DI AWAL-AWAL pandemi tahun 2020, sebagai penggiat lingkungan sekaligus Trainer Gea Ecobrick, saya mulai memperkenalkan “Metode Ecobrick Art” kepada pegawai Ubud Draw bersama Hani Himawati dan Rus. Ubud Draw memang konsisten membuat ecobrick sebagai bentuk tanggung jawab kepada limbah plastik yang mereka hasilkan.
Benar. Tujuan ecobrick adalah mengajak kita untuk bertanggung jawab terhadap sesuatu yang kita hasilkan. Bisa dikatakan, ecobrick adalah langkah mengubah polusi jadi solusi.
Jika kita nongkrong di Ubud Draw, kita akan melihat dinding yang sangat unik sekali. Kenapa unik? Mereka membangun dinding toilet dengan menggunakan ecobrick (batu bata ramah lingkungan) yang di campur dengan tanah—yang sudah difermentasi selama dua minggu—pasir, jerami, dan semen. Semua menggunakan perbandingan 3.1.1 atau 3.2.2.
Tidak hanya di Ubud Draw, di Dinas Pemberdayaan Desa Kabupaten Buleleng, saya juga memperkenalkan bangunan tanah yang ramah lingkungan itu dengan membuat kolam ikan sebagai pendukung lumbung pangan berkelanjutan.
Sebenarnya, pengenalan mengenai “Metode Ecobrick Art” tersebut sudah saya lakukan sejak tahun 2017. Dan hingga saat ini, saya sudah hampir membuat 10.000 ecobrick. Mulai dari ecobrick biasa hingga ecobrick pantai yang mempunyai standar beratnya 200 gram hingga 500 gram tergantung jenis botol yang digunakan.
Banyak yang bertanya mengenai di mana saya mendapatkan plastik? Saya mendapatkan plastik bekas dari warung, bengkel, dan laundry di sekitar tempat tinggal saya di Singaraja dengan cara menjalin kerja sama.
Selain karena menyenangkan, hobi, kegiatan ini juga saya lakukan sebagai edukasi pada masyarakat tentang bahaya plastik. Tidak jarang juga saya melakukan pembinaan, mengisi workshop di masyarakat umum, sekolah, dan adik-adik mahasiswa KKN tentang pengolahan sampah berbasis sumber serta menciptakan nilai sosial ekonomi di masyarakat.
Saya mengenal ecobrick awalnya pada saat melakukan perkenalan ecobrick untuk pertama kalinya di salah satu sekolah binaan saya di Yogyakarta pada 2018 silam. Lalu, pengetahuan tersebut saya dalami lagi pada tahun 2019 saat saya kembali mendapatkan pelatihan Trainer of Trainer (TOT) di Situbondo, Jawa Timur. Saat itu, materinya tentang ecobrick dan bangunan tanah yang berfungsi untuk membangun ruang-ruang terbuka hijau.
Lantas, kenapa ecobrick? Saya pikir karena ecobrick bisa dibuat dan dilakukan oleh siapa saja—dengan cara sederhana tapi harus dimulai dengan langkah benar. Mari memulai dengan cara-cara sederhana untuk mengelola sampah kita.
Mulai dari pilah, olah, dan kelola. Sampah organiknya bisa dimasukan ke biopori atau dibuat ecoenzyme. Plastik yang punya harga bawa ke bank sampah. Sedangkan plastik yang tak ada harga bisa jadikan ecobrick.[T]