30 May 2025
  • Beranda
  • Feature
    • Khas
    • Tualang
    • Persona
    • Historia
    • Milenial
    • Kuliner
    • Pop
    • Gaya
    • Pameran
    • Panggung
  • Berita
    • Ekonomi
    • Pariwisata
    • Pemerintahan
    • Budaya
    • Hiburan
    • Politik
    • Hukum
    • Kesehatan
    • Olahraga
    • Pendidikan
    • Pertanian
    • Lingkungan
    • Liputan Khusus
  • Kritik & Opini
    • Esai
    • Opini
    • Ulas Buku
    • Ulas Film
    • Ulas Rupa
    • Ulas Pentas
    • Kritik Sastra
    • Kritik Seni
    • Bahasa
    • Ulas Musik
  • Fiksi
    • Cerpen
    • Puisi
    • Dongeng
  • English Column
    • Essay
    • Fiction
    • Poetry
    • Features
  • Penulis
No Result
View All Result
  • Beranda
  • Feature
    • Khas
    • Tualang
    • Persona
    • Historia
    • Milenial
    • Kuliner
    • Pop
    • Gaya
    • Pameran
    • Panggung
  • Berita
    • Ekonomi
    • Pariwisata
    • Pemerintahan
    • Budaya
    • Hiburan
    • Politik
    • Hukum
    • Kesehatan
    • Olahraga
    • Pendidikan
    • Pertanian
    • Lingkungan
    • Liputan Khusus
  • Kritik & Opini
    • Esai
    • Opini
    • Ulas Buku
    • Ulas Film
    • Ulas Rupa
    • Ulas Pentas
    • Kritik Sastra
    • Kritik Seni
    • Bahasa
    • Ulas Musik
  • Fiksi
    • Cerpen
    • Puisi
    • Dongeng
  • English Column
    • Essay
    • Fiction
    • Poetry
    • Features
  • Penulis
No Result
View All Result
tatkala.co
No Result
View All Result

Menerobos Badai: Persembahan kepada Sejarawan Populis Bali, Sugianto Sastrodiwiryo (Bagian I)

Putu Hendra Mas MartayanabyPutu Hendra Mas Martayana
February 7, 2024
inEsai
Menerobos Badai: Persembahan kepada Sejarawan Populis Bali, Sugianto Sastrodiwiryo (Bagian I)

Soegianto Sastrodiwiryo

SAYA agak terkejut membaca artikel Tatkala.co tertanggal 18 Desember 2023 berjudul “Soegianto Sastrodiwiryo, Dokter yang Sejarawan Itu Berpulang”. Terkejut karena tokoh yang ditulis di dalam berita itu cukup populer dan saya kenal betul. Dengan jujur saya harus mengakui bahwa beliau lah, salah satu tokoh, selain Bli I Ngurah Suryawan, yang banyak menginspirasi dan membantu membuka cakrawala berpikir tentang sejarah Bali, dan sejarah Buleleng khususnya.

Menurut informasi di dalam tulisan itu, “Pak Gi”, begitulah panggilan akrab saya, telah mengembuskan napas terakhirnya di Rumah Sakit Hermina Grand Wisata, Bekasi pada Senin, 18 Desember 2023 akibat penyakit pneumonia. Khusnul khatimah Pak Gi. Beristirahatlah dalam keabadian dan sampai berjumpa di kehidupan yang lain.

Setelah membaca berita itu, saya bergegas membuka inbox FB dan mencari nama beliau. Riwayat pesan kami sejak September 2012 masih terang terbaca. Komunikasi terakhir terjadi pada akhir tahun 2016. Maklum, sejak 2016, saya agak sibuk mengurus berbagai hal. Jadi, jarang bersua dengan beliau.

Di samping itu, gempuran media sosial baru seperti WA dan IG ditambah perkembangan teknologi komunikasi yang massif seperti android maupun IOS turut mempengaruhi besarnya migrasi animo milenial pada ruang virtual saat itu.

Akibatnya, Facebook tidak lebih dari “kuburan sosial” yang justru banyak dimeriahkan oleh generasi tua, baby boomer. Meksi begitu, FB sesekali dibuka, sebab eksposur pertemanan formal di sana lebih luas.      

Saya tidak pernah bertemu secara fisik dengan Pak Gi. Interaksi kami mengalir dan berlangsung secara alamiah. Kami bertegur sapa melalui inbox Facebook. “Marx” (saya menamai akun FB dengan “marxtjes”), begitulah Ia memanggil saya dengan sangat bersahabat.

Dia adalah orang pertama, di samping David Reeve (sejarawan Australia yang saya kenal di FB) yang sedikiit kepo menanyakan arti nama “marxtjes”. “Sepertinya saya tidak asing dengan nama itu, saya belajar tentang Marx, tetapi asing dengan istilah tjes ?” ungkap Pa Gi. Bahkan dengan sedikit bercanda dan sarkas, beliau menyebut saya sebagai “marxian muda yang belum matang”.

Sejak studi pada tingkat sarjana pada tahun 2007-2011, saya sudah sering membaca tulisan-tulisan Marx dan Lenin. Hanya saja, sebagai pemula, saya kurang begitu memahami kerangka teoritik Marx, alih-alih Lenin untuk dapat dipakai sebagai matra dalam memahami fenomena sejarah.

Pak Gi menjelaskan bahwa “teori nilai lebih” (surplus value theory) yang digagas Marx di dalam magnus opum-nya “Das Capital” adalah pintu masuk alternatif untuk memahami secara lebih radikal tentang alam pikiran Marx.

Karl Heinrich Marx | Sumber : Geotimes.com

Jika karya-karya Marx adalah karangan wajib dan menjadi satu bentuk kegandrungan intelektual baru saat itu, sehingga menginspirasi diksi “marx”, maka “tjes” diinisasi oleh kisah perlawanan busana yang dilakukan Bung Karno.

Ulasan tentang counter busana bumiputera terhadap dominasi white race supremacy Eropa itu sudah pernah saya tulis di Tatkala.co dengan judul “Necisme Bung Karno, Gerakan Busana Melawan Kolonialisme Barat”, dimuat pada 18 Agustus 2019.

Bung Karno, di dalam antologi Henk Schulte Nordholt (2005, LKiS bekerjasama dengan Koninklijk Instituut voor Taal, Land en Volkenkunde, KITLV ), “Outward Appereances : Dressing State and Society in Indonesia (terbit tahun 2005) menjelaskan dengan sangat kronologis perubahan linguistik “peci” yang berawal dari benda penutup kepala orang Turki, “Pe-Ze.

Lalu diadopsi oleh gerakan sosialisme-komunisme Belanda menjadi “pe-tje”. Nah, pe-tje inilah yang mengalami arbitrerisasi intelektual kaum priyayi Indonesia, khususnya Bung Karno, yang selain telah berhasil menyandingkannya dengan satu gerakan sosial marhaenisme sehingga nampak identik, juga menjadi gaya busana baru yang mendominasi kaum republiken pada masa Revolusi Fisik 1945-1950.

Dalam rentang 2013-2016, saya dan Pak Gi mendiskusikan banyak hal. Dari masalah yang ringan hingga abstrak. Misalnya, kami pernah mendiskusikan fenomena “Dakocan”, sebuah akronim untuk “dagang kopi cantik” dan “Wanita Kiper”.

Di pertengahan dekade pertama tahun 2000, “dakocan” dan “wanita kipper” sedang hype menjadi bahan penelitian dosen-dosen Pendidikan Sejarah Undiksha yang dipelopori oleh Prof. Dr. Nengah Bawa Atmadja dan Prof. Dr. Luh Putu Sendratari. Entah sudah berapa banyak artikel, jurnal ilmiah, dan hibah penelitian yang dihasilkan dari dua fenomena itu sehingga cukup populer di dalam kancah sosial.

Perjumpaan dengan Pak Gi dilatarbelakangi oleh sebuah apresiasi akademis terhadap karangannya yang berjudul “Budak Pulau Surga”. Meskipun tidak memiliki basis keilmuwan sejarah yang memadai, tetapi karya-karyanya sangat diminati oleh pembaca. Khususnya karya yang bernuansa sejarah seperti Sejarah Bali, yang menurut kesaksian Pak Ole (owner Tatkala) sudah beberapa kali dicetak ulang.

Saya menduga bahwa nama Pak Gi lebih dikenal oleh masyarakat luas justru karena kiprahnya sebagai seorang sejarawan ketimbang profesinya sebagai dokter.

Bicara tentang posisi akademis Pak Gi dalam bidang kesejarahan, gagasan Prof. I Gde Widja dalam bukunya “Sejarah Lokal Suatu Perspektif dalam Pengajaran Sejarah” yang terbit tahun 1989 bisa disimak. Beliau membagi sejarawan ke dalam dua tipe.

Pertama adalah sejarawan populis, yakni satu istilah untuk mendefinisikan seseorang yang secara produktif menulis sejarah bukan karena yang bersangkutan ahli di bidang itu, melainkan karena kesenangannya membaca literatur sejarah.

Kesenangan melahirkan gairah. Lalu gairah mengilhami “fiksi” yang menjadi penggerak untuk menghasilkan tulisan. Sejarawan tipe ini cenderung tidak peduli dengan kritik orang mengenai kualitas tulisan yang dibuat.

Faktor kesenangan dan hobi menyebabkan mereka berupaya menyampaikan data dan fakta sejarah ke dalam bahasa versi “mereka”. Intinya, sejarawan populis berharap literatur sejarah yang dihasilkan itu “siap telan”, dan merekalah yang menjadi “tukang kunyah”.

Meskipun terlihat emansipatif, sejarawan populis berpotensi melakukan dua kesalahan fundamental. Pertama, oleh sebab sikap naif dan pseudo terhadap metodologi sejarah (karena tidak memperoleh Pendidikan akademis sejarah), tulisan yang dihasilkan bisa jadi mengandung kekacauan kronologisasi dan periodisasi.

Akibatnya, dimensi waktu di dalam tulisan itu agak keliru. Kedua, karena kurangnya pemahaman tentang kritik sumber, kadang-kadang gagal melakukan labeling terhadap apa yang disebut data primer dan data sekunder. Ini tentu saja berbahaya dan bisa menjerumuskan pembaca ke dalam “pseudo science”. 

Tipe kedua adalah sejarawan akademik. Menurut Prof Gde Widja, sejarawan akademik itu sombong dan angkuh. Sombong karena mereka merasa paling legitimate menuliskan “hitam putih” sejarah.

Angkuh karena kecenderungan sikap “elitis”. Bahkan, Kuntowijoyo di dalam bukunya “Budaya dan Masyarakat” yang terbit tahun 2019 menyebut sikap elitis sejarawan dipengaruhi oleh lingkungan kampus yang terbirokratisasi.

Sikap elitis segera bergeser menjadi feodalis. Pak Kunto menyebutnya “akademisi menara gading”. Maksudnya, akademisi yang tidak membumi atau akademisi yang jumawa dengan kemampuan kecerdasan akademik sehingga berpotensi besar tergelincir untuk melakukan “kanonisasi sejarah”.

Akibatnya, sejarah menjadi “Sejarah”. Ia menjadi tunggal dan tidak mampu menghadirkan pemikiran yang emansipatif dan demokratis.

Kuntowijoyo | Sumber: Goodreads

Jika berlandaskan pada karangan Prof. Gde Widja tersebut, maka Pak Gi bisa digolongkan sebagai sejarawan populis yang menghasilkan literatur sejarah bukan atas dasar keilmuan, melainkan karena dorongan cinta.

Dalam sebuah kesempatan, masalah ini pernah saya tanyakan kepada Pak Gi. Bahwa ada kekeliruan metodologis yang serius yang akan terjadi sehingga bisa membahayakan pembaca jika literatur sejarah ditulis bukan oleh ahli sejarah atau sejarawan akademik. Perdebatan antara sejarawan akademik vs sejarawan populis itu pernah saya saksikan di tahun 2012 dan tahun 2017.

Pada tahun 2012, misalnya, saya membaca perdebatan intelektual antara sejarawan akademis Bulak Sumur FIB UGM, Bambang Purwanto, dengan sejarawan populis Asvi Warman Adam. Perdebatan itu membedah diksi mana yang lebih tepat untuk menguraikan sejarah Indonesia pasca Suharto.

Pada tahun 2002, Asvi Warman Adam yang saat itu sudah berkarir di LIPI dan dianggap pioner historiografi 65 pasca Soeharto, memilih diksi “meluruskan sejarah” untuk mengklarifikasi 32 tahun historiografi otoritarianisme Orde Baru, khususnya yang berbicara tentang periode  September 1965.

Dua tahun berselang, Bambang Purwanto mengkritik diksi itu melalui pidato pengukuhan guru besarnya berjudul “Gagalnya Historiografi Indonesiasentris?”. Menurutnya, sejarah itu tidak akan pernah lurus, sejarah itu berkelok-kelok.

Jadi, “meluruskan sejarah” adalah diksi yang kurang tepat dan sia-sia. Di sisi lain, upaya yang dipelopori Asvi untuk menghadirkan historiografi 1965 justru berpotensi menjadi canon baru yang dapat menghambat keberagaman sejarah.

Asvi Warman Adam | Sumber : Totabuan

Lebih lanjut, Bambang Purwanto menyebutkan bahwa analisis Asvi masih terjebak pada oposisi biner. Sejarah versi 1965 yang dibuatnya tidak menyejukkan dan mendamaikan, justru memperuncing permusuhan, meniadakan rekonsiliasi antara siapa yang disebut pelaku dan siapa yang disebut korban.

Kritik Bambang terhadap Asvi dikuatkan dengan disertasi yang ditulis oleh Budiawan di National University of Singapore (NUS) tahun 2004 berjudul “Mematahkan Pewarisan Ingatan: Wacana Anti Komunis dan Politik Rekonsiliasi Pasca Soeharto”.

Temuan disertasi itu mengungkap alasan mengapa rekonsiliasi tragedi 1965 selalu mengalami kegagalan selain karena kuatnya wacana ingatan politik Orde Baru terhadap komunisme, juga karena terjebaknya akademisi, dalam hal ini sejarawan pada pola penulisan sejarah yang bersifat oposisi biner. Akibatnya, bukan historiografi emansipatif yang diharapkan hadir, melainkan canon sejarah baru yang lebih banyak memendar bara daripada cahaya.[T]

Soegianto Sastrodiwiryo, Dokter yang Sejarawan Itu Berpulang
Tags: baliobituaripendidikan sejarahsejarahtokoh
Previous Post

Lomba Muspus Bulan Bahasa Bali VI: Dari Pendatang Baru, sampai Model Garapan Baru

Next Post

Manfaatkan AI untuk Ciptakan Lingkungan Kaya Teks

Putu Hendra Mas Martayana

Putu Hendra Mas Martayana

Lahir di Gilimanuk, 14 Agustus 1989, tinggal di Gerokgak, Buleleng. Bisa ditemui di akun Facebook dan IG dengan nama Marx Tjes

Next Post
Manfaatkan AI untuk Ciptakan Lingkungan Kaya Teks

Manfaatkan AI untuk Ciptakan Lingkungan Kaya Teks

Please login to join discussion

ADVERTISEMENT

POPULER

  • “Muruk” dan “Nutur”, Belajar dan Diskusi ala Anak Muda Desa Munduk-Buleleng

    “Muruk” dan “Nutur”, Belajar dan Diskusi ala Anak Muda Desa Munduk-Buleleng

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Apakah Menulis Masih Relevan di Era Kecerdasan Buatan?

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Hari Lahir dan Pantangan Makanannya dalam Lontar Pawetuan Jadma Ala Ayu

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Sang Hyang Eta-Eto: Memahami Kalender Hindu Bali & Baik-Buruk Hari dengan Rumusan ‘Lanus’

    23 shares
    Share 23 Tweet 0
  • Film “Mungkin Kita Perlu Waktu” Tayang 15 Mei 2025 di Bioskop

    0 shares
    Share 0 Tweet 0

KRITIK & OPINI

  • All
  • Kritik & Opini
  • Esai
  • Opini
  • Ulas Buku
  • Ulas Film
  • Ulas Rupa
  • Ulas Pentas
  • Kritik Sastra
  • Kritik Seni
  • Bahasa
  • Ulas Musik

Membunyikan Luka, Menghidupkan Diri : Catatan Pameran “Gering Agung” Putu Wirantawan

by Emi Suy
May 29, 2025
0
Membunyikan Luka, Menghidupkan Diri : Catatan Pameran “Gering Agung” Putu Wirantawan

DI masa pandemi, ketika manusia menghadapi kenyataan isolasi yang menggigit dan sakit yang tak hanya fisik tapi juga psikis, banyak...

Read more

Uji Coba Vaksin, Kontroversi Agenda Depopulasi versus Kultur Egoistik Masyarakat

by Putu Arya Nugraha
May 29, 2025
0
Kecerdasan Buatan dan Masa Depan Profesi Dokter

KETIKA di daerah kita seseorang telah digigit anjing, apalagi anjing tersebut anjing liar, hal yang paling ditakutkan olehnya dan keluarganya...

Read more

Sunyi yang Melawan dan Hal-hal yang Kita Bayangkan tentang Hidup : Film “All We Imagine as Light”

by Bayu Wira Handyan
May 28, 2025
0
Sunyi yang Melawan dan Hal-hal yang Kita Bayangkan tentang Hidup : Film “All We Imagine as Light”

DI kota-kota besar, suara-suara yang keras justru sering kali menutupi yang penting. Mesin-mesin bekerja, kendaraan berseliweran, klakson bersahutan, layar-layar menyala...

Read more
Selengkapnya

BERITA

  • All
  • Berita
  • Ekonomi
  • Pariwisata
  • Pemerintahan
  • Budaya
  • Hiburan
  • Politik
  • Hukum
  • Kesehatan
  • Olahraga
  • Pendidikan
  • Pertanian
  • Lingkungan
  • Liputan Khusus
Perpres 61 Tahun 2025 Keluar, STAHN Mpu Kuturan Sah Naik Status jadi Institut

Perpres 61 Tahun 2025 Keluar, STAHN Mpu Kuturan Sah Naik Status jadi Institut

May 29, 2025
 Haul Buya Syafii Maarif : Kelas Reading Buya Syafii Gelar Malam Puisi dan Diskusi Publik

Haul Buya Syafii Maarif : Kelas Reading Buya Syafii Gelar Malam Puisi dan Diskusi Publik

May 27, 2025
911—Nomor Cantik, Semoga Nomor Keberuntungan Buleleng di Porprov Bali 2025

911—Nomor Cantik, Semoga Nomor Keberuntungan Buleleng di Porprov Bali 2025

May 21, 2025
Inilah Daftar Panjang Kusala Sastra Khatulistiwa 2025

Inilah Daftar Panjang Kusala Sastra Khatulistiwa 2025

May 17, 2025
Meningkat, Antusiasme Warga Muslim Bali Membuka Tabungan Haji di BSI Kantor Cabang Buleleng

Meningkat, Antusiasme Warga Muslim Bali Membuka Tabungan Haji di BSI Kantor Cabang Buleleng

May 16, 2025
Selengkapnya

FEATURE

  • All
  • Feature
  • Khas
  • Tualang
  • Persona
  • Historia
  • Milenial
  • Kuliner
  • Pop
  • Gaya
  • Pameran
  • Panggung
ft. moreNarra di Acara “ASMARALOKA”—Album Launch Showcase dari Arkana: “Ya, Biarkan”
Panggung

ft. moreNarra di Acara “ASMARALOKA”—Album Launch Showcase dari Arkana: “Ya, Biarkan”

MENYOAL asmara atau soal kehidupan. Ada banyak manusia tidak tertolong jiwanya-sakit akibat berharap pada sesuatu berujung kekecewaan. Tentu. Tidak sedikit...

by Sonhaji Abdullah
May 29, 2025
Sulaman Sejarah dan Alam dalam Peed Aya Duta Buleleng untuk PKB 2025
Panggung

Sulaman Sejarah dan Alam dalam Peed Aya Duta Buleleng untuk PKB 2025

LANGIT Singaraja masih menitikkan gerimis, Selasa 27 Mei 2025, ketika seniman-seniman muda itu mempersiapkan garapan seni untuk ditampilkan pada pembukaan...

by Komang Puja Savitri
May 28, 2025
Memperingati Seratus Tahun Walter Spies dengan Pameran ROOTS di ARMA Museum Ubud
Pameran

Memperingati Seratus Tahun Walter Spies dengan Pameran ROOTS di ARMA Museum Ubud

SERATUS tahun yang lalu, pelukis Jerman kelahiran Moskow, Walter Spies, mengunjungi Bali untuk pertama kalinya. Tak lama kemudian, Bali menjadi...

by Nyoman Budarsana
May 27, 2025
Selengkapnya

FIKSI

  • All
  • Fiksi
  • Cerpen
  • Puisi
  • Dongeng
Kampusku Sarang Hantu [1]: Ruang Kuliah 13 yang Mencekam

Kampusku Sarang Hantu [17]: Wanita Tua dari Jalur Kereta

May 29, 2025
Menunggu Istri | Cerpen IBW Widiasa Keniten

Menunggu Istri | Cerpen IBW Widiasa Keniten

May 25, 2025
Kampusku Sarang Hantu [1]: Ruang Kuliah 13 yang Mencekam

Kampusku Sarang Hantu [16]: Genderuwo di Pohon Besar Kampus

May 22, 2025
Puisi-puisi Sonhaji Abdullah | Adiós

Puisi-puisi Sonhaji Abdullah | Adiós

May 17, 2025
Kampusku Sarang Hantu [1]: Ruang Kuliah 13 yang Mencekam

Kampusku Sarang Hantu [15]: Memeluk Mayat di Kamar Jenazah

May 15, 2025
Selengkapnya

LIPUTAN KHUSUS

  • All
  • Liputan Khusus
Kontak Sosial Singaraja-Lombok: Dari Perdagangan, Perkawinan hingga Pendidikan
Liputan Khusus

Kontak Sosial Singaraja-Lombok: Dari Perdagangan, Perkawinan hingga Pendidikan

SEBAGAIMANA Banyuwangi di Pulau Jawa, secara geografis, letak Pulau Lombok juga cukup dekat dengan Pulau Bali, sehingga memungkinkan penduduk kedua...

by Jaswanto
February 28, 2025
Kisah Pilu Sekaa Gong Wanita Baturiti-Kerambitan: Jawara Tabanan Tapi Jatah PKB Digugurkan
Liputan Khusus

Kisah Pilu Sekaa Gong Wanita Baturiti-Kerambitan: Jawara Tabanan Tapi Jatah PKB Digugurkan

SUNGGUH kasihan. Sekelompok remaja putri dari Desa Baturiti, Kecamatan Kerambitan, Tabanan—yang tergabung dalam  Sekaa Gong Kebyar Wanita Tri Yowana Sandhi—harus...

by Made Adnyana Ole
February 13, 2025
Relasi Buleleng-Banyuwangi: Tak Putus-putus, Dulu, Kini, dan Nanti
Liputan Khusus

Relasi Buleleng-Banyuwangi: Tak Putus-putus, Dulu, Kini, dan Nanti

BULELENG-BANYUWANGI, sebagaimana umum diketahui, memiliki hubungan yang dekat-erat meski sepertinya lebih banyak terjadi secara alami, begitu saja, dinamis, tak tertulis,...

by Jaswanto
February 10, 2025
Selengkapnya

ENGLISH COLUMN

  • All
  • Essay
  • Fiction
  • Poetry
  • Features
Poems by Dian Purnama Dewi | On The Day When I Was Born

Poems by Dian Purnama Dewi | On The Day When I Was Born

March 8, 2025
Poem by Kadek Sonia Piscayanti | A Cursed Poet

Poem by Kadek Sonia Piscayanti | A Cursed Poet

November 30, 2024
The Singaraja Literary Festival wakes Bali up with a roar

The Singaraja Literary Festival wakes Bali up with a roar

September 10, 2024
The Strength of Women – Inspiring Encounters in Indonesia

The Strength of Women – Inspiring Encounters in Indonesia

July 21, 2024
Bali, the Island of the Gods

Bali, the Island of the Gods

May 19, 2024

TATKALA.CO adalah media umum yang dengan segala upaya memberi perhatian lebih besar kepada seni, budaya, dan kreativitas manusia dalam mengelola kehidupan di tengah-tengah alam yang begitu raya

  • Penulis
  • Tentang & Redaksi
  • Kirim Naskah
  • Pedoman Media Siber
  • Kebijakan Privasi
  • Desclaimer

Copyright © 2016-2024, tatkala.co

Welcome Back!

Login to your account below

Forgotten Password?

Retrieve your password

Please enter your username or email address to reset your password.

Log In
No Result
View All Result
  • Beranda
  • Feature
    • Khas
    • Tualang
    • Persona
    • Historia
    • Milenial
    • Kuliner
    • Pop
    • Gaya
    • Pameran
    • Panggung
  • Berita
    • Ekonomi
    • Pariwisata
    • Pemerintahan
    • Budaya
    • Hiburan
    • Politik
    • Hukum
    • Kesehatan
    • Olahraga
    • Pendidikan
    • Pertanian
    • Lingkungan
    • Liputan Khusus
  • Kritik & Opini
    • Esai
    • Opini
    • Ulas Buku
    • Ulas Film
    • Ulas Rupa
    • Ulas Pentas
    • Kritik Sastra
    • Kritik Seni
    • Bahasa
    • Ulas Musik
  • Fiksi
    • Cerpen
    • Puisi
    • Dongeng
  • English Column
    • Essay
    • Fiction
    • Poetry
    • Features
  • Penulis

Copyright © 2016-2024, tatkala.co