24 May 2025
  • Beranda
  • Feature
    • Khas
    • Tualang
    • Persona
    • Historia
    • Milenial
    • Kuliner
    • Pop
    • Gaya
    • Pameran
    • Panggung
  • Berita
    • Ekonomi
    • Pariwisata
    • Pemerintahan
    • Budaya
    • Hiburan
    • Politik
    • Hukum
    • Kesehatan
    • Olahraga
    • Pendidikan
    • Pertanian
    • Lingkungan
    • Liputan Khusus
  • Kritik & Opini
    • Esai
    • Opini
    • Ulas Buku
    • Ulas Film
    • Ulas Rupa
    • Ulas Pentas
    • Kritik Sastra
    • Kritik Seni
    • Bahasa
    • Ulas Musik
  • Fiksi
    • Cerpen
    • Puisi
    • Dongeng
  • English Column
    • Essay
    • Fiction
    • Poetry
    • Features
  • Penulis
No Result
View All Result
  • Beranda
  • Feature
    • Khas
    • Tualang
    • Persona
    • Historia
    • Milenial
    • Kuliner
    • Pop
    • Gaya
    • Pameran
    • Panggung
  • Berita
    • Ekonomi
    • Pariwisata
    • Pemerintahan
    • Budaya
    • Hiburan
    • Politik
    • Hukum
    • Kesehatan
    • Olahraga
    • Pendidikan
    • Pertanian
    • Lingkungan
    • Liputan Khusus
  • Kritik & Opini
    • Esai
    • Opini
    • Ulas Buku
    • Ulas Film
    • Ulas Rupa
    • Ulas Pentas
    • Kritik Sastra
    • Kritik Seni
    • Bahasa
    • Ulas Musik
  • Fiksi
    • Cerpen
    • Puisi
    • Dongeng
  • English Column
    • Essay
    • Fiction
    • Poetry
    • Features
  • Penulis
No Result
View All Result
tatkala.co
No Result
View All Result

Tabanan dan Elegi Padi Bali

JaswantobyJaswanto
March 3, 2024
inTualang
Tabanan dan Elegi Padi Bali

Lanskap sawah di Pemanis | Foto: Jaswanto

MENINGGALKAN Singaraja saya berkendara ke selatan. Hujan mengguyur kota ini dengan deras dan brutal. Menguapkan lumpur ke jalan-jalan. Di punggung Gitgit, sepanjang jalan short cut, kabut tebal bagai lorong alam lain. Jarak pandang hanya sepelemparan ludah. Sedang kendaraan seperti muncul tiba-tiba dari mulut makhluk mitologi asing dan mistis. Saya menggigil berselimut jas hujan murah seperti kambing konyol yang telat masuk kandang.

Hujan baru agak sedikit reda saat kuda besi yang saya tunggangi memasuki wilayah Baturiti. Itu cukup melegakan. Walaupun gigil tak kunjung pergi. Awal tahun, setidaknya di wilayah sekitar Buleleng dan Tabanan, hujan memang sedang deras-derasnya—seperti wahanan air tumpah di pekan raya. Saya memasuki Marga. Lurus, berbelok, sampai ditujuan, di Banjar Ole.

“Rumah ini menghadap ke timur atau ke mana?” tanya seorang teman. Saya menjawab tidak tahu. Sebab saya sendiri juga tidak yakin mengenai hal itu. Meski, di antara kami, saya dipercaya “paling tahu” mengenai arah mata angin.

Banjar Ole sedang bergeliat sore itu. Beberapa orang sedang mengaso di sebuah warung templek di pinggir jalan. Mereka menikmati kudapan hangat di kala mendung mendaulat. Sebelum gerimis, di sanalah saya memamah biak soto lontong—yang rasa kuahnya, alih-alih seperti soto, malah lebih dekat dengan kuah bakso. Di seberang warung itu, di halaman rumahnya, seorang bapak sedang sibuk memermak bambu panjang dengan nyiur. “Untuk penjor Galungan,” katanya. Sebagaimana hari raya lainnya, Galungan juga “harus” dirayakan.

Selain pelinggih-pelinggih mewah, di Banjar Ole, sejauh mata memandang, di setiap rumah, selalu terpacak lumbung padi di halaman. Lumbung, penemuan tua yang di beberapa daerah hanya tinggal cerita itu, seperti semacam kewajiban yang harus di miliki setiap keluarga di sana—atau setidaknya mereka yang memiliki sawah meski hanya barang sepetak. Tabanan, kota yang subur, sudah lama menyandang julukan “Lumbung Padi” di Bali.

“Nanti tidur di sini. Ini namanya bale gede,” ujar Made Adnyana Ole, wartawan senior sekaligus sastrawan yang sudah menulis puisi sejak remaja itu. Saya akrab memanggilnya Pak Ole. Tapi di tanah kelahirannya, ia terkenal dengan panggilan Pan Putik. Sebab anak pertamanya bernama Putik. Tiap lelaki dewasa di Tanah Ole, barangkali juga di Bali pada umumnya, dipanggil dengan sebutan “Pan”, disusul nama anak sulungnya.

Maka, jika Anda berkunjung ke Ole dan tujuan Anda adalah rumah Made Adnyana Ole sedangkan Anda sama sekali tidak tahu letak-posisinya, saya sarankan jangan bertanya, “Rumah Pak Ole sebelah mana, ya?” jika Anda tidak mau mendapat tatapan aneh, heran, dan dianggap konyol oleh orang-orang yang tinggal di Banjar Ole. Memangnya sejak kapan Ole menjadi bapak?

Jadilah saya tidur di balai gede rumah Pan Putik setelah menonton pertandingan sepakbola Liga I antara Borneo FC melawan Bhayangkara FC. Malam itu Pesut Mahakam menggebuk The Guardian dengan skor 4-0 tanpa balas. Pluim, Lilipaly, Felipe, dan Zikrak, adalah mimpi buruk bagi tim berbau militer itu.

Ole terlelap, basah, dingin, dan banyak nyamuk. Itu membuat tidur saya lebih beradrenalin daripada biasanya.

Pada hari berikutnya, kami, Tim Tatkala, meluncur meninggalkan Desa Marga. Di sebuah pertigaan jalan menuju Desa Tunjuk, kami berhenti di sebuah warung kelontong yang dijaga orang Madura. Di mana-mana ada warung Madura. Seolah mereka telah menginvasi berbagai wilayah di Indonesia sampai di lorong sempit sekali pun.

Warung Madura merupakan fenomena urban. Tampilan bangunannya yang sederhana dan segmen pasarnya yang membidik kelompok ekonomi menengah-bawah kerap mengaburkan status sosial pemiliknya. Meski memulai bisnis dari bawah, banyak pemilik warung Madura yang kemudian berhasil meningkatkan taraf hidup keluarganya di kampung halaman. Kerja keras, keuletan, dan tahan banting adalah kuncinya. Dan sejak awal mula kehadirannya, barangkali DNA warung Madura adalah juru selamat bagi mereka yang telat tidur.

Meninggalkan warung Madura, mobil bergerak menuju Pemanis. Sepanjang jalan hanya ada kebun, sawah, dan kampung yang tak padat-padat amat. Seperti di Ole, rumah-rumah di Tunjuk, Tajen, dan sekitarnya, selain terdapat pelinggih-pelinggih mewah, juga terdapat lumbung-lumbung dengan berbagai ukuran. “Bagi orang Tabanan, membangun tempat ibadah itu yang utama. Tak apa rumah sederhana, tapi bangunan untuk para dewa haruslah mewah,” kata Pak Ole sembari tertawa.

Di Tabanan, terlepas dari tempat ibadah yang mewah, lumbung adalah semacam identitas. Tabanan menempati peringkat pertama dalam produksi padi dibandingkan wilayah lain di Provinsi Bali. Orang-orang BPS Bali tahun 2021 mencatat 169.562 ton padi yang dihasilkan. Sedangkan produktivitasnya mencapai 5,76 ton per ha. Sampai tahun 2023, Tabanan masih menempati podium pertama dengan 171.023 ton, meningkat daripada tahun sebelumnya.

Namun, di balik melimpahnya produksi padi dan beras di Tabanan, alih fungsi lahan juga cukup masif di sini. Aktivitas manusia yang mengancam luas area persawahan itu, sejak 2008 telah menggerogoti Tabanan sampai hari ini. Selama tiga tahun terakhir, periode tahun 2019 sampai dengan tahun 2022, luas alih fungsi lahan pertanian di Tabanan mencapai 322,15 hektar. Di Kecamatan Kediri, misalnya, alih fungsi lahan sawah sebagian besar masuk kategori terbangun (sektor perumahan) dengan luas mencapai 11,64 hektar. Ini diprediksi akan terus bertambah di tahun-tahun yang akan datang.

“Tapi di sini sawah sangat dijaga. Tak sembarangan dapat mendirikan bangunan. Sebab padi tak hanya dianggap sekadar tumbuhan, tapi juga manifestasi Dewi Sri,” Bakti Wiyasa sedang berteori tentang padi, tumbuhan yang tak semata mengusir lapar, tetapi juga memikat mitos; tumbuhan yang sejak belasan ribu tahun lalu tumbuh di lahan-lahan subur Asia; tumbuhan yang kini memasok perut lebih separuh warga bumi.

Di Asia Tenggara, kata Fatris mengutip sejarawan Anthony Reid, beras adalah bahan makan yang paling pokok. Mungkin ada makanan pokok yang lebih tua, semacam umbi-umbian atau biji-bijian lain. Tapi, pada abad ke-15, padi telah menjadi tanaman yang lebih disukai dan bisa tumbuh subur di kawasan ini.

Di Subak Aya Pemanis, Penebel, berhektar-hektar sawah berwarna hijau. Padi-padi tumbuh subur di atas tanahnya. Di sini, petani sudah mulai mengurangi penggunaan pupuk kimia yang merusak. Pantas saja serangga sawah seperti klipes, capung, dan binatang licin berlendir seperti belut—orang Bali menyebutnya lindung—yuyu atau kepiting sawah, juga keong, masih banyak berkembang biak.

“Anak-anak itu sedang memancing lindung,” ujar Wiyasa, pelukis yang memilih hidup di desa dan mendirikan koperasi pangan (bersama petani sekitar) dan warung bernuansa desa bernama Warung Uma Manis itu, sambil menunjuk dua orang anak yang timbul-tenggelam di balik pematang. Tapi sayang, kata perupa lulusan ISI Jogja itu, kami datang setelah padi sudah tumbuh. “Padahal banyak ritual digelar sebelum menanam padi,” sambungnya.

Di Subak Aya Pemanis, menanam padi bukan sekadar proses biasa seperti kebanyakan orang Jawa. Tapi ada beberapa ritual yang sudah dipercaya dan diwarisi turun-temurun. Sebelum menanam padi, petani di sana—barangkali juga petani di belahan Bali yang lain—menggelar upacara mapag toya, ritual menjemput air dengan segala doa-doa purba. Petani berjalan menjemput air, membersihkan parit, memberi jalan untuk aliran air dari hulu hingga hilir. “Biasanya mereka juga mempersembahkan Tari Baris,” terang Wiyasa.

Tarian Baris di sungai, mantra pemangku ulun suwi, dan gamelan gong, bukanlah tontonan pariwisata. Itu adalah ritual yang penuh makna untuk menyambut musim tanam, luapan rasa syukur akan karunia air sungai dari gunung dan Danau Tamblingan yang mengalir melalui Yeh Gembrong di Batu Lumbung, daerah Soka-Senganan, sampai ke Subak Aya.

Selesai memapag toya, para petani mulai menebar benih padi atau suwinih. Barang sudah sejengkal orang dewasa, bibit padi siap dipindah-tanamkan di sawah yang telah selesai dibajak—ngawiwit atau memulai musim tanam

Namun, tak sembarang petani bisa seenak sendiri. Siapa yang berhak menanam padi terlebih dahulu, adalah mereka yang telah ditunjuk atas dasar rapat kesepakatan pengurus subak. “Petani yang mendapat giliran ngawiwit itulah yang menanam padi untuk pertama kalinya pada musim itu, sekaligus petani itu melaksanakan upakara ngawiwit,” kata Wiyasa sambil membenarkan letak kacamatanya.

Selanjutnya, sehari setelah ngawiwit, petani melakukan Nyepi Subak. Petani tak boleh bekerja di sawah. Ini masa jeda. Dan jeda, saya teringat sebuah prosa berjudul Spasi (1998) yang ditulis Dewi Lestari. “Seindah apa pun huruf terukir, dapatkah ia bermakna apabila tak ada jeda? Dapatkah ia mengerti bila tak ada spasi? Bukankah kita baru bisa bergerak jika ada jarak?” Dan Nyepi adalah spasi untuk mengerti.

Selasai Nyepi, petani mulai membenamkan akar (bibit) padi di lumpur-lumpur subur sawah mereka dengan riang dan semangat yang tak terbendung. Selama abulan pitung dina atau 42 hari usia padi setelah ditanam, upacara pertama mantenin digelar. Pada saat padi bunting, giliran upacara mesaba atau ngusaba diadakan. Di tahap ini, artinya padi telah siap dipanen. Di Penglatan, Buleleng, jauh dari desa ini, saat Ngusaba Nini, petani akan melantunkan pupuh dangdang gendis—salah satu pupuh tembang macapat.

“Tapi sudah tidak ada padi bali di sini,” ujar Wiyasa, “padahal tanahnya cukup subur untuk itu. Semua petani sudah menggantinya dengan padi hibrida.” Di Pemanis, padi bali, varietas padi khas Bali, telah lama ditinggalkan. Banyak petani hari ini memilih berpikir praktis dan pragmatis. Pasalnya, padi bali dari tanam hingga panen membutuhkan waktu sekitar enam bulan (dua kali lebih lama dari jenis hibrida), dengan pengolahan lebih rumit dibandingkan padi pada umumnya.

Di Tabanan, padi jenis ini hanya dilestarikan di Senganan, Jatiluwih, dan sekitarnya. Kebanyakan petani di Bali sudah meninggalkannya dengan berbagai alasan. Maka tak heran, di beberapa daerah, padi bali hanya memorabilia yang ngendon di kepala orang-orang tua. Ia, hari ini, hanya semacam tinggalan masa lalu yang cukup dilestarikan dan dijaga oleh beberapa orang saja. Tak perlu banyak, yang penting ada. Sebagai pelajaran, sebagai penanda, bahwa Bali juga (pernah) punya varietas padi sendiri.

Gerimis turun tiba-tiba. Kami duduk di teras belakang Koperasi Tri Guna Arta—yang juga sekaligus galeri lukisan karya Bakti Wiyasa—di Banjar Pemanis Biaung sambil menikmati kopi dan laklak Warung Uma. Di utara, deretan Gunung Batukaru, Gunung Sanghyang, dan lainnya, menjulang bagaikan lukisan Hindia Molek, gambaran haru-biru orang Eropa tentang eksotisme Timur. Batukaru, adalah gunung penting di Tabanan. Dua anak pemburu lindung itu, telah lenyap ditelan gelap.

Sebelum beranjak, saya teringat apa yang ditulis Fatris, “kita memang tidak berhasil mengetahui apa pun mengenai orang-orang yang pertama kali menemukan padi, juga bagaimana rumput liar ini kemudian menjadi begitu jinak sehingga bisa dibudidayakan manusia. Tapi ‘jinakkah’ padi kini bagi kita?

Produksinya nyaris tak bisa dijinakkan. Rencana-rencana swasembada bisa ambruk oleh wabah dan bencana—dan akibatnya bisa fatal secara politis. Beras adalah topik yang hangat saban tahun, apalagi di musim kampanye saat para politisi berkoar soal perut rakyat yang lapar. Memastikan produksi beras adalah tanggung jawab negara, dan beban itu diletakkan pada pundak kaum petani di desa-desa.”

Saya kembali ke Banjar Ole. Di tv, pembawa berita sedang mewartakan mahalnya harga beras seusai Pemilu 2024. Sedang stasiun tv lainnya menayangkan orang-orang yang berebut beras bantuan. Saya menghela napas.[T]

Menengok Desa Tembok
Menggigil di Belantara Gunung Batukaru
Pedawa: Kebahagiaan Adalah Kekeluargaan
Tags: padipadi balipertanianpertanian balipetanitabanan
Previous Post

Poems by Dian Purnama Dewi | Gods are Silenced

Next Post

Memikirkan Delik dan Hukum Jika Ganja Dipakai Campuran Perkedel, Soto, atau Sambal

Jaswanto

Jaswanto

Editor/Wartawan tatkala.co

Next Post
Memikirkan Delik dan Hukum Jika Ganja Dipakai Campuran Perkedel, Soto, atau Sambal

Memikirkan Delik dan Hukum Jika Ganja Dipakai Campuran Perkedel, Soto, atau Sambal

Please login to join discussion

ADVERTISEMENT

POPULER

  • Refleksi Semangat Juang Bung Tomo dan Kepemimpinan Masa Kini

    Apakah Menulis Masih Relevan di Era Kecerdasan Buatan?

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Tulak Tunggul Kembali ke Jantung Imajinasi

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • “Muruk” dan “Nutur”, Belajar dan Diskusi ala Anak Muda Desa Munduk-Buleleng

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Galungan di Desa Tembok: Ketika Taksi Parkir di Rumah-rumah Warga

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Hari Lahir dan Pantangan Makanannya dalam Lontar Pawetuan Jadma Ala Ayu

    0 shares
    Share 0 Tweet 0

KRITIK & OPINI

  • All
  • Kritik & Opini
  • Esai
  • Opini
  • Ulas Buku
  • Ulas Film
  • Ulas Rupa
  • Ulas Pentas
  • Kritik Sastra
  • Kritik Seni
  • Bahasa
  • Ulas Musik

Mars dan Venus: Menjaga Harmoni Kodrati

by Dewa Rhadea
May 24, 2025
0
Tawuran SD dan Gagalnya Pendidikan Holistik: Cermin Retak Indonesia Emas 2045

DI langit malam, Mars dan Venus tampak berkilau. Dua planet yang berbeda, namun justru saling memperindah langit yang sama. Seolah...

Read more

“Storynomics Tourism”: Tutur Cerita dalam Wisata

by Chusmeru
May 24, 2025
0
Efek “Frugal Living” dalam Pariwisata

BANYAK pertimbangan wisatawan berkunjung ke satu destinasi wisata. Selain potensi alam dan budayanya, daya tarik destinasi wisata terletak pada kelengkapan...

Read more

Sujiwo Tejo, Kim Nam Joon, dan Najwa Shihab: Siapa yang Didengar, Siapa yang Ditiru?

by Stebby Julionatan
May 23, 2025
0
Sujiwo Tejo, Kim Nam Joon, dan Najwa Shihab: Siapa yang Didengar, Siapa yang Ditiru?

DALAM dunia pendidikan, kemampuan berbicara bukan hanya tentang menyampaikan kata-kata, melainkan juga menyangkut kepercayaan diri, daya pikir kritis, dan keterampilan...

Read more
Selengkapnya

BERITA

  • All
  • Berita
  • Ekonomi
  • Pariwisata
  • Pemerintahan
  • Budaya
  • Hiburan
  • Politik
  • Hukum
  • Kesehatan
  • Olahraga
  • Pendidikan
  • Pertanian
  • Lingkungan
  • Liputan Khusus
911—Nomor Cantik, Semoga Nomor Keberuntungan Buleleng di Porprov Bali 2025

911—Nomor Cantik, Semoga Nomor Keberuntungan Buleleng di Porprov Bali 2025

May 21, 2025
Inilah Daftar Panjang Kusala Sastra Khatulistiwa 2025

Inilah Daftar Panjang Kusala Sastra Khatulistiwa 2025

May 17, 2025
Meningkat, Antusiasme Warga Muslim Bali Membuka Tabungan Haji di BSI Kantor Cabang Buleleng

Meningkat, Antusiasme Warga Muslim Bali Membuka Tabungan Haji di BSI Kantor Cabang Buleleng

May 16, 2025
Anniversary Puri Gangga Resort ke-11, Pertahankan Konsep Tri Hita Karana

Anniversary Puri Gangga Resort ke-11, Pertahankan Konsep Tri Hita Karana

May 13, 2025
“Bali Stroke Care”: Golden Period, Membangun Sistem di Tengah Detik yang Maut

“Bali Stroke Care”: Golden Period, Membangun Sistem di Tengah Detik yang Maut

May 8, 2025
Selengkapnya

FEATURE

  • All
  • Feature
  • Khas
  • Tualang
  • Persona
  • Historia
  • Milenial
  • Kuliner
  • Pop
  • Gaya
  • Pameran
  • Panggung
Kala Bukit Kini Berbuku, Inisiatif Literasi di Jimbaran
Khas

Kala Bukit Kini Berbuku, Inisiatif Literasi di Jimbaran

JIMBARAN, Bali, 23 Mei 2025,  sejak pagi dilanda mendung dan angin. Kadang dinding air turun sebentar-sebentar, menjelma gerimis dan kabut...

by Hamzah
May 24, 2025
“ASMARALOKA”, Album Launch Showcase Arkana di Berutz Bar and Resto, Singaraja
Panggung

“ASMARALOKA”, Album Launch Showcase Arkana di Berutz Bar and Resto, Singaraja

SIANG, Jumat, 23 Mei 2025, di Berutz Bar and Resto, Singaraja. Ada suara drum sedang dicoba untuk pentas pada malam...

by Sonhaji Abdullah
May 23, 2025
Pesta Kesenian Bali 2025 Memberi Tempat Bagi Seni Budaya Desa-desa Kuno
Panggung

Pesta Kesenian Bali 2025 Memberi Tempat Bagi Seni Budaya Desa-desa Kuno

JIKA saja dicermati secara detail, Pesta Kesenian Bali (PKB) bukan hanya festival seni yang sama setiap tahunnya. Pesta seni ini...

by Nyoman Budarsana
May 22, 2025
Selengkapnya

FIKSI

  • All
  • Fiksi
  • Cerpen
  • Puisi
  • Dongeng
Kampusku Sarang Hantu [1]: Ruang Kuliah 13 yang Mencekam

Kampusku Sarang Hantu [16]: Genderuwo di Pohon Besar Kampus

May 22, 2025
Puisi-puisi Sonhaji Abdullah | Adiós

Puisi-puisi Sonhaji Abdullah | Adiós

May 17, 2025
Kampusku Sarang Hantu [1]: Ruang Kuliah 13 yang Mencekam

Kampusku Sarang Hantu [15]: Memeluk Mayat di Kamar Jenazah

May 15, 2025
Puisi-puisi Hidayatul Ulum | Selasar Sebelum Selasa

Puisi-puisi Hidayatul Ulum | Selasar Sebelum Selasa

May 11, 2025
Ambulan dan Obor Api | Cerpen Sonhaji Abdullah

Ambulan dan Obor Api | Cerpen Sonhaji Abdullah

May 11, 2025
Selengkapnya

LIPUTAN KHUSUS

  • All
  • Liputan Khusus
Kontak Sosial Singaraja-Lombok: Dari Perdagangan, Perkawinan hingga Pendidikan
Liputan Khusus

Kontak Sosial Singaraja-Lombok: Dari Perdagangan, Perkawinan hingga Pendidikan

SEBAGAIMANA Banyuwangi di Pulau Jawa, secara geografis, letak Pulau Lombok juga cukup dekat dengan Pulau Bali, sehingga memungkinkan penduduk kedua...

by Jaswanto
February 28, 2025
Kisah Pilu Sekaa Gong Wanita Baturiti-Kerambitan: Jawara Tabanan Tapi Jatah PKB Digugurkan
Liputan Khusus

Kisah Pilu Sekaa Gong Wanita Baturiti-Kerambitan: Jawara Tabanan Tapi Jatah PKB Digugurkan

SUNGGUH kasihan. Sekelompok remaja putri dari Desa Baturiti, Kecamatan Kerambitan, Tabanan—yang tergabung dalam  Sekaa Gong Kebyar Wanita Tri Yowana Sandhi—harus...

by Made Adnyana Ole
February 13, 2025
Relasi Buleleng-Banyuwangi: Tak Putus-putus, Dulu, Kini, dan Nanti
Liputan Khusus

Relasi Buleleng-Banyuwangi: Tak Putus-putus, Dulu, Kini, dan Nanti

BULELENG-BANYUWANGI, sebagaimana umum diketahui, memiliki hubungan yang dekat-erat meski sepertinya lebih banyak terjadi secara alami, begitu saja, dinamis, tak tertulis,...

by Jaswanto
February 10, 2025
Selengkapnya

ENGLISH COLUMN

  • All
  • Essay
  • Fiction
  • Poetry
  • Features
Poems by Dian Purnama Dewi | On The Day When I Was Born

Poems by Dian Purnama Dewi | On The Day When I Was Born

March 8, 2025
Poem by Kadek Sonia Piscayanti | A Cursed Poet

Poem by Kadek Sonia Piscayanti | A Cursed Poet

November 30, 2024
The Singaraja Literary Festival wakes Bali up with a roar

The Singaraja Literary Festival wakes Bali up with a roar

September 10, 2024
The Strength of Women – Inspiring Encounters in Indonesia

The Strength of Women – Inspiring Encounters in Indonesia

July 21, 2024
Bali, the Island of the Gods

Bali, the Island of the Gods

May 19, 2024

TATKALA.CO adalah media umum yang dengan segala upaya memberi perhatian lebih besar kepada seni, budaya, dan kreativitas manusia dalam mengelola kehidupan di tengah-tengah alam yang begitu raya

  • Penulis
  • Tentang & Redaksi
  • Kirim Naskah
  • Pedoman Media Siber
  • Kebijakan Privasi
  • Desclaimer

Copyright © 2016-2024, tatkala.co

Welcome Back!

Login to your account below

Forgotten Password?

Retrieve your password

Please enter your username or email address to reset your password.

Log In
No Result
View All Result
  • Beranda
  • Feature
    • Khas
    • Tualang
    • Persona
    • Historia
    • Milenial
    • Kuliner
    • Pop
    • Gaya
    • Pameran
    • Panggung
  • Berita
    • Ekonomi
    • Pariwisata
    • Pemerintahan
    • Budaya
    • Hiburan
    • Politik
    • Hukum
    • Kesehatan
    • Olahraga
    • Pendidikan
    • Pertanian
    • Lingkungan
    • Liputan Khusus
  • Kritik & Opini
    • Esai
    • Opini
    • Ulas Buku
    • Ulas Film
    • Ulas Rupa
    • Ulas Pentas
    • Kritik Sastra
    • Kritik Seni
    • Bahasa
    • Ulas Musik
  • Fiksi
    • Cerpen
    • Puisi
    • Dongeng
  • English Column
    • Essay
    • Fiction
    • Poetry
    • Features
  • Penulis

Copyright © 2016-2024, tatkala.co