenting menggigit angpao. Perempuan itu berpatner dengan Nyoman Gede Sukiada—yang bertugas memainkan ekornya dan menahan tubuh Vika ketika melakukan akrobat ke udara.
Liong dan anak-anak yang takjub bergembira pada malam perayaan Imlek di Klenteng Ling Gwan Kiong, Pelabuhan Tua, Singaraja-Buleleng | Foto: tatkala.co/Son
Dalam permainan barongsai, komunikasi menjadi penting selain kuda-kuda harus kuat. Berat kepala barongsai sekitar tiga kilogram. Perempuan itu cukup kuat ketika mengangkat kepala barong yang lebih besar dari kepalanya.
“Saya senang ikut bergabung di kelompok ini, bisa belajar banyak hal salah satunya kerja tim,” kata Vika.
Begitupun dengan Sukiada, ia tampak gembira—bahkan sudah banyak pementasan yang sudah ia kerjakan. Untuk menggerakkan ekor dan mengangkat Vika ke atas, kuda-kuda sebagai tumpuannya menahan sudah terlatih. Latihan sudah digelar sangat lama untuk bisa lihai seperti mereka.
Tak hanya pementasan saat hari raya atau pada acara raya biasa, kelompok ini juga—menjadi salah satu kelompok yang pernah mengirimkan delegasinya untuk Bali di Pekan Olahraga Nasional (PON) Sumatra Utara pada ajang lomba barongsai. Dan dua tahun lalu, 2023 pernah menjadi juara umum di Kejuaraan Daerah (Kejurda) Bali di ajang perlombaan yang sama. Keren. Teruslah hidup…. [T]
Reporter/Penulis: Sonhaji Abdullah
Editor: Adnyana Ole