“Tidak ada cara lain untuk terlibat dalam perjalan ini selain mengalaminya secara langsung. Ini adalah pengalaman yang membutuhkan mata dan hati untuk merekamnya.” —Maria Tri Sulistiani (2020)
“ARDI, kamu mau gak kolaborasi dengan Mahima?”
Pertanyaan di atas dilontarkan oleh seorang teman, kakak, guru (apalah sebutannya), yang jelas ia penulis, dosen sekaligus merangkap sebagai Ketua Komunitas Mahima (Komunitas Sastra di Bali Utara), Kadek Sonia Piscayanti, atau sering saya panggil Mbok Sonia.
Mendengar pertanyaan itu, saya tidak lantas menjawab “Ya”. Masih banyak pertanyaan saya ajukan balik kepadanya. Namun, sekali lagi, kata-katanya meyakinkan saya untuk menerima ajakan kolaborasi tersebut.
Singkatnya saya menerima tawaran kerja kolaborasi itu, dan memulainya dengan sebuah karya Dramatic Reading “Malantjaran Ka Sasak” (2023), sebuah pertunjukan alih wahana dari novel berbahasa Bali karya I Gde Srawana.
Pada saat itu saya banyak bertanya kepada beberapa teman yang sudah pernah membuat pementasan sejenis, termasuk menonton video karyanya di akun YouTube. Juga membaca lagi buku-buku yang berkaitan dengan penciptaan dan kajian seni. Semua itu saya lakukan sebab pertanyaan, “bagaiamana membuat pementasan ‘membaca’ menjadi lebih menarik?” dan “apakah bisa memasukan elemen gerak?”
Dalam pejelahan itu, saya menemukan pernyataan dari seorang kritiskus tari, Sal Murgiyanto, namanya. Sal memandang bahwa karya seni yang berkualitas bukan sekadar menghibur; tetapi mengajak penonton berpikir kritis dan menambah nutrisi kehidupan jiwa manusia (Murgiyanto, 2016).
Dalam pernyataan lain, sambil menyeruput kopi saya memerhatikan—dan mencoba memahami, tentu saja—pernyataan Made Adnyana Ole yang meyakinkan bahwa “karyamu tidak harus dimengerti oleh semua penonton, tetapi buatlah karya yang bisa mengalami secara langsung dan menikmatinya”.
Dengan sudut pandang ketradisian yang sudah melekat, maka saya mewujudkan karya dengan pendekatan visual melalui gerak-gerak dan unsur musikal yang memperkuat dramatic action dalam pertunjukan.
Proses ini menggiring saya pada ritual penyelaman ke dalam hal-hal yang mendasar, seperti tata kelola produksi, tata teknik pentas, dan tata rias busana. Untuk mewujudkan keberhasilan ritual penyelaman itu, saya bekerja dengan I Nyoman Sugita (Sugita) sebagai Direktur Artistik, Kadek Anggara Rismandika (Anggara) sebagai penata musik, dan Putu Batria Dama Danayu (Dama) sebagai penata tari untuk mewujudkan karya dramatic reading tersebut.
Pengalaman bersama tim Melantjaran Ka Sasak ini menjadi perihal yang sangat bermakna bagi saya. Saya masih ingat jelas, perjumpaan ide tarian ini lahir di mobil ketika perjalanan ke Desa Tembok, Tejakula, untuk melaksanakan program PKM desa binaan.
Saat itu saya bersama Anggara, Dama, dan beberapa orang lainnya—yang tak dapat saya sebutkan satu per satu di sini—membicarakan ide karya ini. Awalnya mereka masih ragu untuk mengatakan “ya” dengan alasan klise karena belum pernah sekalipun menonton bahkan membuat karya dramatik reading.
“Saya percaya pada kalian,” begitu kalimat pamungkas yang saya katakan kepada mereka berdua. Kalimat itu bukan tanpa alasan, saya sudah mengenal Anggara sejak kulaih magister di Jogja tahun 2015, sedangkan Dama merupakan koegrafer dan penari yang potensial—setidaknya menurut saya pasca covid-19 menyerang. Sedangkan Pak Sugita, beliau memang sudah terbiasa di dunia teater dan tari, saya tidak ragu mengajaknya bekerja, sehingga lengkaplah sarana ritual ini.
Proses mengalami secara langsung ini membuat saya teringat kembali dengan salah satu materi kuliah S2 beberapa waktu silam. Salah satu dosen favorit saya, Ibu Jeannie Park, perempuan Korea yang menjadi penari keraton, pernah menjelaskan tentang pentingnya “aset seni”. Salah satu aset seni yang disebut adalah seniman. Sebagai seorang pengelola, maka harus bisa melihat potensi seniman dan menghadirkan ruang berkesenian baginya (Jeannie Park, 2016).
Materi ini paling melekat dalam ingatan saya, bahkan selalu menjadi spirit dalam proses bekesenian. Materi yang membentuk jiwa berkesenian yang realistis dalam memahami seniman, kesenian, dan masyarakat sebagai aset yang harus dipelihara.
Dalam konteks peciptaan ini, seni sastra yang diwariskan sebagai kesenian yang “esklusif” dialihwahana ke dalam media baru untuk mewacanakan makna dengan pendekatan visual, sehingga masyarakat ikut mengalaminya (makna, pesan, dan lainnya) secara langsung.
Menggali Akar Jati Diri
Sejak kecil saya sudah mengenal kesenian tradisional. Bagi saya, menonton anak-anak dan remaja menari atau bapak-bapak yang memainkan gamelan pada saat odalan di desa atau bajar itu sudah biasa. Bahkan sejak usia 7 tahun saya sudah diajarkan memainkan instrument terompong (salah satu instrumen dalam barungan gamelan Gong Gede/Gong Kebyar).
Pada usia 14 tahun saya sudah masuk sebagai anggota sekaa gong. Dan sekarang, sebagai dalang, saya masih terus mementaskan wayang, memainakn gamelan, dan menari topeng. Saking dekatnya saya dengan kesenian tradisional, saya nyaris tidak bisa menyanyikan lagu pop, karena setiap bernyanyi selalu nyerempet gregel (cengkok) kidung atau macapat. Artinya, sekali lagi, bagi saya ketradisian itu sudah melekat, bahkan sudah menjadi jati diri.
Namun, sering sekali, dalam proses berkesenian, saya ingin terlibat atau membuat karya yang lepas dari tradisi itu. Proses yang masih lekat di ingatan saya, misalnya, pada film I Tundung (2022) Karya I Nengah Juliawan dan film Bukan Kirana (2022) karya Koes Yuliadi.
Adalah dua film tersebut tampaknya yang membuat saya berlatih keras untnuk melepas ketradisian itu—karena yang saya tahu tubuh panggung ini sangat sulit lepas, sekalipun ketika disorot kamera. Pada satu kesempatan menjadi aktor dalam karya Sumahardika berjudul “Igel Jongkok”, saya harus menjadi dalang sekaligus aktor teater modern.
Percaya atau tidak, dialektika proses berkesenian ini memperluas jangkauan pengalaman artistik tentang jati diri saya sebagai pelaku seni yang menggeluti kesenian tradisi dan akrab dengan “modernisasi”. Sebuah perjalan panjang yang mempertemukan saya dengan banyak figur di dunia seni.
Pada tahun 2019, saya bertemu Eko Supriyanto—koreografer dan dosen ISI Surakarta—sebagai mentor karya yang akan pentas di Galeri Indonesia Kaya. Beliau berkata, “Ardi, kamu boleh saja berpakaian jas dan berdasi; tapi ingat, kamu adalah orang Bali, tunjukan bahwa ada anak muda Bali yang masih bisa berbahasa Kawi dan melantunkan tembang layaknya Dalang.”
Dalam sebuah diskusi perayaan May May May di Mahima tahun 2023, Tjok Sawitri pernah berkata bahwa “jangan pernah hilangkan ketradisianmu atau berusaha membohongi jati dirimu, tunjukan kekuatan tradisi itu dalam karyamu.”
Hingga pada suatu ketika, saya mendapat telepon, bukan lagi dari Mbok Sonia, tetapi Pak Ole (Suami Mbok Sonia) dan diberi pesan untuk melanjutkan proses kreatif sebelumnya, Melanjtaran Ka Sasak, yang akan dikembangkan kembali dan dipentaskan dalam ruang yang berbeda. Karya Melantjaran Ka Sasak diikutkan dalam program workshop Pekan Raya Cipta Karya Mahima pada 17 November 2023 dan dipentaskan di penutupan acara tanggal 30 November 2023.
Tidak berhenti pada momen itu, ucapan Pak Ole dan Mbok Sonia tentang melanjutkan proses kreatif sepertinya mendapat restu energi alam. Betapa tidak, selepas workshop tersebut, kesempatan kembali datang untuk mementaskan hasil workshop itu di Taman Ismail Marzuki (TIM).
Tetapi, sebelum proses latihan di mulai, kami—saya dan Pak Ole—duduk berdua sambil menyeruput kopi di sebelah dapur Rumah Belajar Mahima. Kami membicarakan potensi pengembangan karya dan konsep yang akan digunakan. Kami mempertanyakan karya seni macam apa yang semestinya diproduksi—untuk melayani pasar, atau merawat jiwa? Ya, itulah pengembaraan imajinasi seni, kami berdiskusi, kadang ngarul ngidul, sehingga tidak terasa kopi tinggal seteguk.
Sebelum kopi habis, kami memutuskan membuat karya teater wayang berjudul “RWA” yang bermakna “dua”, dengan menggunakan Geguritan Sucita Subudi Karya Ida Ketut Djelantik (1950-1956) sebagai basis sastra yang dijadikan sumber penciptaan.
Geguritan ini mengisahkan perjalan dua sahabat, yaitu Sucita dan Subudi yang melakukan perjalanan spiritual untuk menemukan pengetahuan yang suci. Kisahnya dituangkan ke dalam bait-bait puisi bertembang tradisional Bali yang disebut pupuh yang begitu indah seakan dapat membasahi sesuatu yang kering, menghaluskan yang kasar, dan menerangi yang gelap.
Teks ini terdiri dari 1877 bait, dan 57 pupuh, di mana tembang Sinom dijadikan sebagai tembang idola untuk memimpin tembang-tembang lainnya. Tembang Sinom erat kaitannya dengan tujuan geguritan ini, yaitu untuk membangkitkan santa rasa, karena bagi Ida Ketut Djelantik tembang Sinom itu sadda rumpuh manis (nadanya empuk manis).
Salah satu adegan dalam pementasan RWA dalam rangka Pentas Karya Komunitas di Taman Ismail Marzuki, Jakarta / Foto: Dok. Ardi
Sesuai dengan spirit geguritannya, tembang Sinom dihadirkan sebagai pembuka karya RWA. Namun, sebagai sutradara, Ole memberikan sentuhan puitis pada terjemahan pupuh sinom itu. Kutipan-kutipan dialog Sicuta dan Subudi diambil ketika Sucita bertemu dengan Diah Karuni. Adegan juga memvisualkan keteguhan sang Subudi melawan musuh dalam diri.
Dengan bahasa visual, karya ini menekankan gerapan pada aspek bayangan, baik bayangan wayang (dua dimensi) ataupun aktor dan penari (3 dimensi). Dialog bertembang dihadirkan dalam wayang, sedangkan oleh aktor, dialog dibawakan dengan diikuti gerak tubuh layaknya penari Arja Klasik di atas panggung.
Perwujudan karya RWA bertitik tolak pada jati diri saya sebagai penggarap dan kekuatan para aktor. Ole mempertegas bahwa kita tidak bisa dilihat lebih baik oleh para maestro sastra di Indonesia apabila membawakan teater modern pada umumnya. “Bawakanlah kekuatan Bali, yang ada pada kesenian-kesenian tradisi kita, berdialoglah sambil menari, itu tidak akan dimikili oleh orang lain selain kita orang Bali.”
Dengan banyak ekslporasi dalam waktu yang singkat, penata tari dan penata musik mampu menerjemahkan ide sutradara dengan maksimal. Namun, sebagai catatan, karya ini masih banyak yang perlu diperkuat, misalnya interaksi aktor dengan wayang, visual gerak yang masih mudah ditebak, serta meningkatkan kemampuan penari dalam bertembang.
Tentu, sebagai orang yang baru pertama menginjakan kaki untuk mementaskan karya di panggung TIM, kesempatan ini sangat bermakna dan penting bagi saya dalam upaya mengali akar jati diri untuk bekal dalam kerja sebagai seorang pewaris kesenian tradisi dan bagaimana cara saya mewarisi kesenian tradisi itu.
Berkarya Meningkatkan Daya Saing
Sal Murgiyanto mengingatkan saya tentang pertemuan peradaban Timur dengan peradaban Barat. Tersedia tiga pilihan untuk menyikapinya: pertama, mengadopsi dan merayakan; kedua, menolak dan mengisolasi diri; ketiga, menyikapinya dengan kritis dan kreatif (Murgiyanto, 2016). Jelas saya tidak mau merayakan saja, atapun sebaliknya, menolak dan menutup diri. Karena saya percaya bahwa pertemuan kedua peradaban ini adalah keniscayaan, maka saya memilih alternatif terakhir.
Dalam ilmu tata kelola seni, maka kita harus mampu membaca “the future life” (masa depan sebuah kesenian), apalagi keterkaitan seni dan masyarakat itu selalu berdampingan.
Seperti dikatakana oleh Maria Tri Sulistyani (pendiri Papermoon Pauppet Theatre), bahwa kita harus mampu membaca perkembangan masyarakat (Sulistyani, 2017)— bahkan dalam penelitian tesis saya di ISI Yogyakarta perlu adanya upaya riset untuk menemukan karya yang relevan dengan zamannya (Ardiyasa, 2017).
Untuk mengingkatkan daya saing pada tingkat global, maka seniman dalam menciptakan seni harus mengembangkan karya sebagai ruang pertukaran pikiran dan sajian karya yang berkelas dunia. Sebagai bandingan, karya Wayang Listrik I Made Sidia (Bali) yang berangkat dari tradisi dengan menggunakan visual bayangan yang aktual dan menggunakan bahasa Inggris, misalnya. Dan karyanya spektakuler dengan kemasan visual yang menarik.
Atau karya Papermoon Puppet Teater (Yogyakarta) yang menggunakna boneka sebagai medium utamanya. Tema-tema besar seperti G30S-PKI dituangkan ke dalam sajian yang sederhana dan mudah dipahami, bahkan Papermoon selaku sutradara melibatkan penonton dalam pertunjukannya. Bahasa visual (gestur boneka) digunakan agar mudah dipahami.
Dalam karya tari ada Eko Supriyanto (Solo), dan almarhum Miroto (Yogyakarta) yang mendunia dengan karya-karya yang berakar dari tradisi, bahkan risetnya terhadap kesenian dan tradisi sangat panjang; baru kemudian di wujudkan dalam karya baru.
Untuk menjadi berdaya saing seperti itu, tidak hanya dilakukan menjelang/pada saat akan ada event festival atau proyek tertentu saja, tetapi harus menjadi bagian dan kegiatan secara terus menerus (berkelanjutan).
Karya Melantjaran Ka Sasak boleh saja berhenti pada titik itu, atau karya RWA yang di TIM akan di kembangkan lagi. Tapi prinsipnya, Mahima sebagai produser berkewajiban untuk mencarikan ruang-ruang pentas yang layak, baik fasilitas panggung maupun kualitas penontonnya. Di sisi seniman, kewajibannya adalah berlatih melakukan eksplorasi untuk mengembangkan dan menyempurnakan karya yang sudah ada.
Keterlibatan media dalam konteks menjaga dan mendistribusikan pesan pertunjukan juga menjadi aspek penting untuk selalu ditumbuhkan melalui proses pendukomentasian dan publikasi dalam bentuk tulisan maupun video-video. Konten seperti ini akan berguna menjadi portofolio dan referensi dalam proses penciptaan sebelumnya.
Tidak terasa, pesawat sudah landing, dan kami bersama menyantap nasi be guling. Tancep Kayonan.[T]