TEPAT 80 tahun silam, di ujung Perang Dunia II, dua tahun menjelang Bung Karno memproklamasikan kemerdekaan, Desa Batungsel (Kecamatan Pupuan, Kabupaten Tabanan-Bali) memulai modernisasi.
Hal ini ditandai dengan berdirinya Sekolah Rakjat Batungsel pada 1 September 1943. Kelak namanya berubah menjadi SD Negeri 1 Batungsel. Lokasi sekolah ada di Banjar Batungsel Kelod. Tanahnya sendiri diberi oleh warga desa setempat.
Kala itu Desa Batungsel menjadi pusat pendidikan rakyat di Kecamatan Pupuan. Anak-anak usia sekolah dari desa-desa seperti Sanda, Banjar Pompatan, hampir semua gugusan desa dari Padangan ke selatan dan barat, bersekolah di Sekolah Rakjat Batungsel.
Pendirian SD 1 Batungsel pada awal sejarahnya itu adalah bentuk kemajuan berpikir para pemimpin desa. Mereka memilih membangun sekolah di desanya untuk membawa warga muda ke masa depan.
Namun sebelum itu, beberapa warga desa yang kaya telah menyekolahkan anak-anak mereka di kota sehingga ketika Sekolah Rakjat ini berdiri, jabatan kepala sekolah ada di tangan putra desa (penulis menyebutnya dengan penghormatan Kompyang Lodra). Kompyang Lodra tercatat sebagai kepala sekolah pertama. Fotonya dimiliki oleh SD N 1 Batungsel sebagai bukti sejarah pendidikan dalam menyambut era kemerdekaan dari sebuah desa pertanian dan perkebunan kopi di kaki Gunung Batukaru.
Alumni angkatan-angkatan awal sekolah ini pun tercatat sebagai guru besar di Universitas Udayana, beberpa orang dokter, dan sejumlah insinyur. Angkatan-angkatan selanjutnya juga dapat menduduki berbagai posisi di pemerintahan, seperti guru, PNS, dosen, polisi, tentara, dan lain-lain.
Hadirnya sekolah modern di Batungsel, terbukti membawa pengaruh positif pada kehidupan di desa. Para guru muda yang datang dari adalah agen perubahan sosial tidak hanya bagi Batungsel tetapi juga di desa-desa lainnya di Kecamatan Pupuan. Pendidikan membawa peran besar.
SDN 1 Batungsel kini
Warga Desa Batungsel tidak hanya menyambut pembangunan Sekolah Rakjat ini tetapi juga menyediakan lahan yang luas, tenaga, dan bahan bangunan lokal untuk ruang belajar, kantor, dan yang tidak kalah penting adalah rumah-rumah bambu para guru. Peran warga desa tidak hanya sampai di sana. Pemeliharaan bangunan dan halaman sekolah adalah tanggung jawab warga desa. Jaminan sosial juga diberikan oleh warga desa, seperti kepercayaan kepada para guru dan hubungan sosial. Para guru itu mendapat posisi baru di dalam struktur sosial desa. Mereka terpandang dan dihormati oleh masyarakat.
Warga desa menyerahkan sepenuhnya anak-anak mereka kepada sekolah untuk mendapatkan pengasuhan dan pendidikan.
Pengaruh revolusioner di dalam lingkup desa, dengan berdirinya sekolah ini, tidak hanya terhadap para siswa tetapi kepada pola pikir masyarakat atau orang tua. Warga Desa Batungsel mulai menyadari betapa pentingnya perubahan dan kemajuan dan ini hanya dapat dicapai dengan pendidikan. Hasil perkebunan kopi yang melimpah mereka simpan dan siapkan untuk biaya pendidikan setelah tamat SD dan telah terbukti puluhan mahasiswa dari Desa Batungsel memasuki kampus-kampus universitas negeri, tidak hanya di Denpasar tetapi juga hingga di Jawa (Malang dan Yogyakarta).
Dukungan ekonomi kopi menjadikan warga desa menempatkan pendidikan dan penyiapan SDM keluarga di peringkat teratas. Seluruh hasil panen pada setiap musim disimpan dan digunakan untuk biaya sekolah dan kuliah. Hal ini bermula dari kesadaran modern bahwa pendidikan adalah jalan ke masa depan.
Sejak 1943, memasuki masa kemerdekaan, Revolusi dan perjuangan melawan kaum gerombolan, Orde Lama, hingga pertengahan dekade 1980-an, sekolah-sekolah menengah pertama dan atas belum ada di desa-desa di Kecamatan Pupuan, seperti saat ini. Karena itu, warga desa mengirimkan anak-anak mereka belajar di kota, seperti Tabanan, Denpasar, dan beberapa di Singaraja. Tentu dengan biaya yang lebih mahal karena harus membayar sewa rumah kos atau pondokan. Namun demikian, pada periode inilah banyak sekali anak-anak desa yang sukses dalam ketimbang periode ketika sekolah menengah pertama dan atas membanjiri desa-desa di kecamatan ini.
Pada awal berdiri SD 1 Batungsel yang cikal-bakalnya Sekolah Rakjat beridiri tahun 1943, para guru bekerja dengan kurikulum transisi dari kurikulum penjajah Jepang ke Kurikulum Republik, namun masih sangat kuat oleh pedagogi ala Jepang. Di alam sekolah yang seperti inilah anak-anak Desa Batungsel diasuh dan ditempa. Pedagogi militer penjajah Jepang yang digunakan di Sekolah Rakjat Batungsel diterima dengan baik dan iklas oleh para murid, orang tua, dan masyarakat.
Guru dan sekolah dapat menyelenggarakan misi modernisasi desa lewat pendidikan dasar atau sekolah rakyat di perdesaan, karena dukungan masyarakat setempat dan keluarga. Kedua pihak itu satu jalan satu visi, memajukan warga desa lewat pendidikan. Terbentuk kesepakatan sosial secara struktural bahwa pendidikan inilah yang membawa Desa Batungsel ke dunia yang maju.
Guru-guru itulah yang membuka jendela kemajuan bagi desa ini. Walaupun kemudian karena kuatnya pengaruh adat, kemajuan itu sangat terasa fluktuatif. Hal ini terjadi sejalan dengan terjadinya transisi pendidikan dari era awal (pada akhir Perang Dunia, Kemerdekaan, Gestok, hingga era SD Inpres Presiden Soeharto). Pendidikan yang revolusioner dengan kurikulum transisi itu, digantikan dan sejalan dengan ini generasi guru pun berganti. Guru-guru tamatan SPG mulai ditugasi di SD-SD di Batungsel.
Sekolah Rakjat ini, di tengah segala kondisi yang terbatas, kecuali atas tujuan dan idealisme sebagai bangsa yang baru merdeka, mengembangkan model pembelajaran yang sederhana namun mendasar. Materi-materi pelajaran sangat esensial. Buku yang pastinya tidak ada tidak menghambat proses belajar.
Siswa di SDN 1 Batungsel
Para murid di kelas awal ditempa untuk mahir baca tulis dan berhitung. Hal ini dapat dilakukan hanya dengan papan tulis dan sebatang kapur. Atau bisa juga di halaman sekolah yang berupa tanah. Ini adalah papan tulis alam yang sangat nyaman digunakan di bawah bayang-bayang hujan dari mmendung tebal yang pecah. Artinya, fasilitas tidak banyak menentukan pendidikan yang hebat. Pendidikan itu adalah dari jiwa dan bukan dari fisik.
Buku bacaan tidak ada, paling-paling buku beraksara Bali yang juga hanya ada beberapa buah. Namun demikian, membaca bisa dilakukan secara bergantian. Pun, siswa kala itu tidak hanya bebas buta huruf dan angka Bali tetapi juga memberi alat kebudayaan baru bagi para murid, yakni aksara Latin dan angka Arab.
Materi pelajaran sejarah, ilmu hayat, atau ilmu bumi disampaikan secara lisan oleh para guru. Itu semua menjadi pengetahuan baru. Pikiran-pikiran siswa berkembang ke arah sains. Cerita-cerita setempat semakin diperkaya oleh narasi-narasi sain, sejarah, dan sosial dari para guru.
Sejak awal berdiri hingga memasuki dekade 1980-an, guru-guru masih tinggal di mes di halaman sekolah. Hal ini memungkinkan konsep pengajaran pengasuhan yang tidak terikat jadwal. Guru tinggal di lingkungan sekolah dan pintu rumah-rumah sederhana itu terbuka sepanjang hari dan malam.
Anak-anak Desa Batungsel datang dengan hormat belajar pada malam hari diterangi lampu strongking atau patromaks. Guru-guru yang Sebagian besar datang dari desa-desa di dataran Tabanan dan desa-desa di Kecamatan Penebel, menetap di Desa Batungsel karena keterbatasan transportasi dan jalan Antosari Pupuan masih berlobang, berkerikil dan berbatu kali.
Para guru akan meninggalkan sekolah ketika hari libur. Anak-anak dan orang tua siswa melepas di depan halaman sekolah yang tepat dilewati oleh jalan raya, tempat bus bercasis kayu jati jawa ”Manis”, ”Suci”, “Gunung Sari”, dan ”Jase” lewat.
Mereka mungkin sedih karena guru-guru itu kembali ke desanya. Namun ini hanya untuk sesaat. Ketika masa liburan sekolah usai, guru-guru kembali ke Desa Batungsel. Anak-anak bersiap menyambut di tempat yang sama. Beberapa hari sebelumnya, mereka kerja bakti untuk merapikan mes guru-guru mereka.
Demikianlah, anak-anak itu kembali ceria menyambut guru-guru dan hari-hari dalam belajar yang indah.
Pada tahun 1976 gempa hebat menggetarkan Kota Seririt. Desa-desa di Kecamatan Pupuan, termasuk Batungsel terkena dampaknya. Beberapa rumah beton yang dibuat dari campuran pasir dan kapur roboh. Demikian pula SD Negeri 1 Batungsel. Betapa gembira rasanya karena gempa itu telah “menghadiahi” libur bagi saya. Namun demikian, hal ini tidak berlangsung lama karena pemerintah dengan cepat mendirikan seolah darurat di Arena (sekarang menjadi Balai Serba Guna atau GOR, satu kompleks dengan Kantor Kepala Desa).
Namun beberapa bulan sebelum gempa, pada suatu pagi yang dingin saya mendengar lagu aneh namun mencekam jiwa anak-anak yang tidak dengan cepat dapat mengerti, kegiatan apa ini. Kelak secara baru mengerti itu adalah upacara bendera dan lagu itu adalah Indonesia Raya. Tapi itulah lagu Indonesia Raya yang paling menggetarkan jiwa. Nada-nada lagu ini menggema memenuhi semesta jiwa.
Saat itu masih belum paham sekolah dan kegiatan-kegiatannya, hingga akhir kelas III; selain buku dan kegiatan nulis yang sangat kontras dengan kehidupan di desa: tanah, air, lumpur, duri-duri dapdap oong di kebun kopi. Masih belum bisa membaca dan berhitung. Untuk ini harus ditebus dengan rasa malu karena setiap pagi berdiri di depan kelas. Sekolah hanyalah siksaan jiwa. Hanya ada daya tahan yang besar untuk tidak berlari dari sekolah.
Tekanan dan siksa akibat tidak paham angka dan huruf, diabaikan oleh guru. Dan, harus bisa baca dan berhitung sendiri! Tebersit di hati satu cita-cita luhur pada rentang tiga setengah tahun awal di SD, untuk hanya bisa baca. Ini adalah tiket disayangi guru. Memang sangat terlambat mendapatkannya. Baru bisa baca dan masih mengeja ketika di awal kelas IV. Tapi ini jadi titik penting. Guru-guru mulai memberi perhatian.
Memang ada kenangan buruk ketika di kelas awal di SD 1 Batungsel. Selalu mengalami perundungan dari teman sebaya atau kakak kelas. Mereka mengolok-olok dan guru-guru bergeming.
Satu peristiwa yang tidak pernah hilang dalam ingatan tentu saja saat punggung dipukul oleh Ibu Dewa Sukarni. Kelas dua kala itu, masih belajar di sekolah darurat dengan lantai kela debu kemarau dan banyak bangku hancur oleh gempa sehingga beberapa anak tidak kebagian bangku atau tempat duduk. Hanya ada meja dan sepanjang waktu berdiri.
Dalam pelajaran berhitung yang cara menjawab perkalian salah di mata Ibu Dewa Sukarni, punggung dipukul beberapa kali ”buk, buk, buk”. Air mata tertahan karena malu jika sampai menagis di hadapan teman-teman karena akan menerima perundungan dari mereka lagi. Dan, celana basah karena tidak kuat menahan rasa sakit dan hentakan yang sama sekali tidak terduga.
Hari-hari di SD 1 Batungsel penuh dengan perjuangan untuk mendapat perhatian para guru. Namun guru-guru selalu berpaling ke lain siswa: yang pakaiannya bersih, pintar, dan orang tuanya dikenal kaya.
Ingin rasanya dipilih dalam berbagai kegiatan lomba di kecamatan dalam hari-hari perayaan tetapi ini tidak pernah tercapai. Demikian pula saat ada lomba patung pasir di Pantai Soka. Membayangkan laut adalah kemewahan besar bagi anak gunung. Maka besar harapan untuk kali ini saja terpilih jadi tim lomba. Setiap sore berlatih bersama teman di genangan pasir lapangan lompat jauh/tinggi. Memang bukan tim inti. Namun sangat rajin membantu teman yang mengerjakan patung pasir bersosok kuda tidur.
Dengan itu, boleh jua kiranya berharap bisa ikut ke Pantai Soka. Dua hari menjelang lomba, Pak Wayan Landra mengumumkan siapa-siapa yang dipilih. Mendebarkan dan ada sedikit harapan untuk ikut karena saking rajinny ikut persiapan. Sudah bisa ditebak, tidak dipilih! Balik ke rumah dengan tidak boleh ada rasa kecewa. Pak Wayan Landra sama sekali tidak memikirkan luka di hati seorang siswa.
Rasa ketidakadilan sebagai siswa memang menjadi bagian yang panjang ketika di SD 1 Batungsel. Pasti ini juga sering terjadi namun hari-hari belakangan dengan perubahan paradigma pendidikan, tentu pengalaman buruk tidak dirasakan oleh siswa. Siswa membutuhkan keadilan, komunikasi yang nyaman, ketulusan; bukan ilmu pengetahuan dari guru karena mereka bisa mendapatkan dengan mudah jika telah hebat membaca dan berhitung.
Memang akhirnya SD 1 Batungsel menjadi satu titik perubahan besar dalam hidup siapapun warga desa. Di sinilah awal mengenal buku mengenai ”ular”, ”burung-burung padi”, “cara membuat film”, hingga “kisah Nabi Ibrahim” atau menulis puisi tentang ”sebatang pohon cemara”. Majalah Si Kuntjung mengenalkan dengan kisah ”Di Rumah Nenek Limbak”. Demikian pun rasa kagum kepada kawan-kawan yang hebat.
Semua kenangan manis dan pahit menjadi muatan dalam gerbong jiwa para siswa yang bergerak ke masa depan. Selamat ulang tahun ke-80 SD 1 Batungsel. [T]