Pengantar:
Pada Kamis, 18 Januari 2024 ada diskusi yang diselenggarakan oleh Forum Suluh Tulis dari STAHN Mpu Kuturan Singaraja di Umah Praja Singaraja. Diskusi itu mengetengahkan tajuk Gamelan Bukan Musik. Ada dua pembicara dalam diskusi itu, yakni etnomusikolog asal Kalimantan Barat, Gigih Alfajar Novra Wulanda dan Kadek Anggara Rismandika, seniman sekaligus dosen STAHN Mpu Kuturan. Putu Ardiyasa, yang juga seorang dosen di STAHN Mpu Kuturancumdalang, menjadi pemantik sekaligus moderator dalam diskusi itu.
Tema diskusi sekaligus pemikiran-pemikiran yang muncul dalam diskusi itu tampaknya menarik perhatian kalangan seniman dan intelektual seni (khususnya di Bali) sehingga menimbulkan semacam polemik di media sosial atau grup WA. Agar polemik tidak berlangsung liar dan tanpa arah, tatkala.co membuka semacam forum diskusi dan adu pemikiran melalui penulisan esai berkaitan dengan tema diskusi “Gamelan Bukan Musik”.
Polemik ini murni sebagai ajang untuk menyebarkan pemikiran positif dari seniman dan intelektual, dari klangan akademis maupun non akademis, demi berkembangnya iklim berpikir dan berpendapat yang baik di bidang seni, sekaligus untuk kemajuan seni itu sendiri, dalam hal ini seni gamelan di Bali.
Esai pertama datang dari I Ketut Pany Ryandhi, seorang seniman gamelan sekaligus penulis seni yang tinggal di Singaraja.
***
BEBERAPA hari lalu, saya tergelitik membaca sebuah flyer yang menampilkan tiga sosok di dalamnya. Dua di antara mereka adalah teman saya, sementara yang satunya adalah seorang etnomusikolog yang ketika diskusi berlangsung, telah melakukan kunjungan kedua di Bali. Yang menggelitik dari pampflet itu bukan pose foto ketiga pembicara, tapi sebuah tulisan tengah atas dengan tajuk Gamelan Bukan Musik.
Mengidentifikasi mana yang musik dan mana yang bukan musik bukan perkara sederhana. Mengatakan bahwa sesuatu adalah bukan musik sementara yang lainnya adalah musik, secara implisit akan menunjukkan kepada kita bahwa batasan-batasan mengenainya telah terbentuk dengan pendekatan yang – mudah-mudahan – tidak begitu normatif. Musik sendiri adalah sebuah konsep yang abstrak. Beberapa ahli dari berbagai lintas disiplin ilmu telah mengupayakan berbagai pendekatan untuk memahaminya secara lebih definitif. Begitu sebuah definisi tentang musik berhasil dirumuskan, definisi yang lain segera muncul. Setiap zaman barangkali memang membawa definisinya sendiri.
Saat ini, kita terlalu asyik mendemarkasi tentang mana yang musik dan bukan musik. Sementara itu, tanpa disadari ruang perseptual kita semakin terbatas olehnya. Bukannya hal ini (batasan-batasan) menjadi tidak penting. Sebuah bingkai pada kenyataannya memang diperlukan untuk tidak sekadar membuat garis pemisah antara mana yang musikal dan non-musikal, mana yang musik dan mana yang hanya sekadar bunyi, tetapi lebih dari itu, pemaknaan terhadap substansi dan esensi musik lebih memerlukan intensifikasi.
Benar kata sementara orang bahwa bunyi adalah substansi dari sebuah musik sebagaimana gerak dalam konstruksi tari. Bunyi selalu tersedia kapan dan dimana saja. Sekarang tinggal mengumpulkan kemaunan untuk mempersepsinya sebagai musik. Kalau hanya sekadar bunyi, seekor simpanse yang sedang birahi pun bisa memproduksi bunyi. Simpanse tidak mempunyai kemampuan mencipta musik sebagaimana manusia menciptakan sebuah substansi dari ketiadaan, dalam hal ini musik. Akan tetapi bunyi-bunyi simpanse, yang oleh kemampuan manusia – dalam hal ini mencipta musik – sangat potensial untuk diolah menjadi musik. Namun hanya sedikit dari bunyi-bunyian ini yang berakhir sebagai musik dan dibiarkan begitu saja sebagai bunyi yang apa adanya. Beberapa penjelasan ini tak lebih dari sebuah analogi, tentu sangat bisa dikelirukan oleh siapa saja.
Di Bali (khususnya di Buleleng), kata gamelandigunakan secara bergantian untuk menunjukkan dua substansi yang berbeda. Pengertian pertama, gamelansecara superfisial dipahami sebagai objek fisik (alat/instrumen) untuk mereproduksi bunyi. Pengertian kedua, kata gamelanadalah padanan kata dari apa yang kita anggap sebagai musik. Di Buleleng (dan mungkin beberapa wilayah lainnya di Bali), para tetua sering kali berujar, “Nah pesuang malu gamelan Truna Jaya ne”. Sejauh yang dimaksud, kata gamelanadalah istilah lain yang digunakan untuk menyebut musik itu sendiri; yakni sebuah konsep abstrak yang dapat didengar[kan] kenyataan bunyinya, dan secara lebih spesifik merujuk pada sebuah substansi yang kemudian disebut sebagai musik untuk tari Truna Jaya.
Gigih Alfajar (18 Januari 2024) mengatakan bahwa, “gamelan bukan musik”. Initak lebih dari semacam konklusi prematur yang – bukanya tidak mungkin – disimpulkan secara parsial. Sayangnya saat ini Gigih baru dua kali datang ke Bali, semenjak kunjungan terakhirnya tiga belas tahun lalu, sebuah kunjungan yang terlalu singkat untuk sebuah kesimpulan yang terkesan menjustifikasi. Sementara itu, disaat yang bersamaan Gigih juga mengatakan bahwa, “gamelan itu beyond dari musik”. Ini dua hal kontradiktif [!]. Mengatakan bahwa gamelanmelampaui batas musik, sama artinya dengan memperlihatkan adanya stratifikasi bahwa sebelumnya – bisa jadi: (1) gamelanitubukan musik, (2) gamelanitu adalah musik, dan (3) gamelanitu beyond dari musik. Lebih lanjut ia menegaskan bahwa gamelan telah melampaui level musik sebab tidak terlepas dari nilai, makna, filosofis, dan jalan manusia untuk mendekatkan diri kepada Tuhan.
Istilah musik sendiri – jika benar-benar ingin mengetahuinya – adalah istilah yang berasal dari Bahasa Yunani, musike. Musike berasal dari kata musemuse yang memiliki pengertian sembilan Dewi-Dewi Yunani di bawah Apolo yang melindungi seni dan ilmu pengetahuan.[1] Pada abad pertengahan, otoritas gereja di Eropa menghubungkan musik sebagai musicasacra, yakni musik suci, musik religi atau musik gereja dan menganggap bahwa hanya musik mereka yang pantas disebut sebagai musik. Dengan demikian, istilah musik secara etimologi pada dasarnya memang memiliki kecenderungan makna yang lekat dengan hal-hal transendental.
Di Bali, gamelantelah menjadi bagian integral dari kehidupan masyarakatnya (sosial-politik). Mulai dari lahir hingga meninggal; upacara tiga bulanan, pernikahan, pengabenan, gamelan telah menjadi bagian yang tak terpisahkan dari serangkaian prosesi upacara. Ini belum terhitung berapa banyak gamelantelah dipentaskan pada event-event atau festival kesenianlokal hingga internasional. Tidak hanya itu, eksistensi gamelanjuga tidak terlepas dari bidikan kaum politisi. Apalagi ketika mendekati tahun-tahun politik, banyak politisi mendadak tampil di ruang publik sebagai penabuh, penyanyidan penari; sebagai upaya untuk menunjukkan perhatian mereka terhadap dunia kesenian, kalau bukanya hanya sebatas menarik simpati (meskipun tanpa dibekali kemampuan yang memadai).
Selain itu, diskursus tentang karya baru untuk gamelanjuga telah dilakukan, meskipun keberadaannya masih tergolong dan dapat dihitung dengan jari tangan. Namun apa yang menjadi lebih penting dari itu adalah adanya semacam kesadaran baru serta usaha untuk tidak memaknai gamelan sebagai sekadar “barang mati”. “Harus ada bentuk musik serius yang melawan bahasa musik yang konvensional dan industrial, menyentak kesadaran palsu, melawan kedangkalan dan kemudahan musik-musik industri yang meninabobokan dan membius bagai candu [..]”, begitu kata Karina Andjani.
Kemapanan tradisi gamelan di Bali senyatanya telah terproteksi dan terpelihara oleh kesadaran kolektif masyarakat pendukungnya, melalui sistem sosial yang rigid dan terkadang sangat ketat. Komunitas-komunitas hirarkis seperti sekaa, sanggar, dan berbagai perkumpulan lainnya telah secara aktif ikut menjaga tradisi gamelanmelalui kegiatan pelatihan dan regenerasi. Siapa yang bisa menyangka bahwa saat ini (di Bali) banyak anak kecil (seumuran TK, SD, dan SMP) mampu memainkan gamelandengan kemampuan yang sepadan dengan kemampuan orang dewasa pada umunya? Dalam fenomena ini, tidakkah terdapat transmisi di dalamnya? Apakah fenomena ini jauh dari nilai edukatif? Ketertautan gamelan dengan berbagai aspek seperti religious, sosial, pendidikan dan lain sebagainya – tidak dapat disangkal lagi – telah membawanya sebagai substansi yang sarat nilai. Bermain gamelan mempersiapkan individu untuk dapat berpikir secara lateral (menyebar), meningkatkan aspek kepedulian terhadap satu sama lain, penghargaan terhadap waktu, kekompakan, sensibilitas, serta beberapa aspek lainnya.
Apakah gamelanhanya ditampilkan di tempat-tempat tertentu dalam waktu tertentu, sebagaimana pendapat Gigih yang mengatakan bahwa, “Jika gamelan hanya digunakan untuk kepentingan keagamaan saja, maka semakin banyak orang yang kesulitan mendengarkan suara gamelan, seperti dirinya. Ini menyesatkan. Saya harus menduga-duga apakah Gigih mengalami kesulitan mendengarkan gamelanBali karena memang tidak mengerti tentang gamelanBali? Atau tidak pernah mengakses YouTube hanya sekadar untuk mendengarkan betapa banyaknya pementasan gamelanyang diabadikan di dalamnya? Ini mungkin terlalu subjektif dan terkesan memiskinkan, terlebih, ketidaktahuan seseorang mengenai praktik musik dari budaya tertentu bukan tidak mungkin membuat mereka mendengar suatu musik sebagai bukan musik. Apa yang orang lain dengar sebagai musik, belum tentu didengarnya sebagai musik.
Mencoba untuk mengikuti alur pikiran saudara Gigih; pertama ia mengatakan bahwa orang lain, sebagaimana dirinya, akan mengalami kesulitan mendengar musik apabila hanya ditampilkan pada saat upacara keagamaan. Sementara itu, dalam kutub yang berbeda ia menyampaikan jika gamelan Bali dijadikan tontonan (kebutuhan pariwisata) bukankah akan mengalami desakralisasi? Betapa kedua pernyataan ini berbenturan satu sama lainnya. Distingsi atas sakral dan profan ini sebenarnya bukan masalah yang baru. Di Bali kedua aspek ini berjalan tanpa menyentuh satu sama lain. Dalam praktik, orang Bali mampu memproteksi budaya mereka dengan segera menarik batasan tentang bagaimana sesuatu menjadi sakral dan membedakannya secara terpisah dengan hiburan yang bersifat komersial.
Desakralisasi sederhananya merujuk pada proses; membuat sesuatu yang sakral menjadi tidak sakral. Pertunjukan barong di Batubulan memang diorientasikan sebagai tontonan untuk wisatawan, namun demikian apakah kita akan mengeneralisasi bahwa semua barong menjadi tidak sakral? Apakah topeng legong di Ketewel adalah barang yang sama dengan yang dijual di Pasar Seni Sukawati, dan oleh karenanya kita juga dengan mudah menyebutkan bahwa topeng legong di Ketewel sudah tidak sakral lagi? Istilah sakral mempunyai relevansi erat dengan konsepsi waktu secara spasial, hal ini terkait dengan konsep, perlakuan, kapan, dan dimana sebuah substansi ditujukan.
Apa saja yang berhak mendapatkan predikat sakral? Apakah ia merujuk pada entitas fisik? Atau metafisik? Mengatakan gamelanmengalami desakralisasi – jika mengikuti pendapat Gigih – berarti memahami gamelansebagai entitas fisik. Dengan demikian apakah musik dapat menjadi sakral dan tidak sakral? Bukankah persepsi yang sakral dan tidak sakral terbentuk berdasarkan konteks? Saya kira konteks dikonstruksi oleh kesadaran. Kesadaran, seperti halnya selera, tidak lepas dari konstruksi sosial, yaitu dibentuk dan diarahkan oleh pandangan masyarakat. Dengan menghadapkan orang Bali pada situasi baru karena harus menafsirkan budaya mereka di hadapan publik asing, kedatangan para wisatawan akan memaksa mereka untuk menarik garis batas antara apa yang menjadi milik agama dan apa yang berasal dari seni.
Bagaimanapun, kita telah mewarisi bahwa musik adalah istilah luar yang dipinjam untuk menunjukkan suatu substansi. Meskipun maknanya telah bergeser secara semantik, gamelan dengan berbagai latar belakang kebudayaan adalah musik itu sendiri. [T]
[1] Sependek ingatan, saya membaca ini dari buku Suka Hardjana. Hingga tulisan ini rampung saya benar-benar mengalami kesulitan dalam mengingat kepada siapa saya telah meminjamkan buku ini. Oleh karena itu, apabila terdapat kekeliruan, mohon diluruskan.