KUNJUNGAN Presiden Rusia Vladimir Putin ke Korea Utara pada 18-19 Juni 2024 memantik banyak spekulasi, terutama di kalangan pengkaji Hubungan Internasional. Terakhir kali Putin menginjakkan kaki di Negara Para Petapa (Hermit Kingdom) ini 24 tahun lalu, ketika Korea Utara masih dipimpin Kim Jong II, ayah dari pemimpin saat ini, Kim Jong Un.
Menyambut pertemuan istimewa ini, Korea Utara diberitakan telah menyiapkan pesta dan resepsi kenegaraan. Menurut sumber Kremlin, agenda utama pertemuan ini meliputi peningkatan kerja sama ekonomi, energi, pertahanan, dan teknologi. Kedua pemimpin juga menekankan pentingnya solidaritas dalam menghadapi tekanan Barat.
Apa yang bisa dijelaskan dari pertemuan ini? Menurut logika awam saya, Putin-Kim Summit ini akan menambah riak baru dalam gejolak politik internasional. Setidaknya ini menggambarkan upaya strategis Rusia untuk meningkatkan pengaruhnya di Asia Timur, dan menjadi penantang serius hegemoni Amerika Serikat (AS) di kawasan.
Sejarah
Hubungan Rusia-Korea Utara memiliki sejarah panjang sejak era Perang Dingin. Uni Soviet, pendahulu Rusia, adalah sekutu utama dan pendukung penting rezim Korea Utara di bawah kepemimpinan Kim II-sung. Meski sempat surut pasca runtuhnya Uni Soviet, hubungan kedua negara mulai menghangat lagi dalam beberapa tahun terakhir.
Kedua negara berbagi pengalaman menghadapi isolasi dan tekanan internasional, terutama dari negara-negara Barat. Mereka juga menghadapi sanksi ekonomi dan diplomatik yang meluas. Ikatan ideologis dan kepentingan bersama ini telah mendorong kerja sama di berbagai bidang, mulai dari politik, ekonomi, hingga militer.
Data perdagangan menunjukkan lonjakan signifikan dalam volume perdagangan Rusia-Korea Utara dalam beberapa tahun terakhir. Omzet perdagangan kedua negara naik Sembilan (9) kali lipat pada 2023 (meski sering disebut sebagai kesepakatan rahasia), dengan nilai mencapai $34,4 juta, meningkat cukup drastis dari tahun sebelumnya.
Rusia juga telah memberikan bantuan energi yang substansial ke Korea Utara, termasuk pada 2022 memasok sekitar 3.225 barel minyak sulingan kek Pyongyang. Bantuan ekonomi Rusia membantu Korea Utara meringankan dampak sanksi internasional.
Analisis
Kunjungan Putin tidak hanya simbol penguatan aliansi Moskow-Pyongyang belaka, melainkan turut mempengaruhi dinamika keamanan regional. Jepang, Korea Selatan, dan sekutu AS lainnya jelas ketar-ketir dengan kenyataan ini, apalagi menghadapi program senjata nuklir dan rudal Korea Utara yang kontroversial.
Laporan intelijen AS dan Korea Selatan mengindikasikan adanya transfer teknologi rudal dan nuklir antara Rusia dan Korea Utara, meski kedua pihak membantahnya. Selanjutnya kita dapat memprediksi bahwa pihak opponent akan segara bereaksi dengan meningkatkan kerja sama keamanan untuk menghadapi apa yang mereka anggap sebagai ancaman.
Selain itu, di tengah ketegangan yang sedang memanas di Ukraina, langkah Putin mengunjungi Korea Utara juga dapat dibaca sebagai pesan tidak langsung ke negara-negara Barat. Moskow sedang berupaya memperluas dan menguatkan aliansinya, terutama dengan negara-negara yang tidak sejalan dengan Washington.
Tujuannya jelas: agar punya posisi tawar yang lebih kuat saat berhadapan dengan tekanan dan sanksi Barat. Analis politik Rusia, Fyodor Lukyanov, menyebut kunjungan ini sebagai “demonstrasi kemampuan Rusia untuk membangun aliansi alternatif dan menantang dominasi AS dalam tata kelola global.”
Di sisi lain, kalkulasi Putin kemungkinan besar juga mempertimbangkan kerentanan geopolitik AS saat ini. AS tengah menghadapi berbagai tantangan di berbagai kawasan. Di Eropa, AS terlibat dalam mendukung Ukraina menghadapi Rusia. Di Timur Tengah, ketegangan AS-Iran dan konflik yang terus berlanjut di Suriah, Yaman, dan Israel membagi fokus Washington.
Di Asia, AS juga berupaya membendung pengaruh China yang semakin assertif di Laut China Selatan dan masalah Taiwan. Dengan berbagai perhatian ini, Rusia melihat adanya peluang untuk memperluas pengaruhnya di Asia Timur.
Dalam jangka panjang, kunjungan Putin ini dapat menjadi katalis bagi kerja sama yang lebih erat antara Rusia, Korea Utara, dan China. Ketiga negara telah meningkatkan koordinasi strategis dalam beberapa tahun terakhir, terutama dalam menghadapi dominasi AS. Blok kekuatan ini berpotensi menantang kepemimpinan dan pengaruh AS di Asia Timur.
Kekhawatiran akan aliansi “poros otoriter” ini tercermin dalam pernyataan Menteri Luar Negeri AS, Antony Blinken, yang menyebut pertemuan Putin-Kim sebagai perkembangan negatif bagi stabilitas regional dan global.
Dia mengatakan, “We are very much concerned about this because this is what’s keeping the war going.” Namun, dinamika ini juga berisiko meningkatkan ketegangan dan eskalasi konflik di kawasan yang sudah rentan.
Signifikansi geopolitik dari kunjungan Putin ke Korea Utara tidak dapat diremehkan. Peristiwa ini mencerminkan kompleksitas persaingan kekuatan besar di Asia Timur, di mana Rusia berupaya mengubah tatanan regional yang didominasi AS.
Meski belum jelas sejauh mana upaya Rusia akan berhasil, langkah ini menunjukkan tekad Moskow untuk memproyeksikan kekuatannya melampaui wilayah pengaruh tradisionalnya.
Bagaimana aliansi Rusia-Korea Utara akan berkembang dan apa implikasinya bagi geopolitik Asia Timur, masih harus terus diamati. Yang jelas, kunjungan bersejarah ini menandai babak baru dalam manuver strategis Rusia di kawasan.
Bagi para pengambil kebijakan di berbagai negara, peristiwa ini menggarisbawahi perlunya pemantauan yang cermat dan respon kebijakan yang penuh perhitungan dalam menghadapi lanskap geopolitik yang terus berevolusi. Ketika dua kekuatan nuklir seperti Rusia dan Korea Utara memperkuat ikatan, dunia tidak punya pilihan selain waspada dan siaga.[T]
Baca artikel lain dari penulisELPENI FITRAH