Penulis: Ketut Novi Suarningsih
SEORANG pria berperawakan sedang, tampak sibuk beraktivitas di sebuah kandang ayam di Desa Bungkulan, Kecamatan Sawan, Buleleng. Tangan kanannya membawa sebuah ember yang berisi pakan ayam, dan sia kemudian menuangkan konsentrat ke dalam pan feeder – wadah pakan ayam.
Pria itu adalah I Gede Ari Suandiyasa, 35. Pria yang mukim di Banjar Alas Harum, Desa Bungkulan, Kecamatan Sawan itu merupakan mantan bankir. Namun kini dia memilih menjadi pengusaha ternak khusus ayam pejantan.
Ari sebenarnya mengawali karir seorang bankir pada 2011. Saat usianya baru menginjak 22 tahun, dia diterima sebagai karyawan di salah satu bank Badan Usaha Milik Negara (BUMN). Pekerjaan itu menjadi idaman bagi banyak orang.
Hanya dalam kurun waktu setahun, dia mendapat promosi. Ari bertanggungjawab terhadap kredit dan tunggakan. Namun dia hanya mampu bekerja selama tiga tahun. Ari merasa pekerjaan sebagai bankir bukan hasratnya. Dia memilih mengundurkan diri pada 2014 dan memulai usaha peternakan.
Ari mengisahkan hasratnya menjadi pengusaha sebenarnya bermula saat ia bekerja sebagai karyawan bank. Tatkala itu ia bertugas melakukan survei lapangan calon penerima kredit. Beberapa pengusaha ia temui. Mulai dari pedagang, peternak babi, peternak lele, peternak ayam boiler, serta pengusaha ternak ayam pejantan.
Ia mengaku sempat bertemu dengan pengusaha ternak asal Desa Julah. Ia takjub karena melihat pengusaha ternak itu menghasilkan cuan Rp 2 juta per jam.
“Saya berpikir usaha gini enak nih. Sempat beberapa kali juga ngobrol dengan pengusaha itu, akhirnya saya memantapkan diri memulai usaha ini,” ujar Ari saat ditemui di rumah peternak itu pada tanggal 13 Desember 2013.
Mengawali usaha bukan perkara mudah. Dia meminta restu kepada orang tuanya untuk memulai usaha peternakan ayam. Padahal saat itu Ari sudah bekerja sebagai karyawan pada bank BUMN. Ia pun berusaha meyakinkan orang tuanya bahwa menjadi wirausaha tak kalah menjanjikan.
Berbekal restu orang tua, dia pun mengawali usahanya. Dia membuat sebuah kandang khusus ayam pejantan dengan kapasitas seribu ekor ayam. Pria kelahiran Buleleng itu memutuskan bermitra dengan Wayan Nadi, seorang pengusaha ternak ayam asal Desa Julah, Kecamatan Tejakula. Tak main-main, dia mengawali usahanya dengan memelihara seribu ekor ayam.
Setahun berselang dia melakukan ekspansi kandang peternakan. Jumlah ayam yang dipelihara mencapai 7.000 ekor. Sebanyak 4.000 ekor dipelihara di dalam kandang berukuran 25×7 meter. Sementara 3.000 ekor lainnya dipelihara di dalam kandang berukuran 15×6 meter. Tatkala itu ia mampu mempekerjakan empat orang karyawan.
Sayangnya hari apes tidak pernah muncul di kalender. Pada 2019, dia rugi bandar. Ayam-ayam peliharaannya mati gegara cuaca ekstrem dan serangan virus gumboro. Ribuan ekor ayam tak berhasil diselamatkan. Total kerugian tatkala itu diperkirakan mencapai Rp 105 juta.
Rugi besar tidak membuat ia patah arang. “Prinsip saya antara menang dan kalah, jika saya tidak melanjutkan sudah pasti saya kalah,” ujar putra pertama dari pasangan (alm.) Gede Trisandi dan Ketut Armini itu.
Dia kemudian mengubah konsep kandang. Kini kandang ternaknya menggunakan konsep close house. Artinya kandang itu tertutup rapat. Tidak ada udara yang keluar masuk kandang secara bebas. Sirkulasi udara di kandang dengan menggunakan sistem blower. “Suhu kita yang atur sendiri,” jelas Ari.
Semenjak kerugian besar pada 2019 silam, Ari membenahi pondasi usahanya. Kini hanya 700 ekor ayam pejantan yang ia pelihara. Ratusan ekor ayam itu ia pelihara pada kandang berukuran 8×3 meter. Dalam sebulan ia mengklaim mengantongi omzet hingga Rp 10,5 juta.
Selain sibuk mengurus bisnisnya, Ari juga menggagas terbentuknya Kelompok Tani Ternak Milenial Bungkulan. Rekan-rekannya yang bergelut di Karang Taruna, diajak terlibat sebagai wirausahawan. Tak dinyana inisiatif itu mendapat perhatian dari Bank Indonesia.
Melihat potensi luas lahan dan usia pemuda di Desa Bungkulan, ia optimistis bila generasi muda di desanya bisa menjadi seorang wirausaha dan membuka lapangan kerja. Caranya dengan mengaplikasikan konsep digital farming.
Melalui konsep ini, peternak hanya perlu menggunakan aplikasi di smartphone untuk mengontrol suhu kandang dan vitalitas ternak. Bahkan tumbuh kembang ternak bisa dipantau melalui ponsel. [T][***]
Catatan:
- Ketut Novi Suarningsih, mahasiswa STAHN Mpu Kuturan Singaraja
- Artikel ini adalah bagian dari tugas kuliah mahasiswa Prodi Komunikasi Hindu, STAHN Mpu Kuturan Singaraja