MENJADI single mother dan wanita karier di arena kosmopolitan mempunyai tanggung jawab yang besar. Seringkali menguras energi dan kurang memiliki waktu luang. Sebagian besar alokasi waktu dipergunakan untuk anak dan karier. Di samping harus menetralisir stigma negatif dari lingkungan. Image kegagalan berumah tangga, hubungan seksual menyimpang, penurunan kesejahteraan, nilai moral, dan pemberontakan terhadap kodrat wanita.
Artikel ini adalah pengalaman penulis membimbing mahasiswa Doktoral dengan disertasi berjudul Representasi Identitas Diri Perempuan Dalam Teks “The Singel Moms”, atas nama Avi Fibry Octavina, yang sudah dipertahankan pada sidang promosi Doktor di Sekolah Pascasarjana, Universitas Sahid Jakarta, Tahun 2018. Fokus penelitian promovendus pada naskah teks buku The Single Moms, Karya Ainun Chomsun, Budiana Indrastuti, Mia Amalia, Rani Rachmani Moedarta, terbitan Lentera Hati, Anggota IKAPI. Buku single mom, merupakan kisah Inspiratif para penulisnya (4 Wanita) dalam membesarkan anak tanpa suami.
Menurut Martin Heidegger, realitas tidak hanya dapat diketahui hanya dengan menganalisisnya, melainkan membutuhkan pengalaman yang diciptakan oleh bahasa. Perkataan ini bila kita telaah artinya bahwa kenyataan tentang stigma negatif single mom tidak hanya dapat diungkap melalui analisis saja, melainkan perlu melibatkan seluruh rangkaian interaksi dalam lingkungan sosialnya, yang hasil rentetan panjang dari proses komunikasi.
Sedikit kita bergeser untuk melebarkan sayap menengok apa yang terjadi di negara maju, terkait dengan wanita yang berstatus single. Di negara maju single mom terkesan glamor seperti selebriti idola. Tidak seperti stereotip kuno, ketika wanita sangat mengandalkan pendapatan suami. Kondisi wanita menjadi terlihat lebih mandiri.
Semakin tinggi pendidikannya, semakin sanggup menyokong dirinya. Single mother menjadi tren yang menyenangkan. Kebutuhanmereka di negara maju memperoleh perhatian pemerintah. Kondisi kenyamanan demikian biasanya digunakan sebagai alat untuk mencapai tujuan.
Janda masih negatif
Sebuah buku “The Single Moms“, karya Budiana Indrastuti, Mia Amalia, Ainun Chomsun, dan Rani Rachmani Moedarta menjadi acuan untuk ditelaah. Kisah nyata ini bercerita tentang pengalaman masing-masing sebagai ibu tunggal. Konkritnya untuk memberikan gambaran tentang liku-liku menjadi single mother dan wanita karier di perkotaan. Disinggung diantaranya image negatif single mom yang berkembang di masyarakat.
Tiga orang penulisnya merupakan wanita karier yang sukses. Beberapa di antaranya menceritakan pengalaman pribadinya sebagai seorang single mom dengan sulitnya keuangan, alokasi waktu untuk anak-anak, dan aktualisasi diri. Ainun, salah seorang penulis dalam buku tersebut, menceritakan sulitnya membagi waktu antara pekerjaan dan urusan anak. “Ibu tunggal tidak harus merana. Setiap pencapaian walaupun kecil terasa sangat berarti, karena aku kerjakan sendirian”, tutur Ainun. Setitik harapan tak lain untuk meraih kebahagiaan menurut versinya.
Mengutip cerita Dian dalam buku tersebut, tak kalah menarik. Ia menceritakan pengalaman pribadinya ketika naik kendaraan umum. Dalam percakapannya, ia mendengar “ocehan” orang mengenai sosok “janda” yang dinilai negatif. Perkataan “Hati-hati, dia janda, lho” Meski saya tak kenal dan saya tahu bukan saya objek pembicaraan mereka, tak tahan saya nyeletuk, “Bu, kenapa harus hati-hati sama janda? Hati-hati tuh sama teroris….”. Melalui percakapan itu, Dian berusaha menangkis anggapan negatif tentang “janda”.
Kisah berikutnya, masih pengalaman pribadi Dian saat reuni sekolah. Kawannya menyapa: “Gimana kamu?”. Ini adalah kalimat yang biasa kita dengar ketika pertama kali menyapa seseorang. Kemudian selanjutnya, “Pras apa kabar?” Ia tak lain Pras adalah mantan suami Dian. “Eh… tapi aku sudah cerai dari Pras”, sahut Dian. Selelah mengetahui kabar tersebut, reaksi kawannya Dian pun langsung berubah. Selanjutnya ditegaskannya perkataan “serius, kamu bercerai?” Kalimat tanya ini, seolah-olah menyudutkan yang ditujukan bagi wanita bercerai adalah negatif, yaitu status kegagalan dalam berumah tangga.
Dian mengatakan ”norma di Indonesia umumnya adalah berpacaran (sambil sekolah), bertunangan, lalu menikah, punya anak, lalu setelah agak lama…mantu. Di luar itu, bisa dibilang anomali, jadi lain sendiri.” Dian merasa kesulitan, ketika ditanya “apa kabar suamimu?” Kemudian jawabannya, “maaf, nggak punya”, lalu orang itu berkata ”lho, saya kan datang waktu kamu menikah dulu….menurut Dian ini adalah percakapan yang tidak menarik”.
Budiana Indrastuti (Dian) adalah mantan editor sebuah majalah lifestyle. Lulusan Universitas Indonesia, jurusan Sastra Cina ini, melanjutkan masternya di bidang komunikasi, di University at Buffalo, New York. Kini Dian bergabung dengan group media, Media Indonesia. Ia adalah single parent, akibat perselingkungan yang dilakukan suaminya, perpisahan pun tak terelakkan. Dian mengurus dan membesarkan putra semata wayangnya yang bernama Arya. Saat bercerai, ia tinggal bersama ibunya.
Masih menurut Dian, kebanyakan wanita dan keluarganya tidak siap mengatakan jika dirinya berstatus single. Kalimat “apa kata orang”, kerap kali diucapkan oleh keluarganya untuk menyembunyikan status single. Status single Dian disembunyikan oleh keluarganya rapat-rapat. Kerabat jauh, bibi Dian pun sampai-sampai tidak mengetahui.
Suatu ketika, Dian bertemu bibinya. Ia menyapa: piye kabare bojomu? Bagaimana kabar suamimu?, dalam percakapannnya. Dian terbata-bata menjawab, tidak tega harus menjawabnya, disaat suasana gembira. Teks tersebut artinya, baik para single mom, maupun keluarganya malu mendapatkan image single yang terkesan buruk oleh budaya lokal.
Percakapan berikutnya, Dian dengan pamannya. Di dalam percakapannya, paman ingin menjodohkan kakak laki-laki Dian dengan kenalannya. Perkataan yang muncul “Tapi…dia janda. Jadi agak gimanaaaa……” seraya Paman menoleh ke arah Dian, kemudian beliau meminta maaf.
Dian menelaah kata-kata pamannya. Meskipun beliau ingin mengkonfirmasi, bahwa ia tidak berniat menyakita hati Dian. Namun demikian, Dian berasumsi masih banyak hal yang dianggap negatif dengan status single. Akhirnya, Dian pun melangkah. Ia tidak terlalu memperdulikan lingkungan dan “yang penting berusaha menjadi yang terbaik, kan?”, pungkasnya.
Alaminya, wanita itu lemah, membutuhkan kehadiran pria untuk keseimbangan. Namun sayangnya, situasi ini berbeda bagi para single mom. Baginya, penopang dapat berwujud materi, maupun psikologi. Baik diperoleh dari keluarga, maupun kerabat. Oleh karenanya, mereka perlu terus memupuk komunikasi dengan seseorang yang membuatnya merasa nyaman. Tujuannya, agar kondisi mental dan psikologis ibu tunggal tetap terjaga.
Langkah yang ditempuh untuk mencari identitas diri positif, diperlukan pijakan kebenaran, keadilan dan sentuhan moral. Single mother tidak selamanya dinilai negatif. Penilaian masyarakat yang belum tentu benar. Hal itu perlu dikaji lebih lanjut, dianalisis dan dibuktikan, melalui teori pendukung.
Penerapan komunikasi lintas budaya ini diperlukan untuk memahami isu-isu budaya global versus budaya lokal. Alasannya, citra diri single mom ini menghadapi permasalahan dinilai negatif oleh tradisi lokal, namun bagi modernitas yang global merupakan hal yang lumrah. [T]
Penulis: Ahmad Sihabudin
Editor: Adnyana Ole
- BACA artikel lain dari penulis AHMAD SIHABUDIN