AWALNYA saya kira pameran TA (Tugas Akhir), ternyata bukan. Pameran yang digelar oleh mahasiswa jurusan seni rupa Universitas Pendidikan Ganesha (Undiksha) Singaraja di di Galeri Paduraksa FBS, 27 Desember 2024 sampai 10 Januari 2025.itu adalah pameran studi khusus, semacam muara atas studi atau riset mahasiswa terhadap pilihan bidang ilmu seni rupa meliputi seni lukis, grafis, patung, tekstil, patung, keramik, penulisan/kuratorial, dan prasimologi.
Mereka yang berpameran adalah Fira Eldiana, Ketsia Rahel, Hendro Priyono, Ida Bagus Dwipayana, Ni Made Sahsikirani, I Made Bayu Saka Palwaguna, Septian Ari Sandi, I Kadek Agus Reka Biambara Putra, Komang Andi Wibawa Putra, Himan Cahyadin, Dewa Made Agung Kusuma Wardana, Restu Stefanny, I Gede Adi Maha Pratama, I Gede Putu Mahesa Pradnya Winata, Muhammad Ainur Rofiq, Ni Luh Putu Vanesha Axelia Damayanti, I Putu Egga Putra Adnyana, Made Cening Gandawangi, Gede Bayuna, I Nyoman Alex Kade, I Gede Agustawan Dwi Mahardika.

Suasana Pameran Peta Tanpa Arah di Gallery Paduraksa Prodi Seni Rupa Undiksha Singaraja | Foto: Purwita
Pameran studi khusus ini menghadirkan hasil studi mendalam mahasiswa terkait bidang-bidang seni rupa dan khusus bidang ilmu terakhir adalah yang paling mencuri perhatian, yaitu berkenaan dengan studi terhadap prasi atau ilustrasi yang pada umumnya ditemukan pada lontar maupun kertas.
Jurusan Seni Rupa, Undiksha, sangat berhasil mengembangkan seni prasi dalam istilahnya dinyatakan sebagai Prasimologi. Mata kuliah ini berkenaan dengan keilmuan terhadap seni ilustrasi khas yang dapat ditemukan pada masa lalu hanya pada media lontar dan kertas, figur dan atribut pembeda tokoh-tokoh yang digambarkan mengadaptasi wujud wayang klasik Kamasan. Kekuatannya pada garis-garis yang ditoreh pada media lontar dan garis-garis yang digurat pada media kertas. Kekuatan lainnya adalah tata cara pemilihan adegan atau tata cara menggambarkan figur tokoh berkenaan dengan konteks latar cerita. Sebab prasi sebagai sebuah ilustrasi tidak terlepas daripada sifat naratifnya yang kuat, dasarnya adalah cerita, baik sastra lisan maupun tertulis, seperti epos dalam kakawin, geguritan atau peparikan.

QR Code E-Catalogue Peta Tanpa Arah | Foto: Purwita
Definisi prasi dalam konteks studi kritis terhadap definisinya telah dilakukan oleh I Gede Gita Purnama A.P melalui tulisannya yang berjudul “Prasi? Sekilas Saja Tentang Penamaan”dan dapat dibaca pada buku Hard-Iman – Kumpulan Tulisan dan Karya Seni Budaya Rupa (2022) terbitan Komunitas Budaya Gurat Indonesia.
Pada tulisan itu dinyatakan bahwa perkembangan prasi kini nampak eksplorasi media yang sangat menarik, kombinasi lontar-tembaga, kombinasi lontar-kuningan, menjadi eksplorasi paling mutakhir kini pada seni jenis ini. Tentu eksplorasi-eksplorasi ini akan kian berkembang ke depan.
Gita Purnama atau yang saya akrabi dengan panggilan Bli Bayu menganalisis arti istilah prasi yang dilontarkan oleh I Ketut Suwidja dalam bukunya Mengenal Prasi (1979) terbitan Gedong Kirtya Singaraja, selain juga menelusuri definisi prasi dari kamus ke kamus dan leksikografi yang melekat pada prasi semisal lukisan pada lontar, lontar komik, gegambaran; sedangkan untuk medianya disebut terbatas pada lontar dan kertas.
Topik tulisannya berkenaan dengan asal-muasal definisi prasi dan melihat kenyataan perkembangan wujud prasi dari masa lalu hingga masa kini. Singkatnya Bli Bayu menyebutnya sebagai karya rupa-sastra untuk menyebut prasi.
Apa yang dinyatakan Bli Bayu pada tahun 2022 nampaknya meledak-ledak dari hasil capaian kreatifnya hari-hari ini di ruang pameran prodi seni rupa Undiksha. Sebab dua karya yang dipamerkan dalam konteks Prasimologi menunjukkan perkembangan melampaui definisi atas prasi itu sendiri.
Tercatat dua nama mahasiswa yang mengambil bidang Prasimologi, yakni I Gede Agustawan Dwi Mahardika dan I Kadek Agus Reka Biambara Putra.
Dwi Mahardika menghadirkan tiga panel karya dengan pendekatan penyajian ilusi optikal, pengerjaan masih dengan teknik tradisional yaitu daun lontar yang ditoreh kemudian dihitamkan dengan arang, akan tetapi tata cara bagaimana karya itu disajikan adalah hal menarik. Ilusi optikal didapatkan dengan menempelkan dua daun lontar seolah menekuk, penempatannya secara vertikal dan berjajar. Jika kita berdiri pada sudut tertentu, baik pada sisi kiri maupun kanan, yang ditetapkan maka kita akan melihat gambar adegan dengan jelas. Sedangkan jika melihat karya ini dari depan maka yang kita lihat adalah karya abstrak. Kualitas goresannya pun detail dan teliti begitu juga dari perwujudan figur dan komposisi.
Meskipun kita familiar dengan tata cara menyajian model ini dalam dunia modern, setidaknya model penyajian optikal seperti ini membuat prasi menjadi lebih segar dan mencuri perhatian dari pada karya lukisan lainnya yang berwarna.


Karya-karya Dwi Mahardika | Foto: Purwita
Tiga panel karya Dwi Mahardika bertema epos Bharatayudha dengan judul “Yudistira Crown and Hope”, “Arjuna Love and Dexterity” dan “Bima Greddy and Power.” Dimensi masing-masing karya adalah 50cm x 50cm. Fokus Dwi Mahardika lebih kepada penghadiran karakter dari tokoh Pandawa, hal itu nampak pada deskripsi karyanya yang lebih menekankan kehadiran karakter pun simbol dan tanda-tanda visual yang dimainkan pada karyanya.
Karya dari Reka Biambara Putra adalah gong dari seluruh karya yang dipamerkan pada ruangan pameran Paduraksa milik Prodi Seni Rupa Undiksha itu. Karya Reka Biambara Putra disajikan dengan instalatif, yaitu membawa fragmen gambelan jegog khas Jembrana ke dalam ruang pameran, akan tetapi bukan itu yang menarik dalam karya ini.


Jegog – Karya Reka Biambara | Foto: Purwita
Setelah mengamati instalasi fragmen jegog, ada detail yang mencuri perhatian yaitu bilah bambu jegog, ada narasi yang digambarkan pada batang instrument musik ini dan sangat kontekstual yaitu fragmen sejarah perkembangan alat musik jegog Jembrana dari masa Kyang Gliduh, Era Genjor, Era Ni Suprik, hingga Era Jayus dan Pekak Jegog.
Hal itu membuat saya harus mendekat lebih dekat sedekatnya pada batang bambu yang besar dan panjang, melihat ilustrasinya lebih dekat, fragmen per fragmen, komposisi visual yang dihadirkan pada batang bambunya. Ada eksplorasi medium yang dilakukan dan tidak terbayangkan sebelumnya bagi saya untuk menghadirkan fragmen ilustrasi narasi sejarah jegog melalui penerapan teknik pyrography pada batang-batang bambu jegog yang besar itu.





Jegog karya Reka Biambara dilihat secara detail | Foto: Purwita
Reka Biambara Putra dengan karya berjudul “Jegog” memiliki nilai yang kompleks.
Pertama, muatan nilai sejarah, bahwa ia melakukan studi kesejarahan dan mengkonstruksinya melalui fragmen-fragmen ilustrasi.
Kedua, pendekatan prasi yang ia lakukan pada karyanya dapat menjadi bahan analisis wacana lebih lanjut terkait definisi prasi itu sendiri.
Ketiga, inovasi yang memadu-padankan unsur utama prasi yaitu ilustrasi bersinggungan dengan keahlian tangan kriya tanpa merubah nada pada batang jegog, intinya sisi aplikatif dan fungsi bilah bambu pada jegog tidak terganggu.
Keempat, wacana kekontemporeran seni rupa Indonesia yang hadir dalam wujud instalatif dan proses dibalik perwujudan karya.
Saya menjadi optimis bahwa Prodi Seni Rupa dan Undiksha sebagai lembaga akademik telah berhasil membawa muatan lokal yaitu seni prasi kepada perkembangannya yang lebih baru dan kontroversial sekaligus dapat dipertanggungjawabkan secara akademik. Asalkan dengan catatan bahwa mahasiswa masih berpegang teguh pada daya imajinatif cipta mereka dan proses riset atau studi yang jelas dan serius.
Dan semoga semangat mereka (mahasiswa seni rupa) sejalan dengan pernyataan kuratorial mereka pada pameran Peta Tanpa Arah yang menyatakan “Kami tahu mau dibawa kemana seni rupa Undiksha 2021.” [T]
Pohmanis, 28 Desember 2024