MUSIK dangdut sejak awal memang diciptakan untuk dirasakan dengan segenap jiwa-raga. Bunyi derap gendang yang khas, “ndut, ndut, ndut” (Soedarsono: 2002), seakan mengajak pendengarnya untuk bergoyang mengikuti iramanya. Tak heran jika salah satu lirik lagu dangdut lawas, “Rampak suara gendang”, seakan-akan menggambarkan ungkapan kemeriahan dangdut yang dinikmati sambil berjoget.
Namun, di balik kemeriahan tersebut, dangdut menyimpan keunikan yang membuatnya selalu diminati dari masa ke masa. Sejak kelahirannya, musik ini memang selalu diidentikkan dengan goyangan—menggerakkan tubuh seperti menirukan derap gendang yang menjadi ciri khasnya. Fleksibelitas inilah yang menjadi salah satu kekuatan dangdut untuk terus bertransformasi, mengikuti perkembangan selera musik masyarakat pendukungnya.
Sebagai genre musik yang tumbuh dari akar rumput, dangdut terbukti selalu mampu menyesuaikan diri dengan perkembangan jenis musik lain yang hidup di masyarakat (Hardjana: 1998). Kelenturannya dalam menyerap pengaruh genre musik yang berkembang secara organik inilah yang menjadikan dangdut tetap eksis dan mudah diterima masyarakat Indonesia dari berbagai kalangan, termasuk masyarakat di Bali.
Kemampuan untuk terus bermetamorfosis dan menyerap pengaruh dari berbagai sumber inilah yang menjadi rahasia mengapa musik dangdut begitu mudah diterima masyarakat Indonesia dari berbagai kalangan. Kini, rahasia itu seakan diadopsi oleh musisi-musisi pop Bali dengan mengolah dan mengadaptasi idiom-idiom khas dangdut ke dalam karya-karya mereka.
Benar. Di Bali, fenomena perpaduan antara musik dangdut dengan aransemen musik pop Bali saat ini seolah tak dapat dibendung—walaupun ini juga menjadi bukti betapa lentur dan terbukanya industri musik pop daerah ini terhadap pengaruh dari luar.
Layaknya musik dangdut yang sejak awal memang lahir dari preferensi masyarakat akar rumput—dan selalu bertransformasi mengikuti perkembangan zaman—industri musik pop Bali juga memperlihatkan fleksibilitas serupa dalam menyerap unsur-unsur baru dari genre musik lain.
Perpaduan dua genre yang sebelumnya tampak berbeda ini menunjukkan betapa dinamis dan progresifnya industri musik pop Bali. Selain menjadi bukti keterbukaan untuk menyerap budaya luar, fenomena ini juga mencerminkan kepekaan industri ini dalam membaca dan merespon pergeseran selera musik masyarakat pendukungnya. Tak heran jika kolaborasi unik ini mampu membangkitkan kembali gairah musik pop Bali di tengah euforia dangdut yang melanda panggung musik nasional belakangan ini.
Layaknya base genep, bumbu khas Bali yang terbuat dari paduan berbagai rempah, idiom musik dangdut kini bertransformasi dan berpadu apik dalam aransemen musik pop di Bali. Tetapi, diakui atau tidak, dengan begitu perkembangan genre musik pop Bali belakangan ini seakan terbawa arus euforia musik dangdut yang merebak di berbagai media di Indonesia. Kepopuleran musik dangdut, terutama dangdut koplo di media sosial, telah memberi warna baru dan mendorong kreativitas para musisi pop Bali.
Tak heran jika kini banyak musisi pop di Bali yang sibuk mengaransemen ulang karya-karya mereka dengan mengusung idiom musik dangdut. Proses penggayaan ulang ini dilakukan oleh musisi lintas generasi, dari kalangan lawas hingga pendatang baru.
Bahkan, kolaborasi lintas generasi juga turut mewarnai proses ini, seperti dalam aransemen lagu “Ngipi Dadi Menteri” yang menggabungkan Mang Senior dan Bagus Wirata dengan mengusung idiom keroncong dangdut (Adnyana, mybalimusic.com: 2022).
Namun, yang menjadi pertanyaan utama adalah mengapa justru idiom dangdut yang dipilih masyarakat pendukung musik pop Bali? Apa yang melatarbelakangi preferensi mereka untuk mengadopsi gaya musik yang sebelumnya tidak identik dengan musik pop daerah? Apakah semata-mata karena kelenturan musik dangdut atau ada faktor lain yang turut berperan?
Merujuk pada fenomena ini, terlihat bahwa selera dan preferensi masyarakat pendukung memang memiliki peran krusial dalam menentukan arah perkembangan suatu genre musik. Musik akan tetap hidup dan berkembang selama menjadi pilihan masyarakat pendukungnya. Dengan demikian, untuk memahami preferensi masyarakat Bali dalam memilih idiom dangdut, kita perlu mengkaji pola struktur yang berlaku di masyarakat tersebut.
Pola struktur yang ada di masyarakat seringkali berpengaruh dalam membentuk pola pikir dan preferensi masyarakat itu sendiri. Contoh ekstrem dapat kita lihat pada masyarakat Korea Utara yang menganut paham komunis, di mana preferensi sosial masyarakatnya akan selalu mengikuti apa yang telah dilegalisasi oleh otoritas pemerintah. Hal ini menunjukkan bahwa legalisasi dan kebijakan pemerintah memiliki peran krusial dalam mengarahkan preferensi masyarakat.
Oleh karena itu, muncul pertanyaan selanjutnya tentang bagaimana keterkaitan antara kebijakan pemerintah dengan preferensi aransemen musik dangdut dalam industri musik pop daerah di Bali. Dalam kasus ini, saya mencoba mengelaborasi fenomena budaya yang berkembang di masyarakat Bali yang diduga memiliki hubungan langsung dengan preferensi masyarakat pendukung dalam memilih idiom dangdut.
Maka, dengan membaca ulang keterkaitan antara fenomena budaya dan preferensi musik secara singkronik, saya juga berharap dapat menemukan hubungan antara kebijakan pemerintah dengan pola struktur masyarakat dalam memilih preferensi musik tertentu.
Sampai di sini, saya merasa, musik pop Bali dengan eksistensi masyarakat pendukungnya yang masif, memang menyimpan ruang perbincangan yang luas dan mendalam. Ruang perbincangan ini saling berkelindan dengan peran serta masyarakat secara sosiologis, antropologis, dan politis. Oleh sebab itu, kajian holistik yang mengupas eksistensi musik pop Bali dari berbagai sudut pandang saya pikir akan menjadi sangat menarik untuk dilakukan.
Namun demikian, keberadaan industri musik pop daerah, seperti di Bali, masih belum mendapat perhatian dalam dunia penelitian di Indonesia. Minimnya kajian pada ranah ini membuat studi tentang musik pop daerah menjadi lahan kering yang kian terbengkalai. Padahal, dinamika dan keunikan yang terjadi dalam industri musik pop Bali—seperti fenomena perpaduaanya dengan dangdut—sangat penting untuk dikaji secara mendalam.
Keengganan untuk meneliti musik pop, termasuk musik pop daerah, sesungguhnya mencerminkan sikap keragu-raguan dan pandangan “rendah” terhadap genre musik yang dianggap kurang “serius” ini. Anggapan bahwa musik pop hanya berunsur musik Barat serta pandangan negatif dari kalangan musisi tertentu turut membenamkan eksistensi musik pop (Lohanda: 1983).
Tentu saja, kondisi ini sangat disayangkan. Mengingat, industri musk pop daerah di seluruh penjuru Nusantara memiliki potensi yang sangat besar untuk dikembangkan. Sebaliknya, minimnya perhatian tentu dapat mengancam keberlanjutan warisan seni budaya yang sesungguhnya begitu kaya dan dinamis ini.
Oleh karena itu, pengamatan mendalam terhadap fenomena musik pop, khususnya daerah Bali seperti yang saya lakukan ini, menjadi penting untuk mengisi kekosongan pengetahuan secara singkronik maupun diakronik.
Melihat gegap gempita musik pop Bali yang kembali bergairah—yang tak lepas dari upaya masyarakat pendukungnya untuk mengolah musik dangdut yang lebih segar ke dalam karya-karya para senimannya—dan fenomena penggunaan idiom dangdut dalam musik pop Bali, membuat saya tertarik untuk mengkajinya secara mendalam.
Oleh karena itu, penelitian ini hendak mengupas alasan di balik dukungan seniman, musisi, penikmat musik, hingga artis pop Bali dalam mengadopsi idiom dangdut sebagai preferensi aransemen musik mereka. Kekosongan kajian teoritis tentang fenomena ini menjadi celah yang, sekali lagi, hendak diisi melalui penelitian ini.
Dan sebagai representasi lokalitas masyarakat daerah, musik pop daerah tentu menyimpan banyak permasalahan yang melingkupinya. Kaitan erat antara musik pop dengan budaya masyarakat setempat menjadi fokus utama kajian kritis dalam penelitian ini.
Preferensi Idiom Musik Dangdut dalam Musik Pop Bali
Musik dangdut lahir dari percampuran beberapa aliran musik yang hidup di masyarakat pada masa itu. Ciri khas musik dangdut adalah kelentingannya dalam mengikuti perubahan selera musik masyarakat pendukungnya.
Di sisi lain, musik pop yang menjadi cikal-bakal musik pop daerah Bali juga memiliki karakteristik pembentukan yang tak jauh berbeda, yakni terbuka pada pengaruh berbagai genre musik lain.
Dalam pandangan teori postmodern, perkembangan musik pop ditandai oleh kecenderungan perpaduan secara sadar dengan berbagai aliran musik lainnya. Perpaduan ini bisa berupa menggabungkan lagu-lagu dari era yang sama atau berbeda, maupun “mencicipi” unsur-unsur musik seperti bunyi dan instrumen dengan tujuan menciptakan identitas subkultural baru (Strinati: 2004).
Musik pop daerah Bali sejalan dengan kecenderungan ini. Sebagai musik yang sangat organik dengan budaya lokal Bali, genre ini terbentuk dari preferensi masyarakat pendukungnya yang dekat dengan kegiatan kreativitas progresif. Konteks budaya lokal Bali yang dinamis turut membentuk selera musik masyarakatnya.
Saat ini, preferensi musik masyarakat Bali tampaknya sedang tertuju pada idiom dangdut yang sedang populer di Indonesia. Melalui kemampuan alaminya dalam menciptakan makna baru, masyarakat pendukung musik pop Bali kemudian memilih realitas baru sebagai preferensi dengan mengadopsi idiom dangdut ke dalam karya-karya mereka (Manis dan Meltzer: 1978).
Preferensi akan idiom dangdut ini pada akhirnya melahirkan semangat baru berupa musik subkultural pop Bali bernuansa dangdut. Gairah untuk menciptakan identitas musik baru ini menjadi bukti betapa dekatnya musik pop daerah dengan konteks budaya lokal masyarakat pendukungnya.
Fenomena perubahan preferensi masyarakat pendukung musik pop Bali terhadap idiom musik dangdut ternyata memiliki latar belakang yang menarik untuk dikaji. Perubahan preferensi ini tidak semata-mata terjadi karena alasan populer seperti mengikuti trend atau mencari eksistensi semata. Namun, terdapat faktor lain yang lebih mendalam dan berkaitan dengan aspek psikologis dan empiris masyarakat pendukungnya.
(Dalam perkembangannya, pergeseran selera musik ini juga turut mempengaruhi konsep pertunjukan atau performative spectacle dari musik pop daerah Bali itu sendiri.)
Sebagaimana disinggung sebelumnya, konsep pertunjukan musik dangdut di era 2000-an pernah mengalami perubahan menjadi sangat performative spectacle. Menurut Simatupang, konsep ini menuntut penyanyi dangdut untuk selalu melakukan eksplorasi ketubuhan yang baru agar tetap mempesona, layaknya seorang pemain akrobat (Simatupang, 2013).
Fenomena serupa juga tampak terjadi pada konsep pertunjukan musik pop daerah Bali. Konser yang awalnya cenderung pasif, berubah menjadi atraktif, penuh atraksi, dan sarat jargon. Atraksi ketubuhan yang dilakukan artis atau penyanyi pop Bali mulai mendapat perhatian khusus, seperti jargon “goyang tipis-tipis” dan “hok a hok e” yang diusung Bagus Wirata.
Berdasarkan wawancara dengan masyarakat pendukung musik pop daerah Bali, ditemukan bahwa mereka merasakan adanya kenikmatan psikologis dan empiris yang ditawarkan oleh idiom musik dangdut. Secara mengejutkan, motivasi utama di balik pergeseran preferensi ini adalah kemampuan musik dangdut dalam memfasilitasi ekspresi tubuh dan psikis mereka secara lebih leluasa.
Lirik-lirik dalam musik pop daerah Bali yang dekat dengan realitas-empiris masyarakat memudahkan mereka untuk mencerna dan menghayati makna di balik lagu-lagu tersebut—dengan pengalaman pribadi masing-masing. Sementara itu, nuansa dangdut yang khas dengan irama mengentak membuat masyarakat lebih bebas mengekspresikan diri melalui gerakan tubuh dan berjoget.
Transformasi ini tidak lepas dari masuknya idiom musik dangdut ke dalam aransemen musik pop Bali, yang memang memiliki kecenderungan untuk dijogeti dan dinikmati dengan gerakan tubuh. Upaya musisi untuk memperoleh eksistensi dan popularitas melalui preferensi idiom dangdut yang sesuai selera masyarakat turut mendorong munculnya konsep pertunjukan yang—sekali lagi—lebih performative spectacle.
Masyarakat pendukung sendiri mengakui bahwa mereka lebih bisa mencurahkan ekspresi tubuh dan psikis melalui musik pop daerah Bali dengan aransemen idiom dangdut. Hal ini selaras dengan konsep performative spectacle yang menuntut adanya eksplorasi ketubuhan baru dalam sebuah pertunjukan.
Dengan demikian, pergeseran preferensi musik dangdut dalam musik pop daerah Bali tidak hanya menyentuh ranah psiko-sosial masyarakat pendukungnya, tetapi juga memengaruhi konsep pertunjukan musik itu sendiri. Kini, pertunjukan musik pop Bali lebih mengedepankan atraksi dan eksplorasi ketubuhan yang khas, demi memfasilitasi ekspresi dan kenikmatan empiris masyarakat pendukungnya sesuai preferensi musik mereka.
Hal ini menunjukkan bahwa preferensi musik yang diminati masyarakat pendukungnya tidak dapat dibaca secara sempit dan sederhana. Preferensi musik memiliki keterkaitan yang erat dengan aspek bawah sadar, empiris, psikologis, sosiologis, antropologis, dan bahkan politis.
Dalam kasus musik pop daerah Bali, perubahan preferensi yang terjadi tidak hanya melibatkan ruang individu musisi sebagai pelaku, tetapi juga menyentuh ranah psiko-sosial masyarakat pendukungnya.
Kompleksitas perubahan preferensi ini tidak sesederhana masuknya idiom musik dangdut saja, melainkan menyelinap ke dalam ruang-ruang liminal yang lebih dalam dan tersembunyi dari pandangan awam.
Hubungan Legalisasi Alkohol terhadap Perkembangan Industri Musik Pop Daerah di Bali
Otoritas memiliki kekuatan untuk mengatur perilaku sosial masyarakat melalui legalisasi atau pemberlakuan aturan. Preferensi masyarakat, yang merupakan cerminan pola perilaku sosial dalam memaknai realitas, tidak terlepas dari pengaruh legalisasi oleh otoritas. Menurut Ritzer dan Goodman, legalisasi oleh otoritas dapat membentuk pola struktur tertentu dalam arena dominasi, yang pada akhirnya memengaruhi alam bawah sadar masyarakat.
Ritzer dan Goodman mengemukakan, “Dominasi merupakan kemungkinan suatu perintah (atau semua perintah) tertentu akan dipatuhi oleh sekelompok orang. Dominasi dapat memiliki beragam basis, sah maupun tidak, namun yang terutama menarik perhatian adalah bentuk dominasi yang sah, atau disebut sebagai otoritas” (Ritzer and Goodman: 2014). Pemikiran ini menegaskan peran penting legalisasi otoritas dalam membentuk pola perilaku masyarakat, termasuk dalam memilih preferensi tertentu.
Konsep teoritis Ritzer dan Goodman mendukung adanya hubungan antara legalisasi alkohol oleh otoritas tertentu dengan perkembangan musik pop daerah Bali yang bertransformasi ke dalam preferensi idiom musik dangdut. Keterkaitan ini sejalan dengan kebijakan Pemerintah Daerah Bali, yaitu Peraturan Gubernur Bali Nomor 1 Tahun 2020 tentang Tata Kelola Minuman Fermentasi dan/atau Destilasi Khas Bali.
Meskipun kebijakan otoritas pemerintah Bali terkait pengelolaan minuman fermentasi dan destilasi tidak secara langsung terkait dengan fenomena penelitian, namun secara sinkronik memiliki keterkaitan. Dalam hal ini, saya melakukan pembahasan menggunakan asas konstruktivis yang sinkronik terhadap fenomena se-masa secara fenomenologis.
Perubahan preferensi musikal di masyarakat pendukung musik pop daerah Bali secara tidak langsung terkait dengan fenomena sosial yang lahir dari legalisasi otoritas terhadap minuman fermentasi dan destilasi. Musik pop daerah Bali sebagai bentuk seni yang lahir dari fenomena sosial di masyarakat, mendapat dukungan konvensi legal untuk dapat mengapresiasi seni sembari menikmati minuman tersebut.
Adorno menekankan bahwa seni memiliki tanggung jawab untuk menyesuaikan diri dengan kriteria penilaian seperti keharmonisan, kebenaran, dan lain-lain. Namun, pilihan atas apa yang dianggap baik atau buruk, benar atau salah, tidak lagi menjadi pilihan individu, melainkan lebih dipengaruhi oleh konvensi yang dibentuk oleh otoritas (Adorno: 2001).
Dalam konteks ini, legalisasi minuman fermentasi/destilasi oleh otoritas di Bali dapat dilihat sebagai sebuah konvensi yang memberi peluang bagi masyarakat untuk memilih preferensi idiom musik dangdut sebagai media pemenuhan kebutuhan psikologis mereka. Melalui legalitas ini, masyarakat dapat menikmati musik pop daerah Bali dengan idiom dangdut sambil mengonsumsi minuman fermentasi/destilasi secara legal.
Data observasi lapangan menunjukkan fakta bahwa sebagian besar penonton konser musik pop daerah Bali dengan idiom dangdut didominasi oleh penonton yang terpengaruh minuman fermentasi/destilasi, serta kebiasaan masyarakat memutar musik tersebut saat mengonsumsi minuman, menunjukkan keterkaitan sosiologis antara preferensi musik ini dengan legalisasi minuman oleh otoritas.
Hubungan ini tidak dapat dibayangkan dengan cara sederhana atau sebab-akibat linear, tetapi merupakan fenomena realitas yang saling berkelindan secara dialektis dalam membentuk pengetahuan baru. Pendekatan dialektis sangat penting untuk memahami kompleksitas fenomena sosial seperti ini.
Kesimpulan
Penelitian ini mengkaji fenomena pergeseran preferensi masyarakat pendukung musik pop daerah Bali dalam mengadopsi idiom musik dangdut ke dalam karya-karya musisi Bali belakangan.
Adopsi unsur dangdut dalam aransemen musik pop Bali ini terbukti tidak sekadar mengikuti tren, melainkan memiliki latar belakang yang lebih kompleks dan mendalam. Pergeseran preferensi tersebut berkaitan erat dengan aspek psikologis serta empiris masyarakat pendukungnya.
Musik dangdut dinilai mampu memfasilitasi ekspresi tubuh dan psikis masyarakat Bali secara lebih leluasa melalui lirik yang dekat dengan realitas empiris mereka serta irama menghentak yang khas. Transformasi ini pada gilirannya turut mengubah konsep pertunjukan musik pop daerah Bali yang menjadi lebih performative spectacle—dengan eksplorasi ketubuhan dan atraksi pentas yang atraktif.
Hal ini menunjukkan bahwa preferensi musik yang diminati masyarakat tidak dapat dibaca secara sempit, melainkan memiliki keterkaitan erat dengan aspek bawah sadar, empiris, psikologis, sosiologis, antropologis, dan bahkan politis suatu masyarakat.
Lebih jauh, penelitian ini mengungkap adanya benang merah antara pergeseran preferensi musik pop Bali ke arah dangdut dengan legalisasi minuman beralkohol atau minuman fermentasi/destilasi oleh Pemerintah Daerah Bali. Legalisasi ini berupa Peraturan Gubernur Bali Nomor 1 Tahun 2020 tentang Tata Kelola Minuman Fermentasi dan/atau Destilasi Khas Bali.
Kebijakan otoritas di atas dapat dilihat sebagai sebuah konvensi yang secara tidak langsung memberi peluang bagi masyarakat untuk menikmati musik pop daerah Bali dengan idiom dangdut sambil mengonsumsi minuman beralkohol/fermentasi secara legal.
Data observasi lapangan menunjukkan bahwa sebagian besar penonton konser musik pop daerah Bali dengan nuansa dangdut didominasi oleh penonton yang terpengaruh minuman beralkohol/fermentasi.
Fakta ini, ditambah dengan kebiasaan masyarakat Bali memutar musik tersebut saat mengonsumsi minuman beralkohol, mengonfirmasi adanya keterkaitan sosiologis antara preferensi musik dangdut dalam musik pop Bali dengan legalisasi minuman beralkohol oleh otoritas.
Fenomena di atas merupakan realitas yang saling berkelindan secara dialektis dan kompleks, yang harus dipahami dengan pendekatan holistik dan dialektis, tidak sesederhana hubungan sebab-akibat linear.
Dengan demikian, penelitian ini memberikan pemahaman mendalam tentang dinamika sosial-budaya yang melatarbelakangi pergeseran preferensi musik di Bali, khususnya bagaimana legalisasi alkohol oleh otoritas turut memengaruhi perkembangan idiom dangdut dalam industri musik pop daerah di Pulau Dewata.[T]
Editor: Jaswanto