DI wilayah Kecamatan Tejakula, di Buleleng bagian timur, Desa Pacung adalah desa yang paling dekat dengan Kota Singaraja—ibukota Kabupaten Buleleng, Bali. Desa Pacung berada deretan paling barat, yang berarti desa paling pertama yang akan ditemui jika kita hendak masuk ke wilayah Kecamatan Tejakula dari arah kota.
Dari arah Kota Singaraja menuju Desa Pacung kira-kira hanya butuh waktu satu jam. Lewat Kubutambahan, lalu Desa Bukti, dan setelah itu akan bertemu tanah Desa Pacung.
Entah berapa ratus kali saya lewat di Desa Pacung sejak saya lahir. Jika hendak ke Kota Singaraja dari desa saya, Desa Les, jalur paling cepat, ya, lewat Desa Pacung. Dan, sekali lagi, barangkali sudah ratusan kali saya bolak-bolak Kota Singaraja-Desa Les, dan lewat di Desa Pacung.
Barangkali banyak orang juga sering hanya lewat begitu saja di Desa Pacung, dan jarang berpikiran untuk singgah, berhenti sebentar, dan melihat-lihat apa saja yang ada di desa itu.
Jika sempat singgah, atau berhenti, kita akan tahu apa-apa saja yang bisa ditemui di Desa Pacung. Desa Pacung punya banyak hal yang bisa dibanggakan, muali dari tradisi seni dan budaya, juga kuliner dan pemandangan alam.
Matahari Terbit, Matahari Terbenan
Entah bagaimana posisi Desa Pacung dalam peta bumi, sehingga, jika berada pada posisi yang tepat di pesisir pantai utara desa, kita bisa melihat matahari terbit dari desa itu pada pagi hari, dan pada sore hari kita juga bisa melihat matahari terbenam. Tak percaya? Coba saja.
Melukat di Ponjok Batu
Siapa yang belum pernah melukat dan sembahyang di Pura Ponjok Batu? Jika belum pernah, kini saatnya untuk mencoba.
Pesisir pantai bersejarah di Pura Pnjok Batu
Di pantai yang berada di sekitar Pura Ponjok Batu terdapat banyak mata air dan dipercaya punya tuah yang baik untuk pembersihan diri dan jiwa. Setelah melukat, kita bisa sembahyang di Pura Ponjok Batu yang punya nilai sejarah itu.
Cerorot
Minggu, 28 April 2024, saya jalan-jalan di Desa Pacung bersama salah seorang sahabat yang memang lahir dan besar di desa itu. Dia adalah Bagus WKP. Laki-Laki 26 tahun yang mempunyai nama asli Ngurah Bagus Widhia Kusuma Putra.
Bagus nama panggilannya memang mempunyai ketertarikan terhadap dunia seni dan kreatif. Dalam banyak diskusi, anak muda ini selalu berbicara tak terkecuali bicara soal pengembangan, tepatnya inventaris warisan dan potensi di desanya.
Kue cerorot
Kebetulan bersama beberapa teman, saya berkunjung untuk melihat bagaimana jaja (uke tradisional) cerorot khas Pacung dibuat. Bagus WKP pun bercerita bahwa cerorot tidak hanya sekedar jaja atau jajan.
Cerorot sering disandingkan dengan jaja kaliadrem yang bentuknya mirip donat tapai tidak terlalu bulat atau bahkan ada yang bentuknya segitiga. Cerorot dan kaliadren punya nilai-nilai simbolis yang bisa dijadikan bahan renungan dalam kehidupan ini.
Cerorot adalah simbul purusa (laki-laki) dan kaliadrem sebagai simbol pradana (perempuan). “Dua jajan tradisional itu wajib digunakan dalam berbagai kegiatan di sini (Desa Pacung,” kata Bagus WKP.
Seni
Di Desa Pacung juga ada tarian gambuh dan itu hanya dipentaskan ketika ada upacara di Pura Ulun Suwi. Ada juga tari gandrung yang dipentaskan saat upacara (piodalan) di Pura Puseh.
Tari gambuh
Tari gandrung
Saya melahap beberapa cerorot yang dibalut khas wangi daun lontar sambil mencerna satu per satu kekayaan yang sering sekali dilupakan bahkan cenderung tidak diketahui ini.
Komunitas Bali Kayon
Yang menarik, Bagus bersama beberapa kawannya menginisiasi sebuah komunitas bernama Bali Kayon. Ini adalah komunitas kreatif untuk mewadahi anak-anak muda untuk melestarikan wayang dan kegiatan mendalang. Bagus WKP, anak muda yang sekaligus aktif sebagai penjaga perpustakaan Desa Pacung, ini juga sering sekali bercerita lewat tokoh-tokoh wayang imaginer yang ia ciptakan sendiri.
Seni pedalangan
Desa Pacung bersama Bagus WKP dan anak-anak muda yang kreatif di desa itu, memerlukan perhatian dari berbagai pihak agar desa itu bisa makin maju di berbagai hal, seperti seni budaya, kuliner, dan barangkali juga pariwisata. [T]