Jenis manusia yang paling terbuka adalah para seniman. Penyair termasuk di dalamnya, selain pelukis, dramawan, aktor/aktris, penulis/pengarang, atau yang terkini: kreator digital. Mereka, orang yang dengan mudah mengekpresikan apa yang mereka rasakan dan pikirkan. Terbuka, apa adanya, begitu jujur, hingga bahkan ada yang menganggap mereka terlalu polos juga naïf. Sikap yang anehnya kini dianggap sebagai sebuah kelemahan. “Drama”, istilah anak muda kekinian.
Dalam dunia kerja, bersikap terbuka bisa menjadi “baik” juga sebaliknya “buruk”. Jika punya atasan yang terdidik dalam budaya Barat, keterbukaan sangat dihargai. Mereka justru tidak suka dengan kebiasaan suka menutup-nutupi sesuatu, “bicara di belakang”, atau kebiasaan bergunjing/bergosip, menyia-nyiakan waktu dengan mengobrol atau juga, bekerja sambil menggerutu.
Terbuka, dalam hubungan personal dengan rekan kerja, sekarang justru bisa dipakai “senjata” untuk menyerang balik. Bicara lepas dan apa adanya menjadi ibarat dua sisi pisau yang membuat prestasi juga caci maki. Kita terlalu biasa menilai seseorang hanya dari “apa kata orang lain” tentangnya. Objektivitas menjadi luntur. Ada istilah di negeri kita: ‘termakan omongan orang lain’.
Sejak dulu, saya memilih terbuka terutama soal skizofrenia. Dengan sadar dan yakin bahwa itu membuat saya lebih bebas dan nyaman. Tentu pada situasi tertentu, membuat saya menjadi bahan omongan—dari sana saya belajar untuk (hanya) bicara pada orang yang punya pengetahuan kesehatan mental, atau minimal tidak gampang menghakimi orang lain, terlebih soal kekurangan diri. Kekurangan yang dalam kacamata tertentu sesuatu yang biasa saja.
Terbuka itu berbahaya. Terutama bagi mereka yang hati dan jiwanya tertutup. Mereka yang biasa bilang suka jika suka dan tidak suka jika tidak suka, membuat kebiasaan yang diajarkan sejak kanak-kanak, misalnya “jangan marah-marah”, “jangan menangis” menjadi sesuatu yang “tabu”.
Kita sudah sejak lama biasa menekan emosi, represi yang suatu waktu bisa “meledak” menjadi histeria, kesurupan, bahkan budaya amuk—menjadi ngamuk dan mengamuk, menghancurkan barang-barang, memukul, juga membakar. Pada titik ekstrim, tawuran atau kerusahan massal.
Andaikata sejak kecil kita diajarkan mengekspresikan emosi dan diapresi/didengarkan/diajak berdiskusi, pribadi yang terbuka dan menghargai orang lain secara alami akan tumbuh. Tidak ada lagi prasangka, apa pun jenisnya. Saat berbeda pendapat pun, orang tidak mudah tersulut amarah, karena semenjak dini diajarkan untuk berdialog. Bahkan ketika pendapat kita disanggah, menjadi hal yang biasa. Ruang keluarga menjadi tempat berbagi tentang apa yang dirasakan anak.
“Ibu bilang begini, tapi Ayah bilang begitu” lalu anak menjadi bingung memilih yang mana adalah awal dari “keterpecahan” pada jiwa anak. Pribadi terbelah bahkan skizofrenia pun sejatinya disebabkan salah satunya karena pola asuh. Dalam konteks lebih luas, budaya yang melahirkan dan menganggap biasa sikap hipokrit atau munafik punya peran atas itu.
Saat rating televisi atau konten media sosial angka tertinggi diraih oleh tayangan gosip atau juga konflik maka kita mesti berhati-hati. Bisa jadi ada yang tidak beres pada budaya di mana kita dibesarkan. Akhirnya, menjadi terbuka akan tetap dianggap “berbahaya”, karena kita telah lama sekali terbiasa dengan “ketertutupan”. Pada fase ini, puisi/cerita pendek/novel/teater/drama/film/wayang menjadi disukai karena “berani” mengungkapkan sesuatu dengan jujur; sesuatu yang dirindukan pada masa sekarang. [T]
Denpasar, 30 Desember 2023, 14:11 WITA
BACA artikel dan karya-karya lain dari penulis ANGGA WIJAYA