9 May 2025
  • Beranda
  • Feature
    • Khas
    • Tualang
    • Persona
    • Historia
    • Milenial
    • Kuliner
    • Pop
    • Gaya
    • Pameran
    • Panggung
  • Berita
    • Ekonomi
    • Pariwisata
    • Pemerintahan
    • Budaya
    • Hiburan
    • Politik
    • Hukum
    • Kesehatan
    • Olahraga
    • Pendidikan
    • Pertanian
    • Lingkungan
    • Liputan Khusus
  • Kritik & Opini
    • Esai
    • Opini
    • Ulas Buku
    • Ulas Film
    • Ulas Rupa
    • Ulas Pentas
    • Kritik Sastra
    • Kritik Seni
    • Bahasa
    • Ulas Musik
  • Fiksi
    • Cerpen
    • Puisi
    • Dongeng
  • English Column
    • Essay
    • Fiction
    • Poetry
    • Features
  • Penulis
No Result
View All Result
  • Beranda
  • Feature
    • Khas
    • Tualang
    • Persona
    • Historia
    • Milenial
    • Kuliner
    • Pop
    • Gaya
    • Pameran
    • Panggung
  • Berita
    • Ekonomi
    • Pariwisata
    • Pemerintahan
    • Budaya
    • Hiburan
    • Politik
    • Hukum
    • Kesehatan
    • Olahraga
    • Pendidikan
    • Pertanian
    • Lingkungan
    • Liputan Khusus
  • Kritik & Opini
    • Esai
    • Opini
    • Ulas Buku
    • Ulas Film
    • Ulas Rupa
    • Ulas Pentas
    • Kritik Sastra
    • Kritik Seni
    • Bahasa
    • Ulas Musik
  • Fiksi
    • Cerpen
    • Puisi
    • Dongeng
  • English Column
    • Essay
    • Fiction
    • Poetry
    • Features
  • Penulis
No Result
View All Result
tatkala.co
No Result
View All Result

Dua Jam Bersama Luh Menek

JaswantobyJaswanto
May 13, 2024
inPersona
Dua Jam Bersama Luh Menek

Ni Luh Menek | Foto: Amri

PEREMPUAN tua itu membenarkan kerah bajunya. Ia duduk di kursi kayu menghadap ke barat daya. Angin kering musim kemarau berembus. Tiga puluh derajat Celsius. Panas, menyengat seperti bara. Udara cerah. Awan meriaki biru langit.

“Enam puluh tahun lebih saya hidup di Tejakula,” katanya, Jumat (10/5/2024) sore. “Sejak itu pula saya mulai mengajar tari di sini.” Perempuan tua tersebut, Ni Luh Menek, kembali memperbaiki kerah bajunya. Rambutnya, yang tipis, tersisir rapi ke belakang. Raut wajahnya lembut, sisa-sisa kecantikannya masih jelas terlihat, dan giginya putih, lengkap, walau sudah termakan usia. Sesekali ia tersenyum.

Bagi sebagian besar orang Buleleng, khususnya mereka yang bergelut dalam kesenian tari Bali, Luh Menek adalah legenda. Ia memang sosok yang pernah diajar langsung oleh dua maestro besar dari Jagaraga, Pan Wandres dan Gde Manik, sebelum menikah dan tinggal di Tejakula. Luh Menek lahir dan besar di Jagaraga.

“Masih kecil saya sudah belajar menari kepada Gde Manik,” katanya, sambil berusaha mengingat-ingat umur berapa dirinya waktu itu. Tak terang betul kapan dia mulai belajar menari. Tapi yang jelas, dia belajar menari karena pihak desa yang menyuruhnya. Katanya, kalau dia mau belajar menari, orang tuanya tak perlu bayar apa-apa kepada desa.

Pada saat berguru kepada Gde Manik, Menek mendapat banyak ilmu tari-tarian, khususnya tarian yang diciptakan Gde Manik sendiri, seperti Trunajaya, Palawakya, Margapati, Bali Sugriwa, dan tari lain seperti Panji Semirang dan Wiranata. Gde Manik adalah sosok guru yang, selain ia hormati, juga sangat ia kagumi dan banggakan.

Ni Luh Menek | Foto: Amri

Menek diajar sang maestro dengan cara setahap demi setahap. Kalau sudah hafal betul satu gerakan, katanya, baru berlanjut ke tahap selanjutnya. Satu gerakan belum bagus, jangan harap untuk bisa diajarkan gerakan lainnya. “Saya pernah diajak ke sungai. Di sana punggung saya diinjak-injak perlahan sama Gde Manik, supaya lentur dan lemes,” ujarnya.

Menurut Menek, Gde Manik merupakan penari dan penabuh, sekaligus pencipta tabuh dan tari, yang sangat bagus. “Gde Manik bisa berputar-putar sambil menabuh gendang,” katanya. Saat masih kecil, Menek sering mendengar Gde Manik memainkan tabuh. “Saya menghafal tabuh terlebih dahulu, baru belajar tarinya,” ujar perempuan tua kelahiran Jagaraga tahun 1939 itu.

Pada tahun 1954 sampai 1961, sebagai penari Gong Jagaraga, Menek sering mengikuti acara-acara resmi di Singaraja, Istana Tampak Siring, Denpasar, Solo, Yogyakarta, sampai Jakarta. “Kalau ada gong mebarung, Gong Kedis selalu menjadi ‘musuh’ bebuyutan,” katanya sembari tertawa.

Sebagai salah satu murid Gde Manik yang unggul, pada 1958 Menek menjadi pelatih tari di Desa Bila dan Kubutambahan. Di Bila, satu muridnya yang tenar bernama Sri Tamin. Sedangkan muridnya yang tenar di Kubutambahan bernama Kusuma Tirta.

Setahun setelah mengajar di Bila dan Kubutambahan, ia mulai mengajar di Desa Tamblang, Kecamatan Kubutambahan, dan di Desa Menyali, Kecamatan Sawan. Hingga tahun 1960, Menek melatih tari di Desa Tejakula, Kecamatan Tejakula, atas permintaan Perbekel Tejakula saat itu, I Ketut Artha.

“Waktu saya mengajar tari di Tejakula, ada juga yang bagian melatih tabuhnya, namanya Putu Ardia, Nyoman Sawita, dan I Ketut Darta. Selain tabuh-tabuhan tari, mereka juga mengajarkan tabuh selingan, seperti Tabuh Galang Kangin, Ujan Mas, Banda Sura, Gilak, dan lain-lain,” terangnya. Luh Menek mengajar banyak tarian, seperti Trunajaya, Margapati, Oleg, Panji Semirang, Wiranata, Kupu-Kupu, Pendet, Cendrawasih, Tenun, Puspawresti, dan Palawakya.

Dua tahun setelah menjadi pelatih tari di Desa Tejakula, tepatnya 1962, Menek menikah dengan orang Tejakula bernama I Made Meliun, seorang pegawai negeri. Setelah menikah, ia “meninggalkan” Jagaraga, tanah kelahirannya, tempat yang telah menjadikannya sebagai penari jempolan di seantero Bali. “Saya tidak pernah berhenti menari sampai sekarang,” ujarnya.

Ni Luh Menek | Foto: Amri

Pada tahun 1993, Menek mencoba “menyelamatkan” Tari Palawakya—salah satu tarian ciptaan Gde Manik, gurunya sendiri—dari kepunahan. Masih di tahun yang sama, bersama Gong Tejakula, Menek menampilkan Palawakya di Jepang. Tak hanya sekaa gong dan dirinya saja yang tampil, Sekaa Wayang Wong Tejakula juga turut pentas saat itu.

Sejak saat itulah, Palawakya kembali ditarikan di mana-mana. Pada 1996, bersama Gong Smara Ratih Gianyar, Menek terbang lagi ke Jepang untuk menarikan Trunajaya dan Palawakya. “Saya mengajarkan Palawakya di mana-mana, supaya tidak punah. Ini adalah rasa terima kasih saya kepada Bapak Gde Manik,” kata Menek.

Pada tahun 1987, Swasthi Wijaya Bandem menciptakan Tari Cendrawasih yang cukup terkenal di Bali. Ni Luh Menek merasa jengah dan tak habis pikir. Pasalnya, dulu, setahu dia, Gde Manik pernah menciptakan Tari Cendrawasih. Saking banyak yang lupa, bahkan tidak banyak juga yang tahu kapan tarian ini diciptakan. Namun sejumlah sumber menyebutkan tarian ini pernah ditarikan sekitar tahun 1920 di wilayah Sawan. Setelah pentas di Sawan, tarian itu jarang dipentaskan dan perlahan-lahan dilupakan.

Tari Cendrawasih yang diciptakan Gde Manik tentu berbeda dengan bikinan Swasthi Wijaya. Gerakannya lebih dinamis, enerjik, dan tentu saja rumit. Yang ditonjolkan pada tarian itu adalah ekspresi sang penari, bukan gerakan yang sekadar meniru-niru burung cendrawasih sedang kasmaran. Tarian ini bisa dibawakan secara tunggal, atau boleh lebih dari satu orang penari. Namun yang jelas tarian ini bukan tarian berpasangan.

Dengan dibantu banyak seniman tua di Desa Jagaraga dan teman sesama seniman di Kabupaten Buleleng, Ni Luh Menek berhasil melakukan rekonstruksi Tari Cendrawasih sekitar tahun 2013—walaupun saat itu ia merasa tarian itu belum sepenuhnya berhasil dikembalikan sesuai aslinya. Pada tahun 2013 pula, ia sendiri sukses mementaskan tarian itu pada pembukaan Konferensi dan Festival Internasional Bali Utara di Auditorium Universitas Pendidikan Ganesha.

***

Luh Menek menerima tamu-tamunya dengan tangan terbuka. Di sanggar tari Teja Manik, di Banjar Dinas Sila Darma, Tejakula, itulah ia menerima tamu-tamunya. Sanggar itu tidak terlalu luas, sekitar 20 meter persegi. Di ruang sanggar itu, terletak lima kursi kayu dengan satu meja kecil yang mepet di tembok sebelah timur. Di atas meja kayu itulah Menek menumpuk map, kertas, dan foto-foto dirinya saat menari.

Arsip-arsip pribadi Ni Luh Menek | Foto: Amri

Di dinding-dinding sanggar, juga terpajang beberapa foto dirinya dan murid-muridnya yang masih kecil—foto-foto itu dicetak berukuran besar. Di kawasan dalam sanggar itu, selain berdiri rumah yang ia tinggali, juga ada satu balai bengong dan tanaman-tanaman bunga. Sedangkan di luar pagar sanggar, pohon-pohon kebun rimbun tanpa celah. “Itu foto murid-murid saya,” katanya.

Sore itu, Menek tampil bersahaja. Ia mengenakan setelan berwarna merah. Tubuhnya yang ramping, dengan tinggi sekitar 150 sentimeter, dibalut daster merah bermotif lukisan abstrak kontemporer. Dibandingkan dengan fotonya pada 2000-an awal yang tersimpan dalam arsip pribadinya, ia kelihatan lebih “lemah”. Tapi wajahnya cerah dan matanya berbinar. Suaranya masih jernih meski kadang tersendat. Di daun telinganya terdapat anting-anting kecil yang manis.

“Fisik saya masih bugar. Tapi pendengaran dan ingatan saya sudah mulai lemah,” ujarnya sembari tertawa. Ia memang humoris dan murah senyum. Menurutnya, itu dapat mengembangkan paru-paru dan membuat tubuhnya terasa bugar.

Luh Menek menikmati kesendiriannya. Tiga anaknya tinggal di kota lain. Ia sering diminta tinggal bersama anak-anaknya, tapi Menek tak kuasa meninggalkan sanggar tari dan murid-muridnya—ia menyebutnya “anak buah”.

“Lebih baik tinggal di desa (Tejakula). Kalau tinggal di kota bersama anak, kegiatannya nanti hanya makan dan tidur saja. Kalau di sini saya senang, bisa mengajar anak-anak dan bule-bule yang lucu-lucu itu,” ujarnya yang membuat tamu-tamunya tertawa. “Pernah ngajak orang untuk bantu-bantu di sini, tapi saya malah stres. Dia main hp terus,” ujarnya.

Jadilah Menek mengerjakan apa-apa sendiri. Setiap pagi dan sore ia menyapu halaman rumah dan sanggar tarinya. Nyaris tak ada satu pun daun jatuh di halamannya. Ia merasa sakit jika tidak bergerak. Di umurnya yang sekarang, tenaganya masih melimpah. Bahkan, meski tak seenerjik waktu muda dulu, ia masih sanggup menarikan Trunajaya dengan baik dan benar—sesuai pakem—lengkap tanpa dipotong—atau versi lebih panjang daripada Trunajaya yang dipotong Soekarno.

Ni Luh Menek bersama para peneliti dari Mulawali Institute dan Balai Pelestarian Kebudayaan | Foto: Amri

“Saya tak pernah memungut uang sepeser pun saat mengajar menari,” jawab Menek saat seorang tamu bertanya berapa uang yang harus dikeluarkan kalau ingin belajar menari kepadanya. Enam puluh tahun lebih ia mengajar menari, selama itu pula tak pernah meminta bayaran.

“Saya tidak pernah berpikir tentang uang. Kalau ada saya terima, kalau tidak ada yang tidak apa-apa. Selama masih bisa, saya akan lakukan,” sambungnya. Hari ini, tak banyak seniman yang memiliki pikiran seperti Luh Menek. Justru banyak seniman yang orientasinya adalah “berapa bayarannya”.

Di sanggar yang ia dirikan, anak-anak belajar menari tanpa harus membayar. Luh Menek mengajar mereka secara cuma-cuma. Justru ia senang karena sanggarnya menjadi ramai. “Saya senang asal mereka senang,” ujarnya.

Luh Menek tak pernah putus mengajar menari. Hidupnya sudah didedikasikan untuk tarian Bali, khususnya tarian-tarian ciptaan sang guru Gde Manik. “Kalau saya tidak terus melatih, tidak ada yang melanjutkan saya nanti,” kata Menek, tegas, dengan nada sedikit khawatir.

Hari menjelang sore. Tapi pada musim kemarau yang memanjangkan siang, menjelang petang itu matahari masih terik. Tamu-tamu mohon diri dan Luh Menek mengantar sampai ke luar. Di muka pagar, ia menyatukan kedua telapak tangan dan berkata dengan lembut, “Terima kasih. Hati-hati di jalan.” Dari balik pagar, tampak perempuan tua itu membenarkan kerah bajunya, sekali lagi.[T]

Reporter/Penulis: Jaswanto
Editor: Adnyana Ole

Ni Luh Menek | Memupuk Pohon Kesenian dan Merawat Cendrawasih di Bali Utara
Luh Menek, Made Sidia dan Ayu Laksmi, Gelar Karya di Bentara Budaya Bali
Tags: Desa JagaragaDesa TejakulaGde Manikgong kebyarNi Luh MenekPan WandressTari Trunajaya
Previous Post

Bulan Merdeka Belajar di Tengah Tragedi Pendidikan

Next Post

Awal Mula dan Transformasi Desain Penginapan di Bali

Jaswanto

Jaswanto

Editor/Wartawan tatkala.co

Next Post
Awal Mula dan Transformasi Desain Penginapan di Bali

Awal Mula dan Transformasi Desain Penginapan di Bali

Please login to join discussion

ADVERTISEMENT

POPULER

  • Refleksi Semangat Juang Bung Tomo dan Kepemimpinan Masa Kini

    Apakah Menulis Masih Relevan di Era Kecerdasan Buatan?

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Tulak Tunggul Kembali ke Jantung Imajinasi

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Ulun Pangkung Menjadi Favorit: Penilaian Sensorik, Afektif, atau Intelektual?

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • ”Married by Accident” Bukan Pernikahan Manis Cinderella

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Duel Sengit Covid-19 vs COVID-19 – [Tentang Bahasa]

    11 shares
    Share 11 Tweet 0

KRITIK & OPINI

  • All
  • Kritik & Opini
  • Esai
  • Opini
  • Ulas Buku
  • Ulas Film
  • Ulas Rupa
  • Ulas Pentas
  • Kritik Sastra
  • Kritik Seni
  • Bahasa
  • Ulas Musik

ORANG BALI AKAN LAHIR KEMBALI DI BALI?

by Sugi Lanus
May 8, 2025
0
PANTANGAN MENGKONSUMSI ALKOHOL DALAM HINDU

— Catatan Harian Sugi Lanus, 8 Mei 2025 ORANG Bali percaya bahkan melakoni keyakinan bahwa nenek-kakek buyut moyang lahir kembali...

Read more

Di Balik Embun dan Senjakala Pertanian Bali: Dilema Generasi dan Jejak Penanam Terakhir

by Teguh Wahyu Pranata,
May 7, 2025
0
Di Balik Embun dan Senjakala Pertanian Bali: Dilema Generasi dan Jejak Penanam Terakhir

PAGI-pagi sekali, pada pertengahan April menjelang Hari Raya Galungan, saya bersama Bapak dan Paman melakukan sesuatu yang bagi saya sangat...

Read more

HINDU MEMBACA KALIMAT SYAHADAT

by Sugi Lanus
May 7, 2025
0
HINDU MEMBACA KALIMAT SYAHADAT

— Catatan Harian Sugi Lanus, 18-19 Juni 2011 SAYA mendapat kesempatan tak terduga membaca lontar koleksi keluarga warga Sasak Daya (Utara) di perbatasan...

Read more
Selengkapnya

BERITA

  • All
  • Berita
  • Ekonomi
  • Pariwisata
  • Pemerintahan
  • Budaya
  • Hiburan
  • Politik
  • Hukum
  • Kesehatan
  • Olahraga
  • Pendidikan
  • Pertanian
  • Lingkungan
  • Liputan Khusus
“Bali Stroke Care”: Golden Period, Membangun Sistem di Tengah Detik yang Maut

“Bali Stroke Care”: Golden Period, Membangun Sistem di Tengah Detik yang Maut

May 8, 2025
Mosphit Skena Segera Tiba, yang Ngaku-Ngaku Anak Skena Wajib Hadir!

Mosphit Skena Segera Tiba, yang Ngaku-Ngaku Anak Skena Wajib Hadir!

May 7, 2025
Bimo Seno dan Dolog Gelar Pertandingan Tenis Lapangan di Denpasar

Bimo Seno dan Dolog Gelar Pertandingan Tenis Lapangan di Denpasar

April 27, 2025
Kebersamaan di Desa Wanagiri dalam Aksi Sosial Multisektor Paras.IDN dalam PASSION Vol.2 Bali

Kebersamaan di Desa Wanagiri dalam Aksi Sosial Multisektor Paras.IDN dalam PASSION Vol.2 Bali

April 23, 2025
Menghidupkan Warisan Leluhur, I Gusti Anom Gumanti Pimpin Tradisi Ngelawar di Banjar Temacun Kuta

Menghidupkan Warisan Leluhur, I Gusti Anom Gumanti Pimpin Tradisi Ngelawar di Banjar Temacun Kuta

April 22, 2025
Selengkapnya

FEATURE

  • All
  • Feature
  • Khas
  • Tualang
  • Persona
  • Historia
  • Milenial
  • Kuliner
  • Pop
  • Gaya
  • Pameran
  • Panggung
“Jalan Suara”, Musikalisasi Puisi Yayasan Kesenian Sadewa Bali dan Komunitas Disabilitas Tunanetra
Panggung

“Jalan Suara”, Musikalisasi Puisi Yayasan Kesenian Sadewa Bali dan Komunitas Disabilitas Tunanetra

SEPERTI biasa, Heri Windi Anggara, pemusik yang selama ini tekun mengembangkan seni musikalisasi puisi atau musik puisi, tak pernah ragu...

by Nyoman Budarsana
May 6, 2025
Mengenang Perupa I Gusti Made Peredi dan Karya-karyanya yang Membingkai Zaman
Khas

Mengenang Perupa I Gusti Made Peredi dan Karya-karyanya yang Membingkai Zaman

TAK salah jika Pemerintah Kota Denpasar dan Pemerintah Provinsi Bali menganugerahkan penghargaan kepada Almarhum I Gusti Made Peredi, salah satu...

by Nyoman Budarsana
May 6, 2025
“Muruk” dan “Nutur”, Belajar dan Diskusi ala Anak Muda Desa Munduk-Buleleng
Khas

“Muruk” dan “Nutur”, Belajar dan Diskusi ala Anak Muda Desa Munduk-Buleleng

DULU, pada setiap Manis Galungan (sehari setelah Hari Raya Galungan) atau Manis Kuningan (sehari setelah Hari Raya Kuningan) identik dengan...

by Komang Yudistia
May 6, 2025
Selengkapnya

FIKSI

  • All
  • Fiksi
  • Cerpen
  • Puisi
  • Dongeng
Kampusku Sarang Hantu [1]: Ruang Kuliah 13 yang Mencekam

Kampusku Sarang Hantu [14]: Ayam Kampus Bersimbah Darah

May 8, 2025
Perempuan di Mata Mak Kaeh | Cerpen Khairul A. El Maliky

Perempuan di Mata Mak Kaeh | Cerpen Khairul A. El Maliky

May 4, 2025
Puisi-puisi Gimien Artekjursi | Tentang Harimau Jawa

Puisi-puisi Gimien Artekjursi | Tentang Harimau Jawa

May 4, 2025
Poleng | Cerpen Sri Romdhoni Warta Kuncoro

Poleng | Cerpen Sri Romdhoni Warta Kuncoro

May 3, 2025
Puisi-puisi Muhammad Rafi’ Hanif | Kenang-Kenangan Seorang Mahasiswa

Puisi-puisi Muhammad Rafi’ Hanif | Kenang-Kenangan Seorang Mahasiswa

May 3, 2025
Selengkapnya

LIPUTAN KHUSUS

  • All
  • Liputan Khusus
Kontak Sosial Singaraja-Lombok: Dari Perdagangan, Perkawinan hingga Pendidikan
Liputan Khusus

Kontak Sosial Singaraja-Lombok: Dari Perdagangan, Perkawinan hingga Pendidikan

SEBAGAIMANA Banyuwangi di Pulau Jawa, secara geografis, letak Pulau Lombok juga cukup dekat dengan Pulau Bali, sehingga memungkinkan penduduk kedua...

by Jaswanto
February 28, 2025
Kisah Pilu Sekaa Gong Wanita Baturiti-Kerambitan: Jawara Tabanan Tapi Jatah PKB Digugurkan
Liputan Khusus

Kisah Pilu Sekaa Gong Wanita Baturiti-Kerambitan: Jawara Tabanan Tapi Jatah PKB Digugurkan

SUNGGUH kasihan. Sekelompok remaja putri dari Desa Baturiti, Kecamatan Kerambitan, Tabanan—yang tergabung dalam  Sekaa Gong Kebyar Wanita Tri Yowana Sandhi—harus...

by Made Adnyana Ole
February 13, 2025
Relasi Buleleng-Banyuwangi: Tak Putus-putus, Dulu, Kini, dan Nanti
Liputan Khusus

Relasi Buleleng-Banyuwangi: Tak Putus-putus, Dulu, Kini, dan Nanti

BULELENG-BANYUWANGI, sebagaimana umum diketahui, memiliki hubungan yang dekat-erat meski sepertinya lebih banyak terjadi secara alami, begitu saja, dinamis, tak tertulis,...

by Jaswanto
February 10, 2025
Selengkapnya

ENGLISH COLUMN

  • All
  • Essay
  • Fiction
  • Poetry
  • Features
Poems by Dian Purnama Dewi | On The Day When I Was Born

Poems by Dian Purnama Dewi | On The Day When I Was Born

March 8, 2025
Poem by Kadek Sonia Piscayanti | A Cursed Poet

Poem by Kadek Sonia Piscayanti | A Cursed Poet

November 30, 2024
The Singaraja Literary Festival wakes Bali up with a roar

The Singaraja Literary Festival wakes Bali up with a roar

September 10, 2024
The Strength of Women – Inspiring Encounters in Indonesia

The Strength of Women – Inspiring Encounters in Indonesia

July 21, 2024
Bali, the Island of the Gods

Bali, the Island of the Gods

May 19, 2024

TATKALA.CO adalah media umum yang dengan segala upaya memberi perhatian lebih besar kepada seni, budaya, dan kreativitas manusia dalam mengelola kehidupan di tengah-tengah alam yang begitu raya

  • Penulis
  • Tentang & Redaksi
  • Kirim Naskah
  • Pedoman Media Siber
  • Kebijakan Privasi
  • Desclaimer

Copyright © 2016-2024, tatkala.co

Welcome Back!

Login to your account below

Forgotten Password?

Retrieve your password

Please enter your username or email address to reset your password.

Log In
No Result
View All Result
  • Beranda
  • Feature
    • Khas
    • Tualang
    • Persona
    • Historia
    • Milenial
    • Kuliner
    • Pop
    • Gaya
    • Pameran
    • Panggung
  • Berita
    • Ekonomi
    • Pariwisata
    • Pemerintahan
    • Budaya
    • Hiburan
    • Politik
    • Hukum
    • Kesehatan
    • Olahraga
    • Pendidikan
    • Pertanian
    • Lingkungan
    • Liputan Khusus
  • Kritik & Opini
    • Esai
    • Opini
    • Ulas Buku
    • Ulas Film
    • Ulas Rupa
    • Ulas Pentas
    • Kritik Sastra
    • Kritik Seni
    • Bahasa
    • Ulas Musik
  • Fiksi
    • Cerpen
    • Puisi
    • Dongeng
  • English Column
    • Essay
    • Fiction
    • Poetry
    • Features
  • Penulis

Copyright © 2016-2024, tatkala.co