9 May 2025
  • Beranda
  • Feature
    • Khas
    • Tualang
    • Persona
    • Historia
    • Milenial
    • Kuliner
    • Pop
    • Gaya
    • Pameran
    • Panggung
  • Berita
    • Ekonomi
    • Pariwisata
    • Pemerintahan
    • Budaya
    • Hiburan
    • Politik
    • Hukum
    • Kesehatan
    • Olahraga
    • Pendidikan
    • Pertanian
    • Lingkungan
    • Liputan Khusus
  • Kritik & Opini
    • Esai
    • Opini
    • Ulas Buku
    • Ulas Film
    • Ulas Rupa
    • Ulas Pentas
    • Kritik Sastra
    • Kritik Seni
    • Bahasa
    • Ulas Musik
  • Fiksi
    • Cerpen
    • Puisi
    • Dongeng
  • English Column
    • Essay
    • Fiction
    • Poetry
    • Features
  • Penulis
No Result
View All Result
  • Beranda
  • Feature
    • Khas
    • Tualang
    • Persona
    • Historia
    • Milenial
    • Kuliner
    • Pop
    • Gaya
    • Pameran
    • Panggung
  • Berita
    • Ekonomi
    • Pariwisata
    • Pemerintahan
    • Budaya
    • Hiburan
    • Politik
    • Hukum
    • Kesehatan
    • Olahraga
    • Pendidikan
    • Pertanian
    • Lingkungan
    • Liputan Khusus
  • Kritik & Opini
    • Esai
    • Opini
    • Ulas Buku
    • Ulas Film
    • Ulas Rupa
    • Ulas Pentas
    • Kritik Sastra
    • Kritik Seni
    • Bahasa
    • Ulas Musik
  • Fiksi
    • Cerpen
    • Puisi
    • Dongeng
  • English Column
    • Essay
    • Fiction
    • Poetry
    • Features
  • Penulis
No Result
View All Result
tatkala.co
No Result
View All Result

Gamelan (Bukan) Musik

I Ketut Pany RyandhibyI Ketut Pany Ryandhi
January 24, 2024
inEsai
Gamelan (Bukan) Musik

Foto hanya ilustrasi: Gamelan selonding di Desa Adat Batur | Foto: Dokumentasi Tim NCS ISI Denpasar, Tahun 2023

Pengantar:

Pada Kamis, 18 Januari 2024 ada diskusi yang diselenggarakan oleh Forum Suluh Tulis dari STAHN Mpu Kuturan Singaraja di Umah Praja Singaraja. Diskusi itu mengetengahkan tajuk Gamelan Bukan Musik. Ada dua pembicara dalam diskusi itu, yakni etnomusikolog asal Kalimantan Barat, Gigih Alfajar Novra Wulanda dan Kadek Anggara Rismandika, seniman sekaligus dosen STAHN Mpu Kuturan. Putu Ardiyasa, yang juga seorang dosen di STAHN Mpu Kuturancumdalang, menjadi pemantik sekaligus moderator dalam diskusi itu.

Tema diskusi sekaligus pemikiran-pemikiran yang muncul dalam diskusi itu tampaknya menarik perhatian kalangan seniman dan intelektual seni (khususnya di Bali) sehingga menimbulkan semacam polemik di media sosial atau grup WA. Agar polemik tidak berlangsung liar dan tanpa arah, tatkala.co membuka semacam forum diskusi dan adu pemikiran melalui penulisan esai berkaitan dengan tema diskusi “Gamelan Bukan Musik”.

Polemik ini murni sebagai ajang untuk menyebarkan pemikiran positif dari seniman dan intelektual, dari klangan akademis maupun non akademis, demi berkembangnya iklim berpikir dan berpendapat yang baik di bidang seni, sekaligus untuk kemajuan seni itu sendiri, dalam hal ini seni gamelan di Bali.

Esai pertama datang dari I Ketut Pany Ryandhi, seorang seniman gamelan sekaligus penulis seni yang tinggal di Singaraja.

***

BEBERAPA hari lalu, saya tergelitik membaca sebuah flyer yang menampilkan tiga sosok di dalamnya. Dua di antara mereka adalah teman saya, sementara yang satunya adalah seorang etnomusikolog yang ketika diskusi berlangsung, telah melakukan kunjungan kedua di Bali. Yang menggelitik dari pampflet itu bukan pose foto ketiga pembicara, tapi sebuah tulisan tengah atas dengan tajuk Gamelan Bukan Musik.

Mengidentifikasi mana yang musik dan mana yang bukan musik bukan perkara sederhana. Mengatakan bahwa sesuatu adalah bukan musik sementara yang lainnya adalah musik, secara implisit akan menunjukkan kepada kita bahwa batasan-batasan mengenainya telah terbentuk dengan pendekatan yang – mudah-mudahan – tidak begitu normatif. Musik sendiri adalah sebuah konsep yang abstrak. Beberapa ahli dari berbagai lintas disiplin ilmu telah mengupayakan berbagai pendekatan untuk memahaminya secara lebih definitif. Begitu sebuah definisi tentang musik berhasil dirumuskan, definisi yang lain segera muncul. Setiap zaman barangkali memang membawa definisinya sendiri.

Saat ini, kita terlalu asyik mendemarkasi tentang mana yang musik dan bukan musik. Sementara itu, tanpa disadari ruang perseptual kita semakin terbatas olehnya. Bukannya hal ini (batasan-batasan) menjadi tidak penting. Sebuah bingkai pada kenyataannya memang diperlukan untuk tidak sekadar membuat garis pemisah antara mana yang musikal dan non-musikal, mana yang musik dan mana yang hanya sekadar bunyi, tetapi lebih dari itu, pemaknaan terhadap substansi dan esensi musik lebih memerlukan intensifikasi.

Benar kata sementara orang bahwa bunyi adalah substansi dari sebuah musik sebagaimana gerak dalam konstruksi tari. Bunyi selalu tersedia kapan dan dimana saja. Sekarang tinggal mengumpulkan kemaunan untuk mempersepsinya sebagai musik. Kalau hanya sekadar bunyi, seekor simpanse yang sedang birahi pun bisa memproduksi bunyi. Simpanse tidak mempunyai kemampuan mencipta musik sebagaimana manusia menciptakan sebuah substansi dari ketiadaan, dalam hal ini musik. Akan tetapi bunyi-bunyi simpanse, yang oleh kemampuan manusia – dalam hal ini mencipta musik – sangat potensial untuk diolah menjadi musik. Namun hanya sedikit dari bunyi-bunyian ini yang berakhir sebagai musik dan dibiarkan begitu saja sebagai bunyi yang apa adanya. Beberapa penjelasan ini tak lebih dari sebuah analogi, tentu sangat bisa dikelirukan oleh siapa saja.

Di Bali (khususnya di Buleleng), kata gamelandigunakan secara bergantian untuk menunjukkan dua substansi yang berbeda. Pengertian pertama, gamelansecara superfisial dipahami sebagai objek fisik (alat/instrumen) untuk mereproduksi bunyi. Pengertian kedua, kata gamelanadalah padanan kata dari apa yang kita anggap sebagai musik. Di Buleleng (dan mungkin beberapa wilayah lainnya di Bali), para tetua sering kali berujar, “Nah pesuang malu gamelan Truna Jaya ne”. Sejauh yang dimaksud, kata gamelanadalah istilah lain yang digunakan untuk menyebut musik itu sendiri; yakni sebuah konsep abstrak yang dapat didengar[kan] kenyataan bunyinya, dan secara lebih spesifik merujuk pada sebuah substansi yang kemudian disebut sebagai musik untuk tari Truna Jaya.

Gigih Alfajar (18 Januari 2024) mengatakan bahwa, “gamelan bukan musik”. Initak lebih dari semacam konklusi prematur yang – bukanya tidak mungkin – disimpulkan secara parsial. Sayangnya saat ini Gigih baru dua kali datang ke Bali, semenjak kunjungan terakhirnya tiga belas tahun lalu, sebuah kunjungan yang terlalu singkat untuk sebuah kesimpulan yang terkesan menjustifikasi. Sementara itu, disaat yang bersamaan Gigih juga mengatakan bahwa, “gamelan itu beyond dari musik”. Ini dua hal kontradiktif [!]. Mengatakan bahwa gamelanmelampaui batas musik, sama artinya dengan memperlihatkan adanya stratifikasi bahwa sebelumnya – bisa jadi: (1) gamelanitubukan musik, (2) gamelanitu adalah musik, dan (3) gamelanitu beyond dari musik. Lebih lanjut ia menegaskan bahwa gamelan telah melampaui level musik sebab tidak terlepas dari nilai, makna, filosofis, dan jalan manusia untuk mendekatkan diri kepada Tuhan.

Istilah musik sendiri – jika benar-benar ingin mengetahuinya – adalah istilah yang berasal dari Bahasa Yunani, musike. Musike berasal dari kata musemuse yang memiliki pengertian sembilan Dewi-Dewi Yunani di bawah Apolo yang melindungi seni dan ilmu pengetahuan.[1] Pada abad pertengahan, otoritas gereja di Eropa menghubungkan musik sebagai musicasacra, yakni musik suci, musik religi atau musik gereja dan menganggap bahwa hanya musik mereka yang pantas disebut sebagai musik. Dengan demikian, istilah musik secara etimologi pada dasarnya memang memiliki kecenderungan makna yang lekat dengan hal-hal transendental.

Di Bali, gamelantelah menjadi bagian integral dari kehidupan masyarakatnya (sosial-politik). Mulai dari lahir hingga meninggal; upacara tiga bulanan, pernikahan, pengabenan, gamelan telah menjadi bagian yang tak terpisahkan dari serangkaian prosesi upacara. Ini belum terhitung berapa banyak gamelantelah dipentaskan pada event-event atau festival kesenianlokal hingga internasional. Tidak hanya itu, eksistensi gamelanjuga tidak terlepas dari bidikan kaum politisi. Apalagi ketika mendekati tahun-tahun politik, banyak politisi mendadak tampil di ruang publik sebagai penabuh, penyanyidan penari; sebagai upaya untuk menunjukkan perhatian mereka terhadap dunia kesenian, kalau bukanya hanya sebatas menarik simpati (meskipun tanpa dibekali kemampuan yang memadai).

Selain itu, diskursus tentang karya baru untuk gamelanjuga telah dilakukan, meskipun keberadaannya masih tergolong dan dapat dihitung dengan jari tangan. Namun apa yang menjadi lebih penting dari itu adalah adanya semacam kesadaran baru serta usaha untuk tidak memaknai gamelan sebagai sekadar “barang mati”. “Harus ada bentuk musik serius yang melawan bahasa musik yang konvensional dan industrial, menyentak kesadaran palsu, melawan kedangkalan dan kemudahan musik-musik industri yang meninabobokan dan membius bagai candu [..]”, begitu kata Karina Andjani.

Kemapanan tradisi gamelan di Bali senyatanya telah terproteksi dan terpelihara oleh kesadaran kolektif masyarakat pendukungnya, melalui sistem sosial yang rigid dan terkadang sangat ketat. Komunitas-komunitas hirarkis seperti sekaa, sanggar, dan berbagai perkumpulan lainnya telah secara aktif ikut menjaga tradisi gamelanmelalui kegiatan pelatihan dan regenerasi. Siapa yang bisa menyangka bahwa saat ini (di Bali) banyak anak kecil (seumuran TK, SD, dan SMP) mampu memainkan gamelandengan kemampuan yang sepadan dengan kemampuan orang dewasa pada umunya? Dalam fenomena ini, tidakkah terdapat transmisi di dalamnya? Apakah fenomena ini jauh dari nilai edukatif? Ketertautan gamelan dengan berbagai aspek seperti religious, sosial, pendidikan dan lain sebagainya – tidak dapat disangkal lagi – telah membawanya sebagai substansi yang sarat nilai. Bermain gamelan mempersiapkan individu untuk dapat berpikir secara lateral (menyebar), meningkatkan aspek kepedulian terhadap satu sama lain, penghargaan terhadap waktu, kekompakan, sensibilitas, serta beberapa aspek lainnya.

Apakah gamelanhanya ditampilkan di tempat-tempat tertentu dalam waktu tertentu, sebagaimana pendapat Gigih yang mengatakan bahwa, “Jika gamelan hanya digunakan untuk kepentingan keagamaan saja, maka semakin banyak orang yang kesulitan mendengarkan suara gamelan, seperti dirinya. Ini menyesatkan. Saya harus menduga-duga apakah Gigih mengalami kesulitan mendengarkan gamelanBali karena memang tidak mengerti tentang gamelanBali? Atau tidak pernah mengakses YouTube hanya sekadar untuk mendengarkan betapa banyaknya pementasan gamelanyang diabadikan di dalamnya? Ini mungkin terlalu subjektif dan terkesan memiskinkan, terlebih, ketidaktahuan seseorang mengenai praktik musik dari budaya tertentu bukan tidak mungkin membuat mereka mendengar suatu musik sebagai bukan musik. Apa yang orang lain dengar sebagai musik, belum tentu didengarnya sebagai musik.

Mencoba untuk mengikuti alur pikiran saudara Gigih; pertama ia mengatakan bahwa orang lain, sebagaimana dirinya, akan mengalami kesulitan mendengar musik apabila hanya ditampilkan pada saat upacara keagamaan. Sementara itu, dalam kutub yang berbeda ia menyampaikan jika gamelan Bali dijadikan tontonan (kebutuhan pariwisata) bukankah akan mengalami desakralisasi? Betapa kedua pernyataan ini berbenturan satu sama lainnya. Distingsi atas sakral dan profan ini sebenarnya bukan masalah yang baru. Di Bali kedua aspek ini berjalan tanpa menyentuh satu sama lain. Dalam praktik, orang Bali mampu memproteksi budaya mereka dengan segera menarik batasan tentang bagaimana sesuatu menjadi sakral dan membedakannya secara terpisah dengan hiburan yang bersifat komersial.

Desakralisasi sederhananya merujuk pada proses; membuat sesuatu yang sakral menjadi tidak sakral. Pertunjukan barong di Batubulan memang diorientasikan sebagai tontonan untuk wisatawan, namun demikian apakah kita akan mengeneralisasi bahwa semua barong menjadi tidak sakral? Apakah topeng legong di Ketewel adalah barang yang sama dengan yang dijual di Pasar Seni Sukawati, dan oleh karenanya kita juga dengan mudah menyebutkan bahwa topeng legong di Ketewel sudah tidak sakral lagi? Istilah sakral mempunyai relevansi erat dengan konsepsi waktu secara spasial, hal ini terkait dengan konsep, perlakuan, kapan, dan dimana sebuah substansi ditujukan.

Apa saja yang berhak mendapatkan predikat sakral? Apakah ia merujuk pada entitas fisik? Atau metafisik? Mengatakan gamelanmengalami desakralisasi – jika mengikuti pendapat Gigih – berarti memahami gamelansebagai entitas fisik. Dengan demikian apakah musik dapat menjadi sakral dan tidak sakral? Bukankah persepsi yang sakral dan tidak sakral terbentuk berdasarkan konteks? Saya kira konteks dikonstruksi oleh kesadaran. Kesadaran, seperti halnya selera, tidak lepas dari konstruksi sosial, yaitu dibentuk dan diarahkan oleh pandangan masyarakat. Dengan menghadapkan orang Bali pada situasi baru karena harus menafsirkan budaya mereka di hadapan publik asing, kedatangan para wisatawan akan memaksa mereka untuk menarik garis batas antara apa yang menjadi milik agama dan apa yang berasal dari seni.

Bagaimanapun, kita telah mewarisi bahwa musik adalah istilah luar yang dipinjam untuk menunjukkan suatu substansi. Meskipun maknanya telah bergeser secara semantik, gamelan dengan berbagai latar belakang kebudayaan adalah musik itu sendiri. [T]


[1] Sependek ingatan, saya membaca ini dari buku Suka Hardjana. Hingga tulisan ini rampung saya benar-benar mengalami kesulitan dalam mengingat kepada siapa saya telah meminjamkan buku ini. Oleh karena itu, apabila terdapat kekeliruan, mohon diluruskan.

Forum Suluh Tulis: Dari Gamelan, Musik, sampai Kebudayaan yang Luntur
Tags: baligamelangamelan balikesenian balimusikmusik balipolemikpolemik seni bali
Previous Post

Rustic System dalam Perencanaan Wilayah

Next Post

Membaca Ekosistem Pertunjukan Wayang Kulit di Buleleng

I Ketut Pany Ryandhi

I Ketut Pany Ryandhi

Komposer, tinggal di Singaraja

Next Post
Membaca Ekosistem Pertunjukan Wayang Kulit di Buleleng

Membaca Ekosistem Pertunjukan Wayang Kulit di Buleleng

Please login to join discussion

ADVERTISEMENT

POPULER

  • Refleksi Semangat Juang Bung Tomo dan Kepemimpinan Masa Kini

    Apakah Menulis Masih Relevan di Era Kecerdasan Buatan?

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Tulak Tunggul Kembali ke Jantung Imajinasi

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Ulun Pangkung Menjadi Favorit: Penilaian Sensorik, Afektif, atau Intelektual?

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • ”Married by Accident” Bukan Pernikahan Manis Cinderella

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Duel Sengit Covid-19 vs COVID-19 – [Tentang Bahasa]

    11 shares
    Share 11 Tweet 0

KRITIK & OPINI

  • All
  • Kritik & Opini
  • Esai
  • Opini
  • Ulas Buku
  • Ulas Film
  • Ulas Rupa
  • Ulas Pentas
  • Kritik Sastra
  • Kritik Seni
  • Bahasa
  • Ulas Musik

Mendaki Bukit Tapak, Menemukan Makam Wali Pitu di Puncak

by Arix Wahyudhi Jana Putra
May 9, 2025
0
Mendaki Bukit Tapak, Menemukan Makam Wali Pitu di Puncak

GERIMIS pagi itu menyambut kami. Dari Kampus Undiksha Singaraja sebagai titik kumpul, saya dan sahabat saya, Prayoga, berangkat dengan semangat...

Read more

Kreativitas dan Imajinasi: Dua Modal Utama Seorang Seniman

by Pitrus Puspito
May 9, 2025
0
Kreativitas dan Imajinasi: Dua Modal Utama Seorang Seniman

DALAM sebuah seminar yang diadakan Komunitas Salihara (2013) yang bertema “Seni Sebagai Peristiwa” memberi saya pemahaman mengenai dunia seni secara...

Read more

Deepfake Porno, Pemerkosaan Simbolik, dan Kejatuhan Etika Digital Kita

by Petrus Imam Prawoto Jati
May 9, 2025
0
Refleksi Semangat Juang Bung Tomo dan Kepemimpinan Masa Kini

BEBERAPA hari ini, jagat digital Indonesia kembali gaduh. Bukan karena debat capres, bukan pula karena teori bumi datar kambuhan. Tapi...

Read more
Selengkapnya

BERITA

  • All
  • Berita
  • Ekonomi
  • Pariwisata
  • Pemerintahan
  • Budaya
  • Hiburan
  • Politik
  • Hukum
  • Kesehatan
  • Olahraga
  • Pendidikan
  • Pertanian
  • Lingkungan
  • Liputan Khusus
“Bali Stroke Care”: Golden Period, Membangun Sistem di Tengah Detik yang Maut

“Bali Stroke Care”: Golden Period, Membangun Sistem di Tengah Detik yang Maut

May 8, 2025
Mosphit Skena Segera Tiba, yang Ngaku-Ngaku Anak Skena Wajib Hadir!

Mosphit Skena Segera Tiba, yang Ngaku-Ngaku Anak Skena Wajib Hadir!

May 7, 2025
Bimo Seno dan Dolog Gelar Pertandingan Tenis Lapangan di Denpasar

Bimo Seno dan Dolog Gelar Pertandingan Tenis Lapangan di Denpasar

April 27, 2025
Kebersamaan di Desa Wanagiri dalam Aksi Sosial Multisektor Paras.IDN dalam PASSION Vol.2 Bali

Kebersamaan di Desa Wanagiri dalam Aksi Sosial Multisektor Paras.IDN dalam PASSION Vol.2 Bali

April 23, 2025
Menghidupkan Warisan Leluhur, I Gusti Anom Gumanti Pimpin Tradisi Ngelawar di Banjar Temacun Kuta

Menghidupkan Warisan Leluhur, I Gusti Anom Gumanti Pimpin Tradisi Ngelawar di Banjar Temacun Kuta

April 22, 2025
Selengkapnya

FEATURE

  • All
  • Feature
  • Khas
  • Tualang
  • Persona
  • Historia
  • Milenial
  • Kuliner
  • Pop
  • Gaya
  • Pameran
  • Panggung
“Jalan Suara”, Musikalisasi Puisi Yayasan Kesenian Sadewa Bali dan Komunitas Disabilitas Tunanetra
Panggung

“Jalan Suara”, Musikalisasi Puisi Yayasan Kesenian Sadewa Bali dan Komunitas Disabilitas Tunanetra

SEPERTI biasa, Heri Windi Anggara, pemusik yang selama ini tekun mengembangkan seni musikalisasi puisi atau musik puisi, tak pernah ragu...

by Nyoman Budarsana
May 6, 2025
Mengenang Perupa I Gusti Made Peredi dan Karya-karyanya yang Membingkai Zaman
Khas

Mengenang Perupa I Gusti Made Peredi dan Karya-karyanya yang Membingkai Zaman

TAK salah jika Pemerintah Kota Denpasar dan Pemerintah Provinsi Bali menganugerahkan penghargaan kepada Almarhum I Gusti Made Peredi, salah satu...

by Nyoman Budarsana
May 6, 2025
“Muruk” dan “Nutur”, Belajar dan Diskusi ala Anak Muda Desa Munduk-Buleleng
Khas

“Muruk” dan “Nutur”, Belajar dan Diskusi ala Anak Muda Desa Munduk-Buleleng

DULU, pada setiap Manis Galungan (sehari setelah Hari Raya Galungan) atau Manis Kuningan (sehari setelah Hari Raya Kuningan) identik dengan...

by Komang Yudistia
May 6, 2025
Selengkapnya

FIKSI

  • All
  • Fiksi
  • Cerpen
  • Puisi
  • Dongeng
Kampusku Sarang Hantu [1]: Ruang Kuliah 13 yang Mencekam

Kampusku Sarang Hantu [14]: Ayam Kampus Bersimbah Darah

May 8, 2025
Perempuan di Mata Mak Kaeh | Cerpen Khairul A. El Maliky

Perempuan di Mata Mak Kaeh | Cerpen Khairul A. El Maliky

May 4, 2025
Puisi-puisi Gimien Artekjursi | Tentang Harimau Jawa

Puisi-puisi Gimien Artekjursi | Tentang Harimau Jawa

May 4, 2025
Poleng | Cerpen Sri Romdhoni Warta Kuncoro

Poleng | Cerpen Sri Romdhoni Warta Kuncoro

May 3, 2025
Puisi-puisi Muhammad Rafi’ Hanif | Kenang-Kenangan Seorang Mahasiswa

Puisi-puisi Muhammad Rafi’ Hanif | Kenang-Kenangan Seorang Mahasiswa

May 3, 2025
Selengkapnya

LIPUTAN KHUSUS

  • All
  • Liputan Khusus
Kontak Sosial Singaraja-Lombok: Dari Perdagangan, Perkawinan hingga Pendidikan
Liputan Khusus

Kontak Sosial Singaraja-Lombok: Dari Perdagangan, Perkawinan hingga Pendidikan

SEBAGAIMANA Banyuwangi di Pulau Jawa, secara geografis, letak Pulau Lombok juga cukup dekat dengan Pulau Bali, sehingga memungkinkan penduduk kedua...

by Jaswanto
February 28, 2025
Kisah Pilu Sekaa Gong Wanita Baturiti-Kerambitan: Jawara Tabanan Tapi Jatah PKB Digugurkan
Liputan Khusus

Kisah Pilu Sekaa Gong Wanita Baturiti-Kerambitan: Jawara Tabanan Tapi Jatah PKB Digugurkan

SUNGGUH kasihan. Sekelompok remaja putri dari Desa Baturiti, Kecamatan Kerambitan, Tabanan—yang tergabung dalam  Sekaa Gong Kebyar Wanita Tri Yowana Sandhi—harus...

by Made Adnyana Ole
February 13, 2025
Relasi Buleleng-Banyuwangi: Tak Putus-putus, Dulu, Kini, dan Nanti
Liputan Khusus

Relasi Buleleng-Banyuwangi: Tak Putus-putus, Dulu, Kini, dan Nanti

BULELENG-BANYUWANGI, sebagaimana umum diketahui, memiliki hubungan yang dekat-erat meski sepertinya lebih banyak terjadi secara alami, begitu saja, dinamis, tak tertulis,...

by Jaswanto
February 10, 2025
Selengkapnya

ENGLISH COLUMN

  • All
  • Essay
  • Fiction
  • Poetry
  • Features
Poems by Dian Purnama Dewi | On The Day When I Was Born

Poems by Dian Purnama Dewi | On The Day When I Was Born

March 8, 2025
Poem by Kadek Sonia Piscayanti | A Cursed Poet

Poem by Kadek Sonia Piscayanti | A Cursed Poet

November 30, 2024
The Singaraja Literary Festival wakes Bali up with a roar

The Singaraja Literary Festival wakes Bali up with a roar

September 10, 2024
The Strength of Women – Inspiring Encounters in Indonesia

The Strength of Women – Inspiring Encounters in Indonesia

July 21, 2024
Bali, the Island of the Gods

Bali, the Island of the Gods

May 19, 2024

TATKALA.CO adalah media umum yang dengan segala upaya memberi perhatian lebih besar kepada seni, budaya, dan kreativitas manusia dalam mengelola kehidupan di tengah-tengah alam yang begitu raya

  • Penulis
  • Tentang & Redaksi
  • Kirim Naskah
  • Pedoman Media Siber
  • Kebijakan Privasi
  • Desclaimer

Copyright © 2016-2024, tatkala.co

Welcome Back!

Login to your account below

Forgotten Password?

Retrieve your password

Please enter your username or email address to reset your password.

Log In
No Result
View All Result
  • Beranda
  • Feature
    • Khas
    • Tualang
    • Persona
    • Historia
    • Milenial
    • Kuliner
    • Pop
    • Gaya
    • Pameran
    • Panggung
  • Berita
    • Ekonomi
    • Pariwisata
    • Pemerintahan
    • Budaya
    • Hiburan
    • Politik
    • Hukum
    • Kesehatan
    • Olahraga
    • Pendidikan
    • Pertanian
    • Lingkungan
    • Liputan Khusus
  • Kritik & Opini
    • Esai
    • Opini
    • Ulas Buku
    • Ulas Film
    • Ulas Rupa
    • Ulas Pentas
    • Kritik Sastra
    • Kritik Seni
    • Bahasa
    • Ulas Musik
  • Fiksi
    • Cerpen
    • Puisi
    • Dongeng
  • English Column
    • Essay
    • Fiction
    • Poetry
    • Features
  • Penulis

Copyright © 2016-2024, tatkala.co