SECARA PRAGMATIS, manusia adalah subjek yang memiliki dualitas perasaan, yaitu positif dan negatif, yang memiliki rentang di antaranya serta tidak hitam putih.
Secara instingtual, manusia akan menjauhi perasaan negatif–yang identik dengan ancaman–seperti tertekan, cemas, sedih, atau hal yang senada, dan mencari kondisi yang menimbulkan perasaan positif seperti bersemangat, senang, atau hal yang serupa.
Munculnya perasaan sering kali terkait dengan faktor eksternal. Misalkan, perasaan negatif yang muncul saat manusia berada pada keadaan yang mengancam, atau perasaan positif yang muncul pada saat berada pada kondisi yang menguntungkan.
Jika dilihat dari sudut pandang di atas, maka perasaan negatif pun tetap memiliki fungsi sebagai alarm untuk menghindarkan manusia dari kondisi yang secara nyata mengancam dirinya. Dari hal ini pula, dualitas perasaan adalah salah satu hal yang membuat manusia bisa bertahan hingga saat ini. Sebagai invidu dan kesatuan spesies.
Sejalan perkembangannya, perasaan dapat muncul dengan otomatis dan tidak serta merta terkait dengan faktor eksternal yang signifikan. Hal tersebut terjadi akibat munculnya kesimpulan prematur tanpa dipicu faktor eksternal yang cukup logis.
Contohnya adalah kasus fobia, gangguan stres paska trauma, gangguan panik, ataupun gejala depresi pada bipolar. Pada kondisi tersebut, tentu saja perasaan negatif benar-benar berefek buruk bagi manusia.
***
Sejalan dengan perkembangan zaman, kondisi manusia masa kini disinyalir jauh lebih stabil jika dibandingkan dengan masa lalu. Kecukupan makanan, fasilitas, dan ketersediaan segala sesuatu untuk mempertahankan manusia sebagai individu dan spesies jauh lebih baik.
Dengan adanya kondisi tersebut, perasaan negatif yang awalnya bertujuan untuk menghindari ancaman sudah tidak terlalu diperlukan. Lagi pula, logika yang jitu sudah cukup untuk membuat manusia bertahan hidup. Kondisi tersebut mempersilakan ruang yang lebih banyak bagi manusia untuk meninggalkan perasaan negatif dan fokus dalam memunculkan perasaan positif. Lalu, bagaimana caranya?
Jika dilihat dari faktor eksternal, perasaan positif dapat ditimbulkan dari banyak hal: barang-barang terbaru, pencapaian, kepemilikan, atau hal-hal yang senada. Jika dilihat dari faktor internal, perasaan positif terbentuk akibat dopamin yang dipancarkan dari ventral tegmental area ke striatum–sering kita sebut dengan jaras mesolimbik.
Di masa kini, cara lazim yang digunakan untuk memunculkan perasaan positif dilakukan dari luar ke dalam–dengan mengubah faktor eksternal yang nantinya akan membuat faktor internal mengikuti–atau dengan merekayasa langsung di pusat kebahagiaan itu sendiri: sistem saraf dan neurotransmiter.
Tetapi, apakah sesederhana itu?
Ternyata, perasaan positif juga memiliki titik jenuh. Titik jenuh tersebut akan berujung pada kebosanan dan membuat manusia mencari level kesenangan yang lebih tinggi. Hal yang serupa dengan adiksi, yang melibatkan jaras mesolimbik yang sama. Lagi dan lagi. Tidak ada habisnya.
Oleh karena itu, pencarian manusia untuk memunculkan perasaan positif dan menghilangkan perasaan negatif secara permanen terus dilakukan.
Jika menggunakan sains sebagai kendaraan, bukan tidak mungkin, pada akhirnya otak dapat direkayasa sehingga muncul perasaan positif yang permanen tanpa terus mencari tingkatan yang lebih tinggi. Perasaan negatif pun dapat dihapus dari otak manusia. Seperti yang disampaikan Yuval Noah Harari mengenai tesisnya tentang masa depan manusia di buku Homo Deus.
Dan, apakah berhenti di situ?
Bagaimana jika ramalan tentang masa depan tersebut hanya akan mengubah manusia menjadi robot? Sebab, manusia bisa disebut manusiawi karena memiliki perasaan yang naik turun silih berganti. Bisa jadi, ketiadaan naik-turunnya perasaan akan membuat manusia kehilangan identitas akan dirinya sebagai manusia.
Adanya tindakan untuk menghindari perasaan negatif dan mencari kutub positif–kembali lagi–pada akhirnya adalah penanda bahwa manusia masih hidup.
Menyadari bahwa ada perasaan negatif dan positif yang datang dan pergi silih berganti tanpa terikat pada kedua kutub adalah penanda bahwa manusia tetap berada pada kesadaran—kesadaran sebagai manusia yang tercerahkan.
***
NB: Perasaan adalah hal abstrak dan penamaannya tergantung pada tindakan logika untuk mewakilinya. Walaupun demikian, pada tulisan ini penamaan tersebut tidak dapat terhindarkan agar komunikasi antar penulis dan pembaca dapat terjalin.[T]