BAGI masyarakat di kawasan Tejakula, Buleleng—termasuk saya yang berasal dari Desa Les—jalur Kintamani adalah jalur utama dan sangat vital jika hendak menuju Bali Selatan.
Bahkan tak sekadar jalur menuju Bali Selatan dari pesisir utara, jalur Kintamani adalah jalur untuk melihat kembali konsep nyegara-gunung yang dibangga-banggakan Bali, antara desa-desa di pesisir dengan desa di atas perbukitan.
Keterhubungan secara sosial, budaya dan ekonomi, antara desa-desa pesisir dan desa pegunungan, itu pun jelas masih sangat terasa.
Beberapa waktu lalu, untuk kesekian kali saya lewat jalur Kintamani dari Denpasar menuju wilaah Tejakula di Bali Utara. Dari Denpasar melewati Kedewatan, Ubud, sampai akhirnya jeda di Desa Batur.
Di Batur, kopi menjadi hal yang paling lumrah dan menjadi tren bagi siapa pun yang melancong atau sekedar lewat di kawasan ini. Bagaimana tidak. Ngopi sih biasa saja. Tetapi menikmati kopi dengan latar tiga gunung di atas danau barangkali tidak sekadar biasa. juga.
Luar biasa, begitulah para pelancong menulis di caption unggahan mereka di media sosial.
Meski kopi kintamani kebunnya agak jauh dari gunung dan danau, tetapi tetap saja dia harus dinikmati dan dibawa mendekat ke gunung dan danau.
Sebagai orang pesisir saya mempunyai beberapa langganan warung kopi ketika lewat menuju ke Denpasar lewat Kintamani atau sebaliknya. Beberapa di antaranya adalah warung-warung tepi jalan yang menyediakan kopi, bubur kintamani, mujair nyat-nyat, bahkan beberapa dagang bakso di pinggir jalan pun kerap saya singgahi.
Tetapi yang paling spesial bagi saya untuk urusan jaja (kue tradisional Bali). Yakni jaja bantal kintamani. Jaja yang dibuat dari ketan berisi kacang dengan pembungkus janur ini memang memiliki tampilan khas dan rasa yang legit dan unik. Saya mengenal jaja bantal di Desa Les, tetapi dengan bentuk yang berbeda.
Kali ini saya mampir di sebuah warung tepi jalan, tepat di pertigaan yang sekarang dikenal dengan seutan “Cipakan Lampu”. Tepat di tikungan ada sebuah warung menyatu dengan pohon besar di hutan tepi jalan raya.
Adalah Meme Bobol atau yang dikenal denga nama pena Bu Mega yang menjadi penjual di warung itu. Ibu itu telah 15 tahun berjualan sekaligus tidur di warungnya. Satu persatu jaja bantal saya lahap sambil meneguk kopi tubruk tanpa gula.
Jaja bantal Bu Mega | Foto: Nadiana
Bu Mega memang setiap hari tidur di warungnya, bagaimana pun hujan dan kencangnya angin. Ini yang membuat saya terheran sambil melahap total lima jaja bantal.
Sering juga ketika malam ada orang minta air bahkan minta makan dan Bu Mega akan memberinya lewat lobang kecil di penutup dagangannya.
Ia sudah menyatu dengan suasana dan situasi di sana. Semua logat desa sudah sangat lekat dan hapal buat Meme Bobol. Selama puluhan tahun tidur dan berjualan di tempat itu, “Baik dan aman saja,” ucapnya.
Hujan dan angin terus menyambut, kopi di gelas tinggal ampas.
Saya membungkus jaja bantal kintamani yang baru diambil dari tungku. Masih berasap, lumayan membuat jemari merasakan kehangatan. Bu Mega dengan santai bertanya, “Dingin?”
“Ya, dingin,” kata saya sembari mengencangkan jaket.
“Dari Jam 5.30 pagi sampai jam 9 malam warung ini akan terus buka,” kata Bu Mega sembari menutup setengah lipatan jendela terpalnya, menandakan sebentar lagi akan tutup.
Saya bergegas melanjutkan perjalanan turun dan beberapa pesanan jaja bantal kintamani masuk di gawai.
Dari Meme Bobol saya bisa memetik ilmu tertinggi adalah ilmu dagang. Iya, di dalamnya isi matematika, ekonomi, kuliner, dan paling penting adalah yakin akan ada pembeli meski hujan dan angin terkadang kencang sekali.
Entah siapa yang membuat dan mempopulerkan ingatan jaja bantal kintamani pertama, yang jelas ini pasti lebih sejak dulu kala dan dari generasi ke generasi, sebelum toko-toko modern menjamur di kawasan Kintamani, bahkan hampir menyalip populasi pedagang mujair nyatnyat, bubur kintamani dan jaja bantal kintamani, dan pastinya juga bisa menyalip kopi kintamani itu sendiri. [T]
Penulis: Nyoman Nadiana
Editor: Adnyana Ole