INI cerita tentang seorang seniman ukir pasir hitam dari Desa Sudaji, Kecamatan Sawan, Buleleng, tepatnya di Banjar Ceblong.
Desa Sudaji adalah sebuah desa wisata yang sedang berkembang. Desa Sudaji ditetapkan sebagai desa wisata berdasarkan Keputusan Bupati Buleleng Nomor 430/405/HK/2017, tentang desa wisata Kabupaten Buleleng dan telah mendapatkan prioritas pengembangan dari pihak Kementerian Pariwisata Indonesia
Seniman ukir itu adalah Made Budayasa. Ia laki laki berusia 30 tahun ini adalah seorang seniman ukir pasir hitam yang sudah menekuni seni ukir pasir hitam sejak tamat sekolah dasar. Setamat SD ia mulai belajar mengukir bersama pamannya, Ketut Susana.
Proses belajarnya terjun langsung dalam pekerjaan mengukir.Pertama-tama ia menjadi pengayah saat ikut bersama pamannya menggarap ukiran sanggah (tempat suci keluarga) di Kabupaten Gianyar. Pengayah adalah orang yang melayani si pengukir, misalnya membawakan adonan pasir. Dari pengayah ia kemudian jadi seniman ukir atau pengukir.
Tapi jangan dikira ia bisa langsung begitu saja, dari status pengayah menjadi seniman atau tukang ukir. Prosesnya lama, perlahan dan tentu saja tidak gampang.
Bagian-bagian sanggah dengan ukiran pasir hitam siap dikirim ke pemesan | Foto: Dedy
Made Budayasa mengatakan, selama ikut bersama pamannya ia tak bisa dengan mudah langsung bisa belajar. Sebab kedisiplinan pamannya pada waktu bekerja itu cukup keras. Kalau jadi pengayah, harus disiplin pada waktu agar pekerjaan tidak molor. Sehingga ia tak sempat mengambil pengutik (alat untuk mengukir) saat sedang bekerja.
Ia kemudian memilik ide untuk belajar setelah jam kerja selesai sekitar jam 5 sore. Setelah beres-beres dan ketika teman teman serta pamannya pergi istirahat, ia tidak langsung ikut istirahat. Ia justru bergegas untuk membuat coran (adonan pasir dan semen) untuk dipakai belajar membuat ukiran. Ia melakukanya kadang sampai malam.
Akhirnya, setelah tiga tahun ikut pamannya sambil juga belajar mengukir di sela sela jam istirahat, usaha kerasnya membuahkan hasil. Ia pun diakui sebagai tukang ukir, bukan lagi sebagai pengayah, sebab ia sudah mampu mengerjakan berbagai macam ukiran.
Akhir tahun 2013 ia pun memberanikan diri untuk membuka usaha sendiri. Ia mengontrak sebidang tanah di Desa Baktiseraga di wilayah dekat Kota Singaraja, untuk dijadikan tempat menjual sanggah ukiran pasir hitam. Tempat itu juga sekaligus dijadikan tempat untuk mencetak berbagai bentuk yang menjadi bagian-bagian untuk sanggah.
Setelah 7 tahun di Desa Baktiseraga ia kemudian pindah, karena oleh pemiliknya tempat itu dijadikan ruko. Akhirnya tahun 2019 ia pindah ke Desa Anturan di pinggir Jalan Raya Singaraja-Lovina, tepatnya di pertigaan menuju Pantai Celuk Agung.
Sudaji, Desa Seniman Ukir Pasir Hitam
Ada hal yang menarik perhatian ketika berbincang cukup lama dengan Made Budayasa. Ternyata, penjual-penjual sanggah cetakan yang sering dijumpai di tepi-tepi jalan raya di Buleleng atau di tempat lain di Bali, kebanyakan berasal dari Desa Sudaji.
Proses pengukiran dengan pasir hitam dan hasilnya | Foto: Dedy
Menurut Budayasa, di sepanjang jalan di Buleleng dari timur hingga barat, dari daerah Penarukan sampai Lovina, bahkan sampi terus ke barat, para penjual sanggah ukir pasir hitam itu 90 persen berasal dari Desa Sudaji. Bahkan dua saudara kandung Budayasa juga menjadi penjual sanggah di sekitaran Anturan. Juga paman serta sepupunya, serta kerabat kerabatnya dari Desa Sudaji menjual sanggah ukiran pasir hitam juga di daerah lain di Bali, bahkan ada yang di Gianyar.
Jika dihitung, kira-kira berapa warga Desa Sudaji menjadi seniman ukir pasir hitam?
Made Budayasa mengatakan ada sekitar 200 orang. Walau tidak semuanya adalah tukang ukir pasir hitam, karena ada juga yang menjadi pengayah. Ada juga sebagai tukang ukir kayu dan ada juga yang sebagai tukang pasang duk (ijuk) untuk atap sanggah, atap meru, atap piasan dan bangunan suci lain.
Sebagaimana dituturkan Made Budayasa, ukiran pasir hitam di Desa Sudaji pertama kali diperkenalkan oleh seniman ukir pasir hitam yang sudah seniaor yang bernama Pak Toko.
Kini di Desa Sudaji sudah ada kelompok perajin sanggah dan beberapa orang telah bergabung di klompok itu. Namun Budayasa sendiri mengaku belum bisa bergabung sebab ia masih ingin bekerja sendiri.
“Mungkin lain kali saya bergabung,” katanya.
Selama menjadi pengukir sekaligus penjual sanggah ukir pasir hitam di Singaraja, Budayasa memiliki pelangganya dari banyak tempat. Ada dari seputaran Buleleng, bahkan ada dari Gerokgak, juga Tabanan, Pupuan dan Nusa Dua.
Proses pengerjaan ukiran pasir hitam | Foto: Dedy
Apa ada ciri khas tertentu tentang ukiran dari Desa Sudaji atau sama saja dengan ukiran-ukiran dari desa lain?
Secara umum menurut Budayasa, jenis ukiranya sama saja, namun ada beberapa hal yang membedakan, seperti lelengisan. Orang-orang menyebut lelengisan sudaji itu beda dengan lelengisan dari pengukir desa lain. “Kalau orang-orang yang sudah paham tentang ukiran pasir hitam, akan dengan sangat mudah mengenali lelengisan sudaji,” kata Made Budayasa.
Budayasa mejelaskan sambil menunjukan beberapa contoh dari ukiran lelengisan sudaji yang katanya dapat dibedakan dari corak-corak pada kupakan kupakan ukirannya.
Dalam bekerja, Made Budayasa mengajak empat orang tukang dan empat orang pengayah. Mereka semua bukan hanya dari Desa Sudaji saja, ada juga dari Desa Padangbulia dan Desa Anturan. Ada juga dari Desa Selat Gambuh. Jadi, totalnya tim kerja Budayasa sebanyak delapan orang. Untuk ukiran kayu, Budayasa bekerja sama dengan temannya dari Desa Jinengdalem dan dari Desa Sudaji.
Salah satu bentuk ukiran pasir hitam pada bagian sanggah (pelinggih) di Bali | Foto: Dedy
Apa saja kendalanya dalam menjalakan bisnis menjual sanggah ukir pasir hitam?
Sambil tertawa Made Budayasa mengatakan kendala terbesarnya adalah faktor dewasa (hari dan waktu yang dianggap mempunyai pengaruh baik ataupun buruknya hari di Bali). Pada saat hari-hari menjelang buncal balung atau nguncal balung, sudah dapat dipastikan orang-orang tidak akan ada yang memebeli sanggah sebab pada hari-hari itu dianggap kurang bagus untuk melaksanakn upacara keagamaan seperti melaspas (upacara peresmian bangunan).
Untuk masalah harga, apakah ada kesepakatan antar sesama penjual sanggah khususnya dengan penjual dari Desa Sudaji?
Untuk masalah harga, kata Made Budayasa, meski tidak ada kesepakatan resmi. Semua harga sama, di manapun tempat penjualnya, untuk harga tetap sama. Paling-paling, jika ada harga yang berbeda, itu biasanya disebabkan oleh permintaan khusus dari pemesan, misalnya minta kualitas lebih bagus atau minta ukiran tertentu yang tingkat kesulitannya lebih besar dan waktu pengerjaannya lebih lama.
Lalu, harapan ke depan terkait ukiran pasir hitam ini apa? “Semoga tidak lagi terjadi pandemi covid lagi,” kata Budayasasambil tertawa yang juga sebagai pengakhir perbincangan kami sore itu di gudangnya di Desa Anturan. [T]
Reporter: Gede Dedy Arya Sandy
Penulis: Gede Dedy Arya Sandy
Editor: Adnyana Ole