MALAM ITU, tepat pukul 19.58 WIB, penonton sudah memadati lokasi pementasan. Kursi-kursi yang terbuat dari krat minuman kemasan yang didaur ulang itu penuh sesak. Di depan penonton, tersaji layar proyektor (screen motorized screen) yang menampilkan siluet sosok orang tua botak berkaca mata dan berjenggot panjang—sosok itu sekilas mirip gambar orang tua di botol minuman beralkohol atau Master Roshi (Kame Sennin), si kakek kura-kura, guru si Goku dan Krillin dalam serial Dragon Ball, yang mesum itu.
Sosok orang tua di dalam dunia lain itu dipanggil AI (Tony Broer).
Yola Yulfianti tiba-tiba memasuki panggung pementasan dan mulai berinteraksi dengan AI. Mereka ngobrol dan bercanda layaknya sahabat karib yang sedang melepas rindu. Lalu, AI menunjuk sosok perempuan muda berbaju pink yang duduk tepat di depan layar proyektor—tempat AI berada dan berbicara. Perempuan muda itu bernama Salira. Kali ini, giliran dia yang ngobrol dengan AI. Sosok AI itu ternyata tahu banyak tentang Salira.
Suasana penonton pertunjukan Nge-GLITCH di Galeri Nasional, Jakarta Pusat / Foto: Dok. Jaswan, tatkala.co
“Kok AI tahu banyak tentang aku, si?” tanya Salira. “Karena data-data kamu ada di aku semua,” jawab AI. Kurang lebih begitu penggalan dialog antara Salira dengan AI—sosok tua botak berkaca mata dan berjenggot panjang yang berbicara di dalam layar proyektor itu. Sampai di sini penonton masih tampak bingung. Beberapa orang berbisik, saling tanya satu sama lain—“ini apa maksudnya?”—lainnya hanya bisa garuk-garuk kepala.
Adegan berlanjut. Setelah ngobrol ngalor-ngidul, Salira menghadiahi beberapa penggalan lagu kepada AI. Salira bernyanyi dengan penuh enerjik. Ia berlari ke sana kemari, berdiri di atas kursi yang terbuat dari krat minuman kemasan seperti orang kesurupan—bahkan ia sempat tergelincir dan jatuh saat mencoba melompat ke atas kursi penonton.
Selesai bernyanyi, dengan peluh yang membasahi tubuhnya, Salira kembali berinteraksi dengan AI. Selanjutnya, dan ini yang agak mendebarkan, AI berkata kepada Salira bahwa ia akan segera menampakkan dirinya kepada penonton dan semua yang hadir pada malam itu. AI akan menghilang, katanya. Dan di layar, siluet sosok lelaki tua botak berkaca mata dan berjenggot panjang itu perlahan mulai menghilang. Sosoknya berganti dengan sebuah kode batang atau kode palang (barcode).
Meski menghilang, tapi suaranya masih terdengar. AI memerintahkan para penonton untuk memindai (scan) kode batang tersebut. Setelah memindai, tiba-tiba penonton mendapati sebuah video AI di YouTube. AI kemudian meminta kepada Salira untuk memandu penonton menemukan keberadaannya. Semua penonton berdiri dan mulai mengikuti langkah Salira yang menuju sebuah gedung di kawasan Galeri Nasional. Di dalam gedung tersebut terdapat berbagai robot aneh yang beberapa tampilannya tampak menyeramkan. Dan di sanalah sosok AI berada.
Di atas adalah penggalan fragmen dalam pertunjukan nge-GLITCH? karya Yola Yulfianti dalam program “Membaca Pakem ‘Teknologi Diri’” Pekan Kebudayaan Nasional (PKN) 2023 Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbudristek) di Galeri Nasional, Jakarta Pusat, Minggu, (22/10/2013) malam. Pertunjukan tersebut berkolaborasi dengan Lab. Seni, Teknologi Institut Kesenian Jakarta, dan Lab. Tubuh ISBI Bandung dan—pertunjukan yang bagi orang awam terkesan absurd itu—mendapuk Tony Broer dan Salira Ayatusyifa sebagai performers.
Broer, begitu ia akrab dipanggil, di dunia teater tanah air, memang dikenal sebagai aktor kawakan yang kerap meninggalkan teks dramatik ke teater tubuh. Sedangkan Salira adalah aktor muda yang berkecimpung di dunia teater sejak tahun 2008 dengan memulai karier berkeseniannya di Teater Tonggak Jambi bersama Didin Siroz dan Lab.Tubuh Bandung bersama Tony Broer.
Malam itu, Broer dan Salira tampil dengan sangat total. Mereka berdua menunjukkan gerak tubuh dan ekspresi yang tak biasa—yang bagi seorang awam: aneh. Broer dan Salira seolah sedang melakukan apa yang oleh Jerzy Grotowski disebut sebagai konsep “memaksa aktor harus mengeluarkan seluruh ekspresi yang bisa dilakukan di pementasannya”. Tony dan Salira tampil bebas, kuat, sublim—bahkan seperti tampil tanpa beban. Seperti tak ada cerita, tapi sarat makna.
nge-GLITCH? adalah pertunjukan teater tubuh yang mencoba menyuarakan isu tentang pertempuran antara tubuh digital dan tubuh manusia. Ya, sejak perkembangan teknologi digital, pertempuran itu menjadi sangat nyata, menjadi tantangan hidup sehari-hari yang harus dihadapi.
“Kita berusaha mempertemukan antara seni teknologi dengan tubuh. Jadi bagaimana kita mempermainkan analog dan digital. Eksplorasinya itu di situ. Nah, challenge-nya adalah, siapa yang menang? Apakah tubuh atau komputer?” ujar Yola Yulfianti kepada tatkala.co seusai pementasan.
Dan, dalam kuasa teknologi digital yang semakin mengguncang, masih adakah ruang bagi tubuh-tubuh manusia yang terhimpit lemah? Pertanyaan tersebut adalah sedikit pengantar dari pertunjukan ketubuhan nge-GLITCH?
Pertunjukan nge-GLITCH? memberi kita kebebasan berpikir tafsir bahwa aktor sedang bermain dalam dirinya dan melibatkan respon penonton. Aktor dan penonton berinteraksi dengan harmoni tanpa ada teror dalam sajian pertunjukan. Nilai estetika yang terintegrasi dalam ruang pertunjukan menjadi hidup tanpa tahu ada celah, ini sajian serius atau hanya drama.
Saat Broer—yang berperan sebagai AI—melakukan adegan berdiri dengan kepala (headstand) di atas benda semacam tangga besi segi empat menjelang akhir pertunjukan, mengingatkan kita pada salah satu adegan dalam pertunjukan Tubuh Kata Tubuh (Toby Broer) yang dipentaskan pada tahun 2018 di depan halaman Teater Luwes Institut Kesenian Jakarta (IKJ). Pada saat itu, Broer juga melakukan adegan tersebut. Hanya saja, ia melakukannya di atas drum berwarna merah.
Tony Broer saat melakukan headstand dalam pertunjukan nge-GLITCH? / Foto: Dok. Jaswan, tatkala.co
Pertempuran Dua Tubuh
Menurut Yola Yulfianti, nge-GLITCH? berangkat dari sebuah tafsir bahwa hidup manusia sepertinya lebih banyak diatur oleh algoritma teknologi. Padahal, menurutnya, tubuh manusia itu memiliki algoritmanya sendiri—meskipun sekarang sepertinya sudah tidak ada koneksi antara kepala dengan tubuh lainnya, misalnya, katanya. “Apalagi ditambah dengan intervensi media bernama handphone. Kita seperti dikontrol, kaya dibodoh-bodohi,” tambah Yola.
Pada saat ini, hidup manusia rata-rata seperti didominasi oleh segala sesuatu yang bersifat serba tahayul, maya, palsu, serba fatamorgana, khayalan, plastis, semu, dangkal, dan virtual. Kemudian dari fatamorgana itu manusia mencoba mengenali dan tidak sedikit yang malah menceburkan diri sekalian ke dalamnya.
Sejalan dengan berkembangnya ilmu pengetahuan, manusia di zaman ini tidak pernah lepas dari kemajuan teknologi. Teknologi hadir untuk mempermudah dan membantu pekerjaan manusia—agar lebih efektif dan efisien, katanya.
Hingga suatu titik, masyarakat mulai terlena atasnya. Mereka lebih memilih sesuatu yang instan, cepat, dan praktis. Dengan keadaan tersebut, sifat konsumerisme manusia mulai muncul dan menyebabkan sikap individualisme.
Rasa sosial mereka pudar dan akhirnya hilang. Manusia seakan-akan seperti diperalat teknologi dan kehilangan jati dirinya, eksistensinya. Kebergantungan pada teknologi memberikan dampak buruk bagi peradaban manusia.
Manusia merasa bahwa dengan teknologi semua bisa teratasi. Dengan mudahnya mereka bisa membalikkan keadaan, mengatur suasana, bahkan berlomba-lomba menjadi yang terbaik, berusaha membangun citra di mata orang lain.
Padahal, esensinya, tanpa kita sadari, kita telah kehilangan kemampuan alamiah kita untuk bertahan hidup (survival instinct). Semakin ke sini, banyak orang kehilangan fungsi kaki, tangan, dan bahkan fungsi pikiran—pada kenyataannya lebih banyak orang menyandarkan semuanya pada teknologi.
Zaman teknologi mampu membikin mental kita dalam keadaan yang terombang-ambing. Menjadi takut untuk hidup, tidak siap dengan semua gejala, tidak waspada, tidak awas, tidak tanggap, tidak visioner, dan jauh dari kedalaman! Atau, itulah tanda, meminjam bahasa Iqbal Aji Daryono—yang sekaligus menjadi judul esainya—“hilangnya separuh diri kita”.
Salira Ayatusyifa saat mementaskan nge-GLITCH? / Foto: Dok. Jaswan, tatkala.co
Dalam esai tersebut Iqbal menulis: medsos (misalnya) memang sudah lama merampas sebagian diri kita. Kita dengan ikhlas menyerahkan separuh eksistensi kita kepada medsos. Tanpa medsos, tanpa akun medsos, agaknya kita sekarang tak lagi merasa utuh sebagai manusia.
“…Tanpa sadar, medsos telah menjadi kata kunci untuk menentukan apakah seseorang ada ataukah tidak ada!… Medsos adalah produk teknologi, dan teknologi memang sering kali merampas banyak bagian dari diri kita…” ujar Iqbal dalam esainya yang berjudul Medsos dan Hilangnya Separuh Diri Kita (detik.com, 2021).
Mengenai pertunjukan nge-GLITCH?, salah seorang penonton yang sekaligus pegiat seni pertunjukan dari Kabupaten Flores Timur, NTT, Silvester Petara Hurit, mengatakan bahwa seolah-olah, dalam pertunjukan tersebut, teknologi merupakan bagian dari tubuh manusia—meskipun di situ tetap ada jarak, katanya.
“Tubuh manusia hari ini seperti dibekukan lewat data-data. Lalu, tubuh atau diri manusia, dalam sejumlah hal menjadi tidak normal, seperti adegan dalam pertunjukan tadi: berguling-guling, mengalami mekanisasi, proseduralisasi,” terang lelaki yang akrab dipanggil Sil itu kepada tatkala.co di depan panggung pementasan nge-GLITCH?. Bagi Silvester, teknologi itu menciptakan budayanya sendiri. “Menciptakan lakunya sendiri,” katanya.
Pada akhirnya, kita kembali pada pertanyaan di awal, dalam kuasa teknologi digital yang semakin mengguncang, masih adakah ruang bagi tubuh-tubuh manusia yang terhimpit tak berdaya? Mari kita sama-sama menjawabnya.[T]
Reporter: Jaswanto
Penulis: Jaswanto
Editor: Made Adnyana