“KAMI sudah 11 tahun menyelenggarakan festival ini,” ujar lelaki berambut panjang itu sembari tersenyum. Perkataan tersebut disambut meriah oleh tepuk tangan hadirin. Dan itu ia ucapkan dalam jumpa pers yang banyak dihadiri oleh wartawan dari berbagai media di Bali.
Ya, menjelang pagelaran Sthala Ubud Village Jazz Festival 2024, pihak penyelenggara mengadakan jumpa pers di hotel Sthala Ubud Bali, Kamis (25/7/2024) siang. Dan lelaki berambut panjang tersebut, A.A. Anom Darsana, atau yang akrab dipanggil Gung Anom, menyampaikan banyak hal mengenai festival yang ia gagas bersama karibnya, Yuri Mahatma, itu.
Sejak dilahirkan, Ubud Village Jazz Festival (UVJF) sudah didasari dengan semangat idealisme para penggagasnya. Sepasang sahabat, Gung Anom dan Yuri Mahatma adalah dua tokoh idealis di balik festival jazz ini. Sebelum mereka bertemu sekitar tahun 2009 silam, Gung Anom masih berkarier di Swiss sebagai sound engineer (tata suara) dan Yuri sebagai musisi dan komposer musik jazz tanah air.
“Saya sempat sekolah di Swiss. Setelah tamat sempat kerja sound engineering di festival seperti Montreux Jazz Festival, Cully Jazz Festival, dan Lussane Jazz Festival di Swiss sebelum saya pulang ke Bali dan mendirikan Antida Music,” terang Gung Anom.
Gung Anom (tengah) saat berbicara di konferensi pers UVJF 2024 | Foto: Jaswanto
Kembali ke tanah kelahiran, Anom dan Yuri dipertemukan dan memiliki pandangan, ide-gagasan, yang sama terhadap musik jazz Tanah Air—sampai pikiran itu mengendap dan terbit satu pertanyaan dasar mengapa tidak ada festival jazz yang idealis (murni) di Indonesia? Mereka berdua beranggapan ada banyak festival jazz, tapi tidak benar-benar murni menampilkan musisi jazz.
Menurut Gung Anom, Indonesia memiliki banyak talenta jazz, tetapi tidak semua bisa diakomodir festival jazz yang juga banyak di tanah air. Hal tersebut disebabkan alasan komersial. Beberapa penyelenggara festival jazz tidak berani mengundang band-band jazz yang tidak terkenal hanya karena takut band tersebut tidak bisa menarik massa. Jadilah tidak semua musisi yang ditampilkan di festival-festival tersebut seorang ‘Cat’ (sebutan lain antarsesama musisi jazz).
“Festival lain bisa besar mungkin bukan karena jazz-nya, tapi karena ada musisi (bukan jazz) yang digemari masyarakat,” ungkap Anom.
Tahun 2013 UVJF resmi digelar di Arma Museum, Ubud. Ini menjadi edisi yang pertama. Namun, meski sudah digelar di pusat aktivitas wisatawan asing, UVJF perdana itu hanya dihadiri 150 penonton. Anom mengakui, mengenalkan jazz ke publik cukup sukar dan jika dilihat dari sisi komersial tentu tidak cukup menguntungkan. “Laporan keuangan UVJF selalu merah hingga edisi keempat,” ujarnya.
Di samping itu, kurasi yang dilakukan UVJF terhadap musisi jazz bukan atas pertimbangan kepopuleran semata, melainkan dipilih berdasarkan kualitas musiknya. Hal ini memperparah kondisi UVJF edisi pertama dari segi komersial. Tapi, pemikiran idealis untuk terus mengadakan festival jazz bagi para Cats dan pecintanya tidak surut walau besar pasak daripada tiang.
Menurut Anom, ia dan tim UVJF tidak mencari hidup di festival, tapi malah sebaliknya, berusaha untuk menghidupi festival. “Soal keuntungan, kami taruh di barisan paling belakang. Yang penting misi tercapai, idealisme tersalurkan,” ujar Yuri sambil tertawa saat menguatkan apa yang dikatakan sahabatnya itu.
“Tahun ini kami menargetkan penonton sebanyak 2.500 orang per hari atau setengah dari kapasitas yang bisa ditampung Sthala. Kebanyakan penonton ini ekspat dan wisatawan asing. Ada juga yang sudah reguler dan tahu jadwal UVJF tiap tahun,” terang Anom.
Idealisme yang Terjaga
Sebagaimana telah disinggung di atas, UVJF merupakan festival jazz yang dibangun dengan idealisme yang kuat—idealisme untuk tidak mencampuradukkan musik jazz dengan genre musik yang lain dalam satu festival.
Namun, meski harus melewati banyak batu sandungan, pelan-pelan idealisme itu akhirnya membuahkan hasil. UVJF mulai dilirik penonton dan pemerintah lantaran menjelma jadi destinasi wisata khusus. Turis-turing asing berkulit pucat terus mengalir ke Bali hanya untuk menghadiri festival tersebut. Kamar-kamar hotel sekitar tempat festival penuh. UVJF dianggap rumah oleh para Cats nasional dan internasional. Di atas panggung, mereka menjadi diri.
“Kami tidak akan pernah mengubah idealisme ini; kami ada di jalur jazz dan akan tetap di jalur ini. Kami dikenal karena ini, sampai ada musisi di Jakarta yang bilang, ‘Kamu belum jadi musisi jazz kalau belum manggung di UVJF’—dan ini jadi kebanggan bagi kami,” tutur Anom.
UVJF, seperti yang telah disampaikan di atas, bukan ladang untuk mencari untung para pendiri, tapi murni menyalurkan idealisme. Kata Anom, mereka masing-masing punya kesibukan dan usaha sendiri. Dan komite UVJF baru berkumpul sebulan sebelum festival dimulai.
Yuri Mahatma, pada saat ditanya mengenai idealisme UVJF di tengah banyak festival jazz yang mencampur berbagai genre musik di dalamnya bahkan memberikan komentar yang lebih keras. “Menurut saya pribadi, memasukkan musisi di luar jazz itu jadi ibarat aib untuk UVJF,” ujar kurator musik UVJF di konferensi pers siang itu.
Tapi, Yuri menegaskan, idealisme ini hanya berlaku dalam hal konten musik yang harus jazz. Dalam hal kolaborasi, UVJF menerima bentuk seni lain di luar seni musik. Barangkali berkat idealisme yang terjaga selama satu dekade ini, UVJF kini jadi barometer musik jazz nasional maupun internasional.
Mengenai pertimbangan kurasi musik UVJF, Yuri menjelaskan bahwa pertama yang harus dilihat adalah musiknya. Menurut Yuri, jazz identik dengan improvisasi—musik yang membebaskan orang untuk meinterpretasi lagu-lagunya. “Sepanjang musiknya mengandung unsur itu, dan porsinya banyak dalam memberi ruang improvisasi dan interpretasi, itu adalah jazz—dan itu salah satu indikator kami,” jelasnya.
Di banding dengan daerah lain di Indonesia, musik jazz di Bali memiliki ekosistem yang lebih bagus. Artinya, banyak ruang di Bali yang mengapresiasi karya-karya musisi jazz. “Salah satunya UVJF. Dari sini banyak yang tertarik untuk belajar musik jazz,” kata Yuri.
Salah satu penampil UVJF ke-11 tahun ini, Uwe Plath, saksofonis asal Dortmund, Jerman, mengaku menjadi saksi hidup perjalanan UVJF, dari edisi pertama—yang hanya mendatangkan 150 penonton itu, sampai menjadi festival jazz sekaliber sekarang.
Komite-penyelenggara UVJF, Sthala General Manager, dan beberapa musisi jazz yang akan tampil | Foto: Jaswanto
“UVJF telah memberikan warna di dunia jazz internasional. Saya masih ingat tampil pertama kali di acara perdana dan sejak itu selalu ada peningkatan. Di Eropa, UVJF ini sudah punya nama dan saya selalu mendapat pertanyaan bagaimana agar bisa datang ke sini, bagaimana agar bisa tampil di sini,” ungkap Plath. Tahun ini Plath juga akan tampil lagi di UVJF.
Plath mengatakan, tahun ini ia akan datang bersama musisi muda dari Jamaika, Jerman, dan musisi jazz muda lainnya. Ide membawa mereka dalam festival jazz internasional ini adalah bentuk dukungan kepada musisi-musisi baru tersebut. “Murid-murid saya berumur 17-18 tahun, ada juga yang berumur 11 tahun akan tampil. Jadi, itu memberikan akses kepada anak-anak untuk memiliki platform pentas,” jelasnya.
Tempat Baru
“Saya jelaskan dulu. Kenapa sejak awal memilih Ubud, dan bukan Nusa Dua, misalnya? Pertimbangannya adalah dari segi pariwisatanya. Hotel-hotel di Nusa Dua berbeda dengan yang ada di Ubud. Nusa Dua lebih mengarah ke industri pariwisata yang masif. Sedangkan di Ubud lebih membaur dengan keseniannya, dengan local wisdom-nya,” terang Yuri.
Setelah melewati sembilan edisi penyelenggaraan di Arma Museum, sejak edisi ke-10 tahun 2023 lalu, lokasi UVJF digeser ke Sthala Ubud, Desa Lodtuduh, Ubud, Gianyar. UVJF Ke-11 tahun ini—dan setidaknya empat edisi ke depan—akan digelar di hotel tersebut. “Sejak tahu lalu kami sudah bekerja sama dengan Sthala selama lima tahun mendatang,” kata Gung Anom.
Alasan utama bergesernya UVJF ke Sthala adalah karena lokasi yang tersedia di Arma Museum sudah tidak mampu mengakomodasi penambahan panggung menjadi tiga. Selain itu, masalah kemacetan di Ubud, khususnya akses menuju Arma Museum di Jalan Raya Pengosekan, Desa Mas, Ubud, juga menjadi pertimbangan serius.
Menurut Lasta Arimbawa, GM Sthala, alasan Shatala Ubud menerima kerja sama dengan UVJF karena festival ini sesuai dengan spirit perusahaan tempatnya bekerja. Selain itu, dari pagelaran ini Sthala juga mendapat banyak keuntungan tidak langsung.
“Sthala memiliki 143 kamar dan merupakan trend center untuk meeting di Ubud. Spirit kami adalah turut serta aktif membeli produk UMKM Bali. Sebelumnya, kami pernah mengadakan charity dan menyumbangkan banyak hal. Marriott tidak selalu melihat segala sesuatu dari sisi bisnis. Bekerja sama dengan tim yang luar biasa juga merupakan sesuatu hal yang harus disyukuri,” ujar Lasta.
Di tampat yang baru, tiga panggung ramah lingkungan—berbahan bambu—akan didirikan. Panggung tersebut disebut Giri, Padi, dan Subak. Panggung ini berdiri di bantaran (riverside) Tukad Wos yang menawarkan suasana eksotis. Ketiga panggung juga dirancang semaksimal mungkin untuk mendapat pemandangan langit senja. Tentu ini akan menambah indah, romantisnya, suara melodi jazz para penampil.
“Kami juga akan menghidupkan festival dengan urutan yang baik dalam penggarapan panggungnya. Tahun ini entrance-nya pindah, tetapi venue-nya sama. Flow-nya kami pelajari dari tahun lalu. Venue di Sthala sudah sangat cantik, tetapi tantangannya bidangnya tidak terlalu lebar sehingga tidak selalu ada crowd,” terang Diana Surya, arsitek yang bertugas untuk tata panggung.
Diana mengatakan bahwa UVJF juga bekerja sama dengan Eco Bali untuk urusan sampah festival—karena UVJF sangat peduli dalam menjaga bumi. “Ada 110 artis yang berpartisipasi untuk membuat lampion. Ya, nanti akan ada penjualan lampion, dan seluruh pemasukannya akan disumbangkan untuk kanker anak. Kalau ini kami bekerja sama dengan Niluh Bali,” sambungnya.
Dan mulai tahun ini, UVJF secara resmi menjadi ‘sister festival’ dengan Rostov International Jazz Festival, Rusia. Ke depan, program pertukaran musisi jazz antarkedua negara bakal dilakukan melalui Ubud dan Rostov.
Selain itu, UVJF ke-11 juga telah masuk dalam 10 besar Kharisma Event Nusantara (KEN) Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif. Sthala-Ubud Village Jazz Festival tahun kedua ini akan mempersembahkan 16 penampilan solo, duo, grup, dan kolaborasi lintas negara dari Tanah Air, Jerman, Swiss, Prancis, Italia, Polandia, Rusia, dan lainnya selama dua hari, 2 dan 3 Agustus 2024.
Keenambelas penampil itu terdiri musisi jazz lokal, seperti Adien Fazmail Quinteto, Collective Harmony, Dian Pratiwi, Jazz Centrum Quartet, Galaxy Big Band, FAWR Trio, Benny Irawan Trio, dan kolaborasi lintas negara seperti Erick Chuong Trio (Hongkong) featuring Sinuksma & Kanhaiya.
Ada juga penampilan kolaborasi dan musisi mancanegara, seperti Claudio Diallo (Swiss) with Indra Gupta & Gustu Brahmanta, New Centropezn Quartet (Rusia), Noé Clerc Trio (Prancis), Rason, Rodrigo Parejo Quartet (Spanyol), Simone Prattico Trio (Italia), Uwe Plath Quartet (Jerman), dan Zagórski/Skowroński Project (Polandia) featuring Kajetan Galas. “Selama dua hari itu, komposisinya 50 persen lokal, 50 persen internasional,” kata Yuri.
Denys Cennet Planchard dari Allianze Francaise Bali mengatakan, kerja sama lintas negara ini bertujuan supaya lebih banyak musisi jazz memiliki koneksi yang berkelanjutan, khsusnya antara musisi Prancis dan Indonesia. “Kami sangat senang karena kerja sama ini tidak hanya antara kami dan Indonesia, tapi juga antara Indonesia dan Prancis, dan kami memiliki sejarah panjang. Terima kasih banyak untuk seluruh tim Indonesia UVJF,” ujar Denys.[T]
Reporter: Jaswanto
Penulis: Jaswanto
Editor: Adnyana Ole