BUAH usaha dari Fuad Hasan—kala itu menjabat sebagai Mendikbud tahun 1985-1993—dan Sapardi Djoko Damono yang ingin mempopulerkan puisi Indonesia ke kalangan anak sekolah, maka lahirlah Ari Reda. Duo musisi folk yang aktif mengalihwahanakan puisi menjadi lagu—dan menembangkannya—sejak tahun 1988 silam.
Kemunculan Ari Reda dengan musikalisasi puisinya, semacam kendaraan yang memperlancar atau lebih mendekatkan puisi ke masyarakat dengan kemasan lagu. Sehingga, kini, jika berbicara tentang musikalisasi puisi, barangkali kiblat dari musikalisasi puisi Indonesia adalah duet legendaris Ari Malibu dan Reda Gaudiamo.
Banyak musikus generasi baru yang lahir dari keindahan suara Ari Reda—dengarkan saja Hujan Bulan Juni, Pada Suatu Hari, dan Aku Ingin. Tapi Heri Windi Anggara, musisi asal Bali yang fokus dalam bidang musikalisasi puisi, meyakini jika muspus (singkatan dari musikalisasi puisi) sudah berkembang sejak zaman Sunan Kalijaga.
Sedangkan di Bali sendiri, muspus sudah berkembang sejak tahun 1960-an di tiga kabupaten, yakni di Jembrana, Buleleng, dan Denpasar.
Meski begitu, tak bisa dimungkiri jika upaya memusikkan puisi atau menggabungkan seni baca puisi dengan seni musik yang dilakukan oleh Ari Reda, sangat besar pengaruhnya terhadap perkembangan musikalisasi puisi di Indonesia.
Grup muspus Komunitas Mahima saat launching mini album di Mahima March March March 2024 | Foto: Hizkia
Di Buleleng, misalnya, diam-diam muncul kelompok musikalisasi puisi yang dengan konsisten telah menghasilkan karya musikalisasi puisi sebanyak tiga album. Meskipun sempat vakum, kini, kelompok musikalisasi puisi Komunitas Mahima, bangkit kembali dengan anggota baru dan warna musik yang lebih eksploratif.
Pada tahun 2024, Rahatri Ningrat (Gek Ning), Mila Romana, Gung Divata, Dadidu, Gung Andre, dan Ari Fernando, mencoba membangkitkan kembali kelompok musikalisasi puisi Komunitas Mahima dengan menghadirkan empat lagu bernuansa lebih segar—tak melulu gelap, sendu, keras, sebagaimana muspus-muspus pada umumnya.
“Kami terbentuk (lagi) pada saat acara Pekan Raya Cipta Karya Mahima, beberapa bulan yang lalu,” kata Gek Ning ketika dihubungi di sela-sela kesibukannya menjadi seorang guru di salah satu SMA di Buleleng.
Ia bercerita, pada saat itu, dirinya diminta untuk menampilkan musikalisasi puisi pada saat acara pembukaan Pekan Raya Cipta Karya Mahima yang berlangsung pada 17 November 2023 yang lalu.
“Saat itu kami membawakan empat lagu. Dua muspus dari album Raya-Raya Cinta, satu muspus dari Interior Danau, dan satu muspus garapan baru, Pada Suatu Hari Nanti,” ujar Gek Ning.
Empat karya musikalisasi puisi yang mereka sajikan kali ini adalah Pada Suatu Hari Nanti, puisi karya Sapardi Djoko Damono; Untuk Gadisku, karya Tuti Dirgha; Tuhan Milik Siapa, karya Made Adnyana Ole; dan Sajak Cinta Bidadari, karya Nuryana Asmaudi SA.
Grup muspus Komunitas Mahima saat ngobrol musikalisasi puisi di Mahima March March March 2024 | Foto: Hizkia
Pada tanggal 15 Maret 2024, kelompok musikalisasi puisi Komunitas Mahima ini sukses mengadakan konser dan sekaligus launching mini album Mahima, di acara Mahima March March March 2024 yang berlangsung di Rumah Belajar Komunitas Mahima.
Dalam kesempatan itu, mereka bercerita tentang bagaimana proses kreatif mereka dalam mengalihwahanakan seni baca ke dalam seni dengar tersebut. Menurut Gek Ning, pemilihan tema sangat penting sebagai langkah awal untuk membuat musikalisasi puisi.
“Jika temanya sudah ketemu, selanjutnya melakukan pembacaan terhadap puisi yang akan dijadikan muspus. Ini untuk menentukan pemenggalan-pemenggalan,” jelasnya, setelah selesai tampil di acara Mahima March March March 2024, Jumat (17/03/24) malam.
Di hadapan penonton kala itu, dengan semangat Gek Ning menjelaskan bagaimana tahap-demi tahap ketika membuat musikalisasi puisi. “Kemudian, tahap selanjutnya adalah menerjemahkan puisi ke dalam musik. Dengan penentuan nada menggunakan gitar dan elemen-elemen lain sebagai penyempurna,” sambungnya dengan semangat.
Sedangkan Dadi—dalam kelompok ini ia kadang menyanyi, kadang juga main piano—menyampaikan sikap dirinya dalam memandang musikalisasi puisi. Menurutnya, bermain musikalisasi puisi adalah bagaimana cara menyalurkan selera musik kita dengan menggunakan lirik yang berasal dari puisi. “Untuk puisi Pada Suatu Hari Nanti, saya membawanya ke nuansa yang lebih happy,” katanya.
Benar, untuk lagu ini, kelompok Musikalisasi Puisi Mahima berhasil keluar dari bayang-bayang Pada Suatu Hari Nanti versi Ari Reda—yang terkenal itu. Meskipun, hal itu juga mendapat respon yang beragam dari para pendengar yang saat itu hadir menyaksikan mereka perform.
“Dengan menggubah puisi itu menjadi musik ala-ala Britpop, saya ingin puisi ini lebih dekat dengan generasi muda sekarang,” tutur Dadi, mencoba meyakinkan pendengar.
Sedangkan dalam pemilihan puisi Untuk Gadisku, adalah sebuah bentuk rasa kebanggan untuk membawa penyair Buleleng ke dalam karya-karya muspus mereka. Benar, Tuti Dirgha adalah seorang penulis dari Buleleng yang karya-karyanya, termasuk antologi puisinya, diterbitkan di Penerbit Mahima sendiri.
Satu fakta yang menarik adalah, Tuti Dirgha merupakan ibunda dari salah satu vokalis Kelompok Musikalisasi Puisi Mahima, yakni A.A Ayu Rahatri Ningrat, atau yang lebih akrab disapa Gek Ning.
Satu puisi yang akhirnya mereka pilih untuk dimusikalisasikan adalah puisi karya Made Adnyana Ole yang berjudul Tuhan Milik Siapa. Menurut pengakuan Dadi, puisi romantis dengan bumbu-bumbu satire itu merupakan sebuah puisi yang diciptakan Made Adnyana Ole sebagai hadiah pernikahannya dengan sang istri.
Grup muspus Komunitas Mahima saat ngobrol musikalisasi puisi di Mahima March March March 2024 | Foto: Hizkia
“Setelah selesai mengaransemen Sajak Cinta Bidadari, saya kemudian mengaransemen puisi Pak Ole yang berjudul Tuhan Milik Siapa,” cupa Dadi. Kemudian ia menambahkan, “Karena bagi saya, puisi itu sangat spesial dalam hidup saya.” Ia tampak bangga mengucapkan hal tersebut.
Gek Ning, sebagai generasi lama dalam kelompok musikalisasi puisi ini, dalam kesempatan lain, ia menceritakan bagiamana usahanya dalam menghidupkan kembali kelompok musikalisasi ini dengan formasi yang baru. “Saya mengajak mereka, karena saya melihat mereka memiliki pemahaman tentang musik yang sangat bagus. Dan mereka memiliki minat juga untuk mencoba bermain musikalisasi puisi,” jelasnya.
Ia kembali menuturkan, pada awal pembentukannya, mereka sempat kesulitan dalam hal menyamakan persepsi tentang puisi. Namun, untungnya, mereka saling terbuka dan legowo dalam menerima hasil atau keputusan diskusi—tentang puisi—yang mereka lakukan.
Meski sebagian besar dari kelompok musikalisasi puisi ini adalah orang-orang yang sudah memiliki pengalaman di bidang musik dengan genrenya masing-masing, namun mereka tetap mengaku kesulitan dalam menentukan nada untuk dipakai dalam musikalisasi puisi.
“Kalau susahnya sih pas menentukan nada. Karena nada akan menentukan ke mana arah musik selanjutnya,” ucap salah satu dari mereka saat sesi diskusi di Rumah Belajar Komunitas Mahima beberapa waktu yang lalu.
Walaupun sebagai kelompok musikalisasi puisi dengan latar belakang kesukaan, atau selera musik yang berbeda-beda, mereka optimis dan terus berusaha untuk tetap bereksplorasi dengan pendekatan-pendekatan musik yang mereka ketahui.
Dengan begitu, bisa dikatakan, Kelompok Musikalisasi Puisi Mahima akan terus mengelurkan karya musikalisasi puisi dengan menggunakan berbagai unsur genre ke dalam karya mereka ke depannya.
“Kami berharap, semoga bisa selalu konsisten dalam musikalisasi puisi, agar terus dapat menghasilkan karya-karya yang lebih fresh ke depannya,” ujar Gek Ning, memungkasi sesi diskusi malam itu. Sekadar informasi, karya-karya musikalisasi Komunitas Mahima dapat ditonton dan dengarkan di kanal Youtube Komunitas Mahima.[T]
Reporter: Yudi Setiawan
Penulis: Yudi Setiawan
Editor: Jaswanto