“Bukan hal yang mudah untuk mentransformasi sebuah sistem yang sangat besar. Bukan tugas yang sederhana untuk mengubah perspektif tentang proses pembelajaran. Pada awal perjalanan, kita sadar bahwa membuat perubahan butuh peıjuangan. Rasa tidak nyaman menyertai setiap langkah menuju perbaikan dan kemajuan” (Nadim Makarim, 2 Mei 2024)
Mencermati penggalan di awal pidato Menristek yang dituliskannya pada 2 halaman, nampaknya sampai saat ini persoalan pendidikan negeri ini begitu kompleks. Bahkan dalam kalimat terakhir itu, dituliskan ada rasa tidak nyaman setiap langkah menuju perbaikan dan kemajuan. Secara implisit, Nadim Makarim ingin menyampaikan untuk mencapai perubahan dalam pendidikan itu tidak mudah. Ada kegetiran yang harus dilawan. Memang bicara soal pendidikan begitu arkais, begitu renyah ketika dibahas secara ringan maupun dengan cara serius. Tak akan kunjung akhir ditinjau dari satu sudut pandang, tak akan selesai dibahas dalam satu kurun waktu.
Memang seputar pendidikan di negeri ini yang sampai saat ini masih terus dirasakan dan harus diterima sebagai sebuah kenyataan adalah masih banyak yang berpandangan stereotif, ironis, dan nyinyir terhadap persoalan pendidikan khususnya tentang kualitas pendidikannya. Yang selalu menjadi kambing hitam dalam persoalan ini adalah guru. Walaupun yang melakukan tudingan itu sesungguhnya adalah “kambing coklat” atau “kambing abu-abu”.
Lebih ironis lagi, ketika banyak orang yang saat ini telah berpendidikan melalui pendidikan itu sendiri, menjadi prodak regulasi, telah sukses atau nyaris tak gagal, ikut andil dalam “mengambingcoklatkan” guru sebagai biang kerok dari sederet kegagalan di sektor pendidikan. Bombastisnya lagi, nyaris selalu yang menjadi ukuran pendidikan negeri ini adalah hasil survei PISA, survey Word Bank, dan survey-survey yang lain, yang menempatkan Indonesia di urutan 62 dari 64 negara di Asia. Sementara itu, menurut Majalah TIMSS bahwa kualitas pendidikan negeri ini ada pada peringkat ke-38 dari 42 negara yang disurvei. Ini menurut survei. Sekali lagi survey!
Tanpa bersikap apriori terhadap kenyataan yang diperlihatkan oleh hasil survey, apakah survei-survei itu benar-benar telah merefresentasikan secara holistik terhadap kondisi pendidikan negeri ini? Atau hanya mengacu satu sisi pendidikan, yaitu hasil akhir? Satu-satunya negara selama ini yang selalu menjadi rujukan adalah Finlandia dipandang sebagai negara paling sukses membumikan kualitas dalam pendidikan. Jika membandingkan pendidikan Indonesia dengan segala kompleksitasnya atau mencakup masalah yang amat kompleks, apakah bisa diteliti, dilihat, dianalisis, lalu dengan cara yang lebih komprehensif dan objektif akan tidak serta merta menggunakan skala hasil akhir untuk menyimpulkan bahwa pendidikan negeri ini sangat rendah?
Jika ingin yang lebih objektif, jujur, akuntabel, dan lebih terhormat, bandingkanlah, fasilitas yang dimiliki, jumlah peserta didik dalam satu rombel, kesejahteraan gurunya, tingkat partisipasi, cara pandang masyarakatnya pada pendidikan, kepadatan kurikulumnya (jumlah mapel perminggu), dan waktu belajar peserta didik di sekolahnya. Semua variabel-variabel itu tentu adalah faktor utama yang berpengaruh secara signifikan terhadap kualitas pendidikan murid dan juga kemampuan literasi murid, serta hasil akhir yang ditunjukkan.
Kalau mau jujur, saat ini pendidikan negeri ini memang diakui masih muter-muter di sekitar kuantitas, masih berkutat pada rasa keadilan melawan rasa kasihan, rasa peduli, rasa sayang, dan rasa-rasa yang lain untuk menyelamatkan anak-anak bangsa, meski narasinya sudah lama berkoar-koar soal kualitas yang menjadi “harga mati”.
Kasus riil adalah sekolah-sekolah masih terpaksa menyelenggarakan pembelajaran dengan dua gelombang dalam sehari: siang dan sore (karena fasilitasnya tidak refresentatif), masih banyak sekolah yang harus menabrak undang-undang yang memayungi, yaitu dalam regulasinya jumlah peserta didik dalam satu rombel semestinya maksimal 32, tetapi demi pemerataan, demi tercovernya anak-anak yang begitu semangat bersekolah terpaksa harus diisi 35-40 per rombel, bahkan mungkin ada yang sampai 45 setiap rombelnya. Sementara negara lain ala Finlandia, Singapura atau jepang, hanya 10-15 orang per rombel. Bisa dipikir atau sekadar membayangkan?
Apa yang bisa dimaknai dari fenomena ini? Dengan penyelenggaraan pembelajaran seperti ini, pelaksanaan pembinaan menjadi sangat terbatas. Proses sosialisasi peserta didik di sekolah menjadi sangat instan. Pembelajaran menjadi begitu klasikal dengan jumlah yang gemuk tiap kelasnya. Peserta didik tidak punya waktu yang cukup untuk berkunjung ke perpustakaan, untuk bersosialisasi sesama teman di luar rombelnya. Konten pendidikan bukan hanya pengetahuan dan keterampilan, tapi proses sosial, penumbuhan karakter yang mencakup profil pelajar pancasila. Bagaimana itu sempat diresapi saat anak-anak harus berpacu dengan waktu yang begitu cepat?
Satu hal lagi yang sangat urgen adalah seruan yang seakan antiliterasi tetapi dikebiri dengan regulasi 15 menit gerakan literasi sebelum jam pelajaran dimulai. Regulasi tentang melarang peserta didik membeli buku-buku untuk literasi karena sudah disediakan buku wajib. Hal ini sebagai antithesis dari kecurigaan yang berlebihan pada rendahnya gerakan literasi akar rumput, yang mesti tumbuh subur melalui gerakan-gerakan membaca, menimba pengetahuan secara masif.
Semestinyanya peserta didik diberi ruang, didorong (meski bukan dipaksa) untuk membeli dan membaca buku di luar buku wajib atau buku paket yang telah disediakan oleh negara guna menumbuhkan minat baca, guna meluaskan wawasan mereka dan menyuburkan budaya literasi. Jalan lain yang harus dimediasi adalah “larangan itu seharusnya cukup, jangan sekadar menggunakan refrensi LKS yang isinya sangat kering dan instan untuk “dikonsumsi” anak-anak bangsa ini.
Mengapa murid harus membeli buku, mengapa mereka mesti banyak punya buku untuk “dikonsumsi” di luar buku wajib atau buku-buku mata pelajaran? Murid yang memiliki banyak buku di luar buku wajib, harusnya diapresiasi yang luar biasa. Ini bukti gerakan literasi murid telah tumbuh. Murid seperti ini dapat dijadikan model bagi yang lainnya. Untuk memberikan ruang tumbuhnya budaya literat yang diharapkan menjadi daya kerek kualitas pendidikan negeri ini.
Bagaimana mungkin mereka akan menjadi generasi emas yang literat atau punya budaya membaca yang kuat, kalau belajar hanya mengandalkan buku paket, yang sering dikemas dengan cara instan yang kurang menarik? Bagaimana murid punya kesempatan untuk berkunjung ke perpustakaan, jika jam istirahat cuma 20 menit, sementara mereka harus berjibaku masuk kantin atau melahap bekal yang dibawa dari rumah untuk mengisi perutnya agar tubuhnya bisa bugar saat mengikuti kegiatan belajar. Di sinilah sesungguhnya realitas pendidikan itu dilihat secara lebih dekat dan nyata. Narasi-narasi pendidikan itu dibangun dari waktu ke waktu. Narasi pendidikan yang begitu kompleksitas dengan segala persoalannya. Narasi pendidikan yang tidak hanya sekadar dilihat dari hasil akhir survei. Tidak mudah bukan?
Dengan memperhitungkan semua faktor itu yang berpengaruh pada hasil akhir pendidikan, hasil kajian/penelitian menjadi lebih bijak dan objektif ketimbang survei-survei yang hanya melihat secara instan di atas permukaan tanpa mau menyelam ke dasar pendidikan yang senyatanya. Agar batu karang, lumpur, dan gelombang pendidikan dapat dirasakan secara lebih dekat dan nyata.
Jika hasil survey itu dijadikan tolok ukur lalu kemudian “ngubat abit” guru tidak profesional, tidak kompeten, punya argumen yang bisa dirunut secara nalar. Bahwa guru di negeri ini memang bukanlah Dewa, bukan malaikat yang begitu sakti. Guru adalah manusia biasa yang tentu dengan segala upaya akan terus tergerak, bergerak, dan menggerakkan muridnya agar menjadi generasi berpendidikan, generasi emas, menjadi generasi platinum, menjadi generasi milenial yang bermartabat di mata dunia.
Selamat Hari pendidikan Nasional, 2 Mei 2024.
Salam Merdeka Belajar!
BACA artikel lain dari penulis I GEDE EKA PUTRA ADNYANA