MASYARAKAT Hindu di Bali percaya dengan falsafah Tri Hita Karana, mengajarkan tentang hubungan harmonis yang patut diupayakan untuk menciptakan kehidupan yang bahagia dan rukun. Tidak sedikit yang menggembar-gemborkan falsafah tersebut, bahkan terkadang dicantumkan pula dalam promosi-promosi pariwisata.
Salah satu bagian dari Tri Hita Karana adalah palemahan, yang berarti hubungan harmonis antara manusia dengan lingkungan. Palemahan dapat diimplementasikan dengan menjaga lingkungan sekitar, tidak membuang sampah sembarangan, hemat menggunakan energi, merawat dan menanam pohon, menggunakan sumber daya alam secukupnya, dan masih banyak lagi.
Masyarakat hindu Bali juga merayakan tumpek wariga atau disebut juga dengan tumpek uduh, yaitu hari raya suci untuk menghaturkan rasa syukur kepada Tuhan dalam wujud tumbuh-tumbuhan. Sederhananya, perayaan terhadap lingkungan.
Tumpek Uduh dirayakan setiap enam bulan sekali, tepatnya pada hari Sabtu Kliwon, wuku Wariga, atau 25 hari sebelum Hari Raya Galungan. Biasanya pada perayaan ini, masyarakat akan menghaturkan banten atau sesajen berupa bubur sumsum dan canang. Kemudian, dilanjutkan dengan mengucapkan rasa syukur seraya berdoa agar tanaman bisa tumbuh subur. Kata ‘uduh’ sendiri dalam bahasa Bali berarti ‘perintah’, yaitu perintah kepada tanaman agar lebat berbuah.
Sampai saat ini, tradisi dan penghormatan kepada lingkungan masih tetap dilakukan oleh masyarakat Bali. Akan tetapi, di luar hal-hal yang menyangkut kepercayaan, benarkah masyarakat peduli dengan lingkungannya? Atau hanya sekadar formalitas keagamaan semata?
Kesakralan Terlibas Sampah
Nyatanya, masih banyak orang yang apatis dengan lingkungannya. Mereka tahu filsafat Tri Hita Karana, mereka paham konsep palemahan. Tetapi, mengimplementasikannya mereka masih abai.
Paling mudah bisa ditemukan saat ada pujawali atau upacara di pura-pura besar di Bali. Setelah selesai melakukan persembahyangan, masih banyak oknum masyarakat yang membuang sampah sembarangan, tidak hanya di luar tetapi juga ada di dalam areal pura. Lalu untuk apa datang jauh-jauh menghaturkan rasa syukur kepada Tuhan, tetapi tidak peduli dengan lingkungan yang juga pemberian Tuhan? Tidak hanya sisa persembahyangan, tetapi sisa makanan, dan plastik juga dibuang sembarangan begitu saja. Secara tidak langsung, rumah Tuhan telah dikotori.
Sarana upacara yang seharusnya menjadi sesuatu yang sakral, justru malah menjadi sampah yang mengotori lingkungan. Tentu bukan salah sampahnya, tetapi salah orang yang membawanya, yang tidak peduli dengan lingkungan.
Pemerintah jelas tidak menutup mata, berbagai peraturan telah diberlakukan untuk mengelola sampah yang kian hari semakin menimbun Bali. Namun, ternyata itu masih kurang efektif, perlu diadakan sosialisasi yang lebih intens kepada masyarakat, agar tahu dan paham bagaimana mengelola sampah pribadinya.
Dilansir dari postingan Instagram Pusat Pendidikan Lingkungan Hidup Bali (@pplh_bali) yang diunggah pada 15 September 2022, dikatakan bahwa penyumbang sampah organik di Bali dominan berasal dari sisa sarana upacara. Dari data Sistem Informasi Pengelolaan Sampah Nasional (SIPSN) Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan Indonesia pada tahun 2021, komposisi sampah organik yang ada di Bali sebesar 55,47%.
Overtourism dan Sampah
Selain itu, masifnya industri turisme di Bali juga menjadi salah satu faktor terjadinya krisis ekologi di Bali. Baru-baru ini, Bali harus menerima kenyataan pahit dengan masuk ke dalam daftar 15 destinasi yang tidak layak dikunjungi sepanjang 2025 versi Fodor’s Travel–salah satu panduan perjalanan paling berpengaruh di dunia, asal Amerika Serikat.
Mengutip dari CNN Indonesia, dalam artikel “Bali Masuk Tempat Wisata yang Tak Layak Dikunjungi di 2025”, masuknya Bali bukanlah tanpa alasan. Selain karena overtourism, hal ini juga disebabkan karena masalah sampah plastik.
Fodor memasukkan Bali akibat permasalahan sampah dan overtourism yang dinilai merambah habitat alami Bali, mengikis warisan lingkungan dan budaya, serta menciptakan ‘apocalypse plastic’ atau ‘kiamat sampah plastik’.
“Pantai-pantai yang dulunya bersih, seperti Kuta dan Seminyak, kini terkubur di bawah tumpukan sampah, dengan sistem pengelolaan sampah setempat yang berjuang keras untuk mengatasinya,” tulis Fodor.
Permasalahan sampah tentu bukan sesuatu yang sepele, hal ini menjadi isu yang sangat serius. Banyak kasus-kasus yang telah terjadi akibat sampah, mulai dari satwa laut yang hidupnya terancam karena sampah, seperti penyu-penyu yang ditemukan mati akibat terjerat dan memakan sampah. Tercatat hampir seribu penyu mati setiap tahunnya karena sampah. Kemudian, ada pula berita pada 2018 silam tentang Rich Horner, penyelam asal Inggris yang membuat video saat ia menyelam di Bali, lautnya dihiasi sampah plastik dan pembungkus makanan.
Bahkan di Palung Mariana, titik terdalam di perairan bumi juga ditemukan sampah. BBC News Indonesia menceritakan, seorang penjelajah asal Amerika Serikat, Victor Vescovo menemukan kantong plastik di dasar laut saat ia memecahkan rekor penyelaman terdalam. Pertanyaannya adalah, bagaimana sampah plastik bisa sampai ke sana?
Resolusi Tanpa Aksi Sama Saja Basa-Basi
Permasalahan sampah akan selalu menjadi isu yang tidak ada habisnya untuk diperbincangkan. Upaya penyelesaiannya pun terbilang masih sangat sukar untuk dijalankan secara kolektif.
Namun, ini semua bukan hanya perihal sampah. Tetapi kembali lagi ke awal pembahasan, yaitu hubungan harmonis antara manusia dengan lingkungan. Lalu, dari berbagai macam permasalahan yang telah terjadi, apakah hubungan manusia dengan lingkungan bisa dikatakan harmonis? Segala macam problematika sampah menjadi tamparan keras untuk kita. Tentu, perlu keseriusan dan harus memiliki rasa tanggung jawab untuk urusan ini.
Seluruh lapisan masyarakat harus mempunyai kesadaran dan inisiatif untuk bersama-sama menjaga lingkungan. Bali harus tetap menjadi pulau yang dijuluki pulau seribu pura dan pulau dewata, bukannya menjadi ‘pulau sampah’ ataupun ‘pulau plastik’. Sampah telah merusak citra Bali di mata dunia, kini sampah sudah menjadi musuh besar bagi keindahan Bali dan harus diperangi bersama.
Berbagai hal bisa dilakukan untuk menanggulangi sampah. Dimulai dari mengurangi penggunaan plastik sekali pakai, tidak membuang sampah sembarangan, dan mulai memilah-milah sampah dari organik, anorgarnik, serta sampah B3.
Sampah organik bisa dimanfaatkan untuk menjadi pupuk kompos, eco-enzim, pakan ternak, biogas, hingga kerajinan tangan. Hal tersebut sudah banyak dilakukan oleh komunitas-komunitas peduli lingkungan, para aktivis lingkungan hidup, dan kalangan masyarakat yang berkecimpung di bidangnya.
Kemudian sampah anorganik seperti kertas, kaca, dan plastik bisa didaur ulang kembali menjadi produk baru. Selain itu, bisa juga dijual ke bank sampah, dijadikan kerajinan, menggunakan kembali sampah yang masih bisa berfungsi, melakukan insinerasi untuk menjadi energi, dan masih banyak lagi. Itulah pentingnya memilah sampah dengan bijak, agar bisa dimaksimalkan menjadi sesuatu yang bermanfaat.
Berbagai ilmu-ilmu tentang praktik pengolahan sampah semacam itu perlu disebarluaskan kepada masyarakat, agar masyarakat dapat mengetahui bagaimana cara mengolah sampah menjadi sesuatu yang berguna, yang sekaligus dapat menjaga ekosistem dan membuat lingkungan menjadi semakin baik.
Belakangan juga banyak bermunculan komunitas, LSM, hingga badan usaha peduli lingkungan yang diinisiasi oleh anak-anak muda. Tentu, hal semacam ini menjadi suatu langkah awal yang baik untuk menjaga lingkungan. Apalagi kesadaran terhadap kebersihan perlu dipupuk sedari dini, agar generasi mendatang selalu awas dengan lingkungannya.
Kini komunitas-komunitas tersebut telah menjadi daya tarik bagi anak-anak muda, banyak di antara mereka merasa keren jika bisa ikut dalam kegiatan-kegiatan sosial maupun bersih-bersih. Oleh karena itu, sosialisasi tentang menjaga lingkungan perlu digencarkan lagi kepada masyarakat. Tentu, pendekatannya harus dengan cara yang humanis, dengan kekinian, tidak kaku, serta sasarannya tidak hanya anak muda, tetapi juga masyarakat secara umum.
Semua harus dimulai dari kesadaran diri sendiri, karena penyelesaian masalah perlu dibarengi dengan tindakan yang nyata. Kalau dalam istilah Bali, ada yang namanya ‘Sekala-Niskala’, yaitu keseimbangan antara dunia kasat mata dan dunia maya. Jadi segala hal harus seimbang, harus beriringan bersama, tidak ada tumpang tindih.
Masyarakat Bali pasti percaya dengan adanya hukum karma. Apa yang kita tanam itulah yang kita tuai. Jika kita menanam cinta dan kebaikan kepada lingkungan, maka lingkungan akan memberikan cintanya pula kepada kita. Namun, jika kita mengotori dan mencemari lingkungan, maka semua keburukan seperti penyakit, polusi, dan lain sebagainya akan berbalik juga kepada kita, yang mungkin saja bisa memusnahkan manusia secara perlahan-lahan. [T]
BACA artikel lain dari penulis DEDE PUTRA WIGUNA