Luh Putu Sendratari dikukuhkan menjadi guru besar bidang kajian budaya di kampus Undiksha Singaraja, Kamis 30 Maret 2023. Ia menyampaikan orasi ilmiah tentang ilmu dan fenomena yang selama ini diminatinya dengan serius: feminisme, lingkungan dan kearifan lokal. Inilah orasi ilmiah yang disampaikan saat pengukuhan itu yang dengan sengaja diturunkan pada seputaran Hari Kartini, 2023.
[][][]
PERBINCANGAN tentang isu-isu lingkungan tidak pernah surut dari masa ke masa. Hiruk pikuknya isu-isu lingkungan tak pelak muncul dalam pemberitaan media massa. Misalnya Sasyi dalam m.click.id (22/04/2021) menyoroti tentang pentingnya memperingati hari Lingkungan Hidup Sedunia di tengah-tengah lesunya kondisi lingkungan yang menopang kehidupan.
Dewasa ini diakui bahwa planet bumi kita bermasalah, dengan melansir Plastic Collectors dapat diketahui bahwa ada lima masalah lingkungan yang harus dijadikan fokus di tahun 2021 yaitu: (1) polusi udara; (2) deforestasi; (3) pencemaran air; (4) penipisan lapisan ozon; (5) hilangnya keanekaragaman hayati (https://m.clicks.id/read/OLzqX6-5-masalah-lingkungan-ini-disebut-harus-menjadi-fokus-dunia-2021. Diakses, 05/03/2022).
Pentingnya masalah lingkungan di bicarakan dewasa ini ditegaskan pula dalam pemberitaan Kompas (https://www.kompas.com/skola/read/2021/11/01/163000769/apa-masalah-lingkungan-yang-terjadi-saat-ini-, diakases, 05/03/2022) dikarenakan permasalahan lingkungan bukan hanya menimbulkan dampak negatif bagi sebagian orang, tetapi seluruh manusia di bumi. Belum lagi, mayoritas masalah lingkungan disebabkan oleh aktivitas manusia yang tidak peduli lingkungan.
Dari situs lingkungan hidup Kabupaten Buleleng diperoleh pemetaan masalah lingkungan hidup yang terjadi saat ini: (1) polusi air, udara dan tanah; (2) hutan gundul; (3) menipisnya sumberdaya alam; (4) punahnya flora dan fauna. Munculnya masalah-masalah lingkungan tersebut dapat dijadikan indikator adanya ketidakselarasan kehidupan manusia dengan alam.
Padahal, keselarasan tersebut menjadi ukuran untuk mendapatkan hidup yang berkualitas di muka bumi (https://www.kompas.com/skola/read/2021/10/13/100000569/cara-hidup-selaras-dengan-alam-dan-pengaruhnya-bagi-kesehatan-manusia. Diakses 05/03/2022).
Berpijak atas maraknya isu-isu lingkungan, kiranya menjadi relevan dan urgen untuk menghadirkan spirit ekofeminisme. Apa pentingnya bicara ekofeminisme ? Ekofeminisme menjadi urgen di tengah-tengah adanya kritik terhadap peradaban manusia modern (laki-laki – perempuan) yang cenderung ingin menguasai, mendominasi, dan mengeksploitasi sehingga menimbulkan kerusakan lingkungan dan menurunkan solidaritas sosial (Siti Fatimah 2017:8).
Mengacu pada Capra (dalam Keraf,2014:126) ekofeminisme yang berseru tentang budaya ramah lingkungan akan bisa dijadikan wahana menuju melek ekologi atau ecoliteracy yaitu manusia yang digambarkan telah memiliki kesadaran tinggi tentang pentingnya lingkungan hidup. Dalam kaitan ini menarik pula dijadikan bahan renungan tentang kritik yang dikeluarkan oleh W. Durant (2007:142-143) tentang perubahan akibat modernisasi.
TITIK PIJAK KONSEP DAN JELAJAH PEMIKIRAN EKOFEMINISME
Ekofeminisme merupakan gabungan dari dua kata yaitu ekologi dan feminis. Istilah ekologi berasal dari bahasa Yunani oikos yang artinya rumah tempat tinggal laki-laki dan perempuan, hewan, air, udara, tanah dan matahari (Isshiki, 2000).
Sementara, latar belakang munculnya feminisme dimaksudkan untuk mengkritik adanya ketimpangan berbagai tindakan diskriminatif, penindasan maupun kekerasan terhadap perempuan. Antara gerakan ekologi dan ekofeminisme memiliki tujuan yang sama dan saling memperkuat untuk tidak menyetujui adanya praktek dunia yang patriakhi dan dominatif (Astuti, 2012:51). Dengan kata lain gerakan ekologi dan gerakan feminis memiliki tujuan yang sama yaitu mengkritisi kompetisi, agresi dan dominasi yang dihasilkan oleh ekonomi modern dan menjadi gerakan pembebasan.
Ekofeminisme adalah istilah yang muncul pertama kali pada tahun 1974 dalam buku Francoise d’ Eabonne yang berjudul Le Feminisme ou la mort. Inti karnya ini menjelaskan adanya hubungan langsung antara opresi terhadap perempuan dan opresi terhadap alam. Menurut Gadis Arivia (2017) untuk memahami posisi ekofemisme di tengah kerangka besar teori lingkungan maka ada tiga hal yang harus diperhatikan yaitu.
Pertama, ada sebuah pertimbangan moral bahwa manusia sebagai makhluk yang memiliki kesadaran mempunyai tanggung jawab moral terhadap yang nonmanusia (termasuk alam, hewan, dsb). Kedua, alam harus dianggap sebagai subjek yang memiliki rasionalitas, bahasa dan jiwanya sendiri agar kita bisa memahami alam sebagai sebuah subjek, bukan objek. Ketiga, ada nilai intrinsik dan ekstrinsik pada alam sehingga kita bisa memahami alam sebagai sebuah subjek karena alam secara langsung memberikan pengaruh yang besar terhadap hidup kita.
Ekofeminisme sebenarnya tergolong paradigma radikal dari teori lingkungan arus utama. Sifat radikal yang termuat dalam ekofeminisme dapat dilacak pada enam konsep dasar radikal, yaitu: Pertama, kehidupan sebagai yang aktif, interaktif, prokreatif, relasional, kontekstual. Kedua, alam harus keluar dari keterjebakan moral antroposentris. Ketiga, alam selalu hadir dalam kondisi manusia. Keempat, hubungan nonhierarkis antara alam dan manusia. Kelima, hubungan nondominasi karena hierarki adalah konstruksi sosial. Keenam, otherness sebagai yang setara. Enam konsep dasar ini menurut Gadis yang membuat ekofeminisme menjadi berbeda dengan teori lingkungan arus utama lainnya. Ekofeminisme sesungguhnya adalah cara pandang menganalisis persoalan lingkungan hidup dengan menggunakan pisau analisis feminis.
Pijakan yang kuat atas konsep ekofeminisme akan berakar kuat saat dicari pada landasan filosofis pada aspek ontologis, epistemologis dan aksiologisnya(Su1iantoro, 2011:112-113). Pada aspek ontologisnya Ekofeminisme memandang keberadaan manusia dengan seluruh isi kosmos merupakan “ada yang berelasi”. Seluruh unsur yang ada di dalam kosmos tidak dapat hidup tanpa berelasi satu dengan yang lain. Manusia secara ontologis tidak mungkin hidup terpisah dengan makhluk yang lain. Ekofeminisme mengembangkan relasi saling ketergantungan antara manusia dengan seluruh unsur kosmis tanpa harus jatuh ke dalam relasi penindasan. Gerakan ekofeminisme menyeberluaskan penyadaran akan adanya tali temali seluruh komos, the cosmic interwovenness, the interconnectednes of all (Banawiratma, 1997).
Kedudukan manusia dalam keseluruhan struktur kosmis merupakan satu keluarga. Manusia bukan penguasa alam melainkan anggota bagian dari alam. Keberadaan sesama sebagai saudara maupun saudarinya yang saling memperkaya (Shiva, 1993). Rekonstruksi landasan ontologi pemikiran ekofeminisme terhadap alam dan manusia dilakukan dengan cara mengubah paradigma berpikir ontologi dualistik-dominasi dalam pemikiran patriarkhi harus diubah menjadi ontologi nondualistis-nonhirakhispartisipatif. Perspektif ekofeminis memandang dua hal yang berbeda tidak harus saling dipertentangkan melainkan dapat dijalin kerjasama yang harmonis.
Landasan epistemologis ekofeminisme mempersoalkan tentang tata cara pengetahuan dikelola. Pengetahuan merupakan kekuatan yang dapat membentuk watak dan ciri khas kebudayaan. Melalui pengetahuan manusia dapat membudayakan diri, sesama dan lingkungannya. Pengetahuan merupakan salah satu dasar kebudayaan manusia, untuk itu pengembangan pengetahuan harus berada pada jalur tanggung jawab budaya (kultural) (Meliono, 2009).
Ekofeminisme menolak titik tolak pandangan Francis Bacon tentang proses pengenalan pengetahuan. Semboyan Bacon yang terkenal “Science is power” menjadikan aktivitas mengetahui mengarah pada proses menguasai. Kegiatan mengenal yang ditujukan untuk menguasai merupakan aktivitas yang tidak manusiawi karena dapat memunculkan logika penindasan dan eksploitatif. Aktivitas mengetahui dan mengenal yang kreatif dan manusiawi adalah mengagumi. Dasar dari suatu proses mengenal, mengetahui, mencari tahu tentang sesuatu adalah kekaguman. Kekaguman merupakan ibu segala ilmu pengetahuan (Woi, 2008).
Kekaguman merupakan titik awal untuk memahami realitas sosial maupun alam semesta secara konstruktif dan positif. Nilai-nilai yang diasosiasi sebagai karakter yang melekat pada perempuan seperti memelihara ,menjaga, merawat, berbagi, kerjasama, relasional, solidaritas merupakan sesuatu yang mengagumkan apabila dapat dijadikan dasar pengembangan epistemologi. Angela Miles memasukkan nilai-nilai dan aspek-aspek feminimitas (integrative feminisme) dalam proses konstitusi pengetahuan. Nilai-nilai feminimitas seperti memelihara, menjaga, relasional, kerjasama, berbagi, cinta, solidaritas dijadikan norma-norma dalam epistemologi feminis (Hidayat, 2006).
Pada aspek aksiologi akan mengakar pada prihal kegunaan ekofeminisme. Kegunaan jelas menuju pada pelestarian lingkungan dengan menggunakan frame feminitas. Tradisi dan nilai-nilai yang melekat dan diperjuangkan perempuan dianggap memiliki peringkat yang lebih baik dibandingkan dengan lakilaki, sehingga nilai-nilainya dapat diadopsi bagi penataan lingkungan. Budaya patriarkhi mengutamakan kekuasaan dan merusak, sedangkan budaya matriarkhi mengutamakan kelembutan dan relasi emosional akan menjadikan hutan lebih terawat dan terjaga kelestariannya (Hum, 2000).
Laki-laki maupun perempuan dituntut kesadaran dan tanggung jawabnya terlibat dalam pelestarian lingkungan. Mereka hendaknya mengembangkan sikap dan pemikiran berhati ibu (Henrika, 2008). Panggilan berhati ibu ditandai dalam hidupnya mengembangkan nilai-nilai: hormat terhadap kehidupan (pro-life) , pengurbanan (rela berkurban demi kebaikan dan kesejahteraan bersama), kecantikan (membuat lingkungan sosial maupun ekologis semakin indah), kedamaian (menciptakan rasa nyaman dan aman bagi sekitarnya) dan kasih sayang (memberikan hidupnya bagiperkembangan kepribadian sesama maupun lingkungannya).
Jadi, Ekofeminisme merupakan sebuah pertemuan antara gerakan ekologi dan feminisme. Ekofeminisme melihat masalah sosial, kultural dan struktural, yang berupa dominasi yang sangat kuat dalam relasi antarkelompok manusia (ras, etnik, negara, bangsa, agama, seks, jender) dan relasi antarmanusia dengan alam-lingkungannya yang mengakibatkan banyaknya penderitaan bagi manusia itu sendiri, yang berupa perang maupun kehancuran lingkungan hidup. Dalam perspektif ekofeminisme, krisis ekologis, sosial dan politik dewasa ini disebabkan tidak adanya keadilan, perdamaian dan khususnya penghormatan dan penghargaan terhadap ciptaan.
Menurut seorang ekofeminis, Karen J. Warren, hal ini tidak mengherankan mengingat bahwa masyarakat kita dibentuk oleh nilai, kepercayaan, pendidikan, tingkah Iaku yang memakai kerangka kerja patriarki. Asumsi yang bekerja pada budaya patriarki adalah : 1) Identifikasi perempuan dengan fisik dan alam; 2) Identifikasi laki-laki dengan intelektual; 3) asumsi dualistik pada inferioritas fisik dan superioritas mental. Warren. sangat yakin bahwa cara berpikir hirarkis, dualistik, dan menindas adalah cara berpikir maskulin yang telah mengancam keselamatan perempuan dan alam.
Ekofeminisme memiliki nilai lebih karena tidak hanya memfokuskan diri pada subordinasi perempuan, tetapi juga subordinasi alam-lingkungan (ekosistem) di bawah kepentingan manusia. Ekofeminisme mengkritisi pilar-pilar modernisme yakni “antroposentrisme” (faham yang menempatkan posisi dan kepentingan manusia lebih di atas kepentingan makhluk lain) dan “androsentrisme” (faham yang menempatkan posisi dan kepentingan laki-laki lebih tinggi dibandingkan dengan posisi dan kepentingan kaum perempuan) (Wahyuni, 2019).
Moralitas antroposentris adalah etika yang bersifat sangat instrumentalis di mana pola hubungan antara manusia dan alam hanya dilihat dalam relasi instrumentalnya. Artinya, alam tidak diletakkan sebagai tujuan tindakan sosial manusia melainkan sebagai nilai alat kepentingan manusia. Kekayaan alam semesta yang ada di lingkungan hidup tidak lebih dipandang sebagai alat untuk menggapai kesejahteraan manusia. Wujud dari antroposentris dalam bentuk manusia yang berkarakter pembuka dan pendobrak lahan baru (Keraf, 2010). Antroposentrisme adalah teori etika lingkungan hidup yang memandang manusia sebagai pusat dari sistem alam semesta. Pandangan ini diikuti oleh pemikiran bahwa dunia diciptakan hanya untuk dan bagi kepentingan manusia (Haskarlianus Pasang,2011:10 Permana, 2020).
Vandana Shiva yang merupakan salah satu tokoh ekofeminisme lebih memfokuskan gagasannya pada prinsip maskulinitas dan prinsip feminitas, yang merupakan ideologi yang kontradiktif. Feminitas sebagai ideologi yang berciri kedamaian, kesalamatan, kasih dan kebersamaan, sedangkan maskulinitas memiliki karakter persaingan, dominasi, eksploitasi dan penindasan. Sebagai prinsip, feminitas tidak mesti hanya dimiliki oleh kaum perempuan, begitu juga maskulinitas tidak serta merta hanya dimiliki oleh laki-laki. Pada kenyataannya banyak sekali kaum perempuan dan bahkan aktivis perempuan yang menganut ideologi maskulinitas.dimiliki oleh laki-laki. Pada kenyataannya banyak sekali kaum perempuan dan bahkan aktivis perempuan yang menganut ideologi maskulinitas (Tong, 2010:87).
Cara berpikir maskulin dicirikan oleh kecenderungan rasional, kompetitif, agresif, dan dominatif. Prinsip ini berbeda dengan Shiva, yang menganut prinsip feminine, dimana manusia yang feminine lebih bersifat intuitif, lebih senang berkoordinasi dan bekerja sama serta lebih condong memelihara dan merawat. Pembangunan pun acapkali dituduh mendorong manusia melakukan langkah eksploitatif terhadap alam. Dalam konteks ini, demi pembangunan alam di ekploitasi sebesar-besarnya untuk pemenuhan kebutuhan manusia, tanpa memperhitungkan bahwa alam memiliki kehidupan yang seharusnya dihargai dan dirawat. Dorongan untuk menghargai dan merawat alam disebut dengan ekofeminisme – sebuah cara berpikir yang mengadopsi pensifatan feminin dalam memberlakukan alam lingkungan (Muryani, 2017::iii)
Menurut Tong (2010:398) ada tiga aliran ekofeminisme yaitu:
1) Ekofeminisme alam atau sering juga disebut sebagai ekofeminisme kultural menganggap perempuan adalah bagian dari alam, yakni sebagai makhluk ekologis yang unik. Ekofeminis alam meyakini bahwa sifat-sifat peduli seperti merawat, mengasuh dan lainnya yang secara tradisional dihubungkan dengan perempuan dan dilekatkan sebagai nilai dan citra perempuan adalah merendahkan perempuan.
2) Ekofeminisme spiritual meyakini bahwa kebudayaan yang memandang tubuh perempuan dan alam sebagai yang sakral, dengan menggunakan analogi peran perempuan secara biologis seperti “ibu pertiwi” dan peran secara arketipikal (dasar) “ibu kelahiran”, maka peran perempuan dan alam. Ekofeminis spiritual cenderung memfokuskan untuk penyembahan dewi-dewi kuno dan ritual penduduk asli Amerika yang beroriensi pada bumi. Ekofeminis spiritual menggunakan “teknik pembangunan komunitas” sebagai pertunjukan seni, observasi kinetis (menari dan menyanyi), dan ritual
3) Ekofeminisme sosial-konstruksionis menolak anggapan bahwa perempuan secara “alamiah” memiliki sifat peduli dan pengasuh, tapi sebaliknya karakteristik perempuan merupakan produk enkulturalisasi dan sosialisasi.
Ekofeminisme memiliki misi atau tujuan yang strategis terkait penghapusan dominasi atau penindasan bagi perempuan dan alam. Ekofeminisme memiliki kelebihan yaitu mampu menerangkan latar belakang subordinasi perempuan serta kerusakan lingkungan hidup global. Artinya, ekofeminisme hadir dengan perspektif baru yang integratif serta ramah terhadap perempuan dan alam (Isshiki, 2000; Harper, 2004; Wulan,2007)
JELAJAH EKOFEMINISME
Jelajah ekofeminisme ditemukan dalam wujud Gerakan Ekofeminisme yang dipelopori oleh kaum perempuan. Berikut jejaknya berupa aksi-aksi heroik yang dilakukan di berbagai belahan dunia, termasuk Indonesia. Beberapa contoh yang tindakan heroik berikut ini.
Tindakan Heorik I : Gerakan Chipko
Pada Maret 1974, dipimpin oleh seorang kepala desa bernama Goura Devi, sebanyak 27 perempuan desa turun ke jalan menolak penebangan hutan di Desa Reni, Uttarakhand, salah satu negara bagian India. Gerakan ini disebut dengan Gerakan Chipko (Gerakan Memeluk Pohon). Tindakan berontak kepada perusahaan pembuat raket tenis yg menebang hutan. Kemarahan warga atas tindakan eksploitatif terhadap alam.
Mereka berhadapan langsung dengan penebang yang hendak memangkas 2.500 pohon di hutan dekat desa mereka. Para wanita, dalam protes damai, memeluk pohon-pohon untuk mencegah penebangan. Mereka berjaga sepanjang malam, menjaga pohon dari penebang sampai beberapa dari mereka, tidak dapat melakukan apa-apa lalu meninggalkan desa. Akhirnya setelah bertahan selama empat hari, kontraktor penebang pergi. Para perempuan Reni berhasil mengusir para pekerja kontraktor pada 26 Maret 1974. (Siti Nurhaliza Bachril, https://eksepsionline.com/2020/08/23/gerakan-chipko-dan-wajah-ekofeminisme-di-indonesia/ Diakses 26 Januari 2023)
Gerakan ini dilakukan tanpa kekerasan untuk melawan kekerasan., yang dalam bahasanya James Scott (2000): protes gaya petani. Dalam konteks tanpa kekerasan, sesungguhnya menjadi basic dari pemahaman tentang cara-cara perlawanan yang mengedepankan karakter feminin dalam melakukan perlawanan atas sesuatu yang tidak dikehendaki. Gerakan ini yang semula aksinya muncul di India, pelahan namun pasti, akhirnya tampak juga di Indonesia
Tindakan Heroik II : Aksi Heroik Mama Aleta
Gunung Mutis yang terletak di Molo Utara, Nusa Tenggara Timur menjadi saksi atas lahirnya sosok Mama Aleta yang menjadi pelopor perlawanan terhadap perusahaan tambang yang dinilai hendak merusak kesakralan hutan Gunung Mutis. Tindakan perlawanan dilakukan dengan mengajak ratusan ibu-ibu di desanya melawan dengan cara menenun di lokasi pertambangan. Tindakan itu dilakukan dari sejak tahun 1996.
Mama Aleta bersama para mama di daerah tersebut menenun di celah-celah gunung batu yang sebenarnya merupakan lokasi pertambangan. Para mama menenun dari pagi hingga sore, sementara pada malam harinya para bapak yang tidur ditempat tersebut. Mama Aleta mengatakan bahwa cara berunjuk rasa ini berangkat dari lambang bumi sebagai tubuh manusia yang membutuhkan pelindung berupa kulit.
Jadi jika bungkusan kulit diambil, bumi akan merasa dingin pada malam hari dan kepanasan di siang hari. Karena bumi ditelanjangi, para mama harus menenun sebagai ungkapan dan protes agar bumi jangan ditelanjangi. Tindakan melawan itulah yang menjadi inti dari jiwa feminis yang menuntut adanya pemikiran ulang tentang relasi manusia dan alam yang dilandasi dengan prinsip tidak menyakiti satu sama lainnya, sama halnya dengan relasi perempuan dan laki-laki.
Tindakan heroik III : Kartini Kendeng
Sembilan perempuan Kendeng, Jawa Tengah dengan wajah yang sangat natural, layaknya perempuan desa pada umumnya, tanpa make up ternyata mampu mencatat sejarah tentang aksi heroik ekofeminisme yang sanggup menghentak kesadaran pentingnya melawan ketidakadilan yang dirasakan akan merugikan kelangsungan hidup bumi tempat mereka menggantungkan hidup.
Pada bulan April 2016 sembilan perempuan Kendeng melakukan aksi protes di depan istana negara Jakarta. Menariknya, kesembilan perempuan ini, melakukan aksi protes dengan cara menyemen kakinya. Hal ini sebagai perwujudan protes terhadap ijin pemerintah dalam pendirian pabrik semen di Kendeng. Tindakan ke sembilan ibu-ibu ini jelas merupakan sindiran yang secara semiotik dapat terbaca bahwa menyemen kaki sama halnya dengan memasung gerak, kreativitas dan sekaligus menghentikan kehidupan.
Bagi mereka, bumi yang rusak tak ubahnya ibarat lonceng kematian. Bumi bagi mereka adalah urat nadi kehidupan, sehingga wajib untuk dipelihara, bukan dirusak karena alasan dorongan hasrat manusia. Inilah pemikiran yang prinsip bagi mereka, sehingga tindakan yang mereka lakukan digolongkan sebagai gerakan ekofeminism (Siti Nurhaliza Bachril, https://eksepsionline.com/2020/08/23/gerakan-chipko-dan-wajah-ekofeminisme-di-indonesia/ Diakses 26 Januari 2023)
Aksi-aksi yang menunjukkan penolakan terhadap eksploiatsi lingkungan terjadi pula di Bali. Misalnya, Penolakan Reklamasi Teluk Benoa. Para aktivitis lingkungan di Bali memprakarsai penolakan atas rencana reklamasi yang dilandasi atas hasil pencermatan kritis kondisi geofisikal maupun latar sosial budaya yang terdapat di teluk Benoa, Bali Selatan. Alasan utama penolakan di samping persoalan perizinan, namum hal yang pali mendasar munculnya gerakan ini karena alasan wilayah merupakan wilayah konservasi.
Penolakan proyek geothermal di wilayah Bedugul, Tabanan yang letaknya sangat berdekatan dengan gunung Batu Karu adalah contoh lain dari gerakan moral yang mengandung spirit ekofeminisme. Gerakan moral tersebut dapat pula dibahasakan bahwa penolakan tersebut adalah representasi atas cara manusia Bali menyayangi Ibu Pertiwi. Dorongan merawat alam Bali lewat gerakan moral semacam ini sekaligus mengirim pesan agar pembangunan di Bali memperhitungkan pula pelestarian alamnya.
Teriakan lantang yang mengemuka atas penolakan tersebut; “Kami lebih butuh air daripada listrik”; “Kami butuh listrik yang tidak merusak lingkungan” ( https://news.detik.com/berita/d-426454/masyarakat-bali-demo-tolak-pembangunan-geotermal. Diakses 19/3/2023). Penolakan pembangunan proyek geothermal yang dimulai tahun 2005 oleh pemerintah propinsi Bali melalui Gubernur Bali hingga saat ini dilakukan untuk mengkomodasi aspirasi masyarakat Bali.
SPIRIT EKOFEMINISME DALAM PAYUNG KEARIFAN LOKAL
Pengembangan pemikiran tentang spirit ekofeminisme tampaknya sejalan dengan perbincangan tentang kebangkitan spiritualitas dalam ramalan oleh John Naisbiit dan Patricia Aburdenen dalam Megatrends 2000 (1990) yang pernah mencatat adanya gelagat kebangkitan spiritualitas pada Milenium ketiga. Naisbiit berpandangan, bahwa pada tahun simbolis 2000, umat manusia tidak akan meninggalkan ilmu pengetahuan yang besar; tetapi melalui agama manusia menegaskan kembali aspek spiritualitas dalam apa yang sekarang merupakan pencaharian yang lebih seimbang untuk memperbaiki kehidupan.
Kebangkitan kembali visi spiritual itu rupanya mengisyaratkan adanya pergeseran dalam pandangan dasar tentang dunia, hidup, dan manusia. Semacam pergeseran prioritas nilai dasar, yaitu pergeseran dari pola rasional-ilmiah menjadi pola refleksi-eksistensial; atau dari eksplorasi fakta ke eksplorasi makna. Munculnya pergeseran ini pun tidak bisa dlepaskan dari adanya kritik terhadap kekacauan visi spiritualitas filsafat modern yang berkeyakinan bahwa projek modern menyatakan diri sebagai yang mempunyai tujuan fundamental untuk membebaskan humanitas dari batas-batas natural dan religius lewat sains dan teknologi.
Di sinilah sains dan teknologi menjadi dominan hingga menjadi suatu suatu “religi sekuler modern. Dari sinilah kebudayaan Barat mulai mengalami krisis, karena memutuskan dengan tradisi religius (Siswanto, 2006:230). Ekofeminisme mengusung semangat berbagi layak dikembangkan secara luas. Semangat berbagi ini menjadi dasar untuk bertahan hidup dan membangun segalanya, serta diperlukan hubungan cinta kasih dan keadilan, yang kesemuanya dipanggil untuk membangun kebudayaan dengan gaya hidup yang eco-friendly serta women-friendly (Buckingham, 2004).
Terdapat beberapa hal yang terkandung di dalam spirit ekofeminisme, yakni semangat berbagi, kesetaraan, cinta kasih dan spirit merawat. Spirit semacam ini lazimnya muncul dalam aktivitas keagamaan dan bergandengan dengan kearifan lokal yang menyertai proses pelaksanaannya. Mekanisme perawatan ekofeminisme umumnya dilakukan melalui praktek kearifan lokal. Secara derivasional, istilah kearifan lokal terdiri atas dua kata, yaitu kearifan (wisdom) dan lokal (local).
Kata kearifan berarti “kebijaksanaan”, sedangkan kan “lokal” berarti setempat. Dengan demikian, kearifan lokal dapat dipahami sebagai gagasan-gagasan dan pengetahuan setempat yang bersifat bijaksana, penuh kearifan, bernilai baik, dan berbudi luhur yag dimiliki, dipedomani oleh anggota masyarakatnya. Kearifan lokal itu diperoleh dari tradisi yang diwariskan secara turun temurun untuk menata kehidupan sosial masyarakat (Sibarani, 2012:112).
Di dalam kearifan lokal tercakup berbagai mekanisme dan cara untuk bersikap, berperilaku, dan bertindak yang dituangkan dalam suatu tata sosial. Pada dasarnya ada lima (5) dimensi kultural tentang kearifan lokal, yaitu pengetahuan lokal, budaya lokal, keterampilan lokal, sumberdaya lokal, dan proses sosial lokal (Ife, 2002: 101-102).
Pengetahuan lokal berkaitan dengan data, informasi tentang karakter keunikan lokal serta pengalaman masyarakat untuk menghadapi masalah dankebutuhan serta soluisnya. Keterampilan lokal berkaitan dengan keahlian dan kemampuan masyarakat setempat untuk menerapkan dan memanfaatkan pengetahuan yang diperoleh. Sumber lokal berkaitan dengan ketersediaan akses, potensi dan sumber lokal yang unik. Proses sosial Lokal bertautan dengan bagaimanakah masyarakat tertentu menjalankan fungsi-fungsinya, tindakan sosial yang dilakukan, tata hubungan sosial, serta alat dan kontrol sosial yang bisa berfungsi sebagai lokal genius dan bisa menggerakkan kesadaran kolektif masyarakat unutk hidup bersama secara dinamis.
Kontrol sosial dalam merawat ekofeminisme bertalian erat dengan proses sosial lokal melalui produk mitos. Mitos menurut Barthes adalah sebuah sistem komunikasi, bahwa mitos adalah sebuah pesan. Dalam mitos ditemukan pola tiga dimensi penanda, petanda, dan tanda. Kemudian ideologi, mitos adalah instrumen yang paling tepat bagi pembalikan ideologis. Kemasan ideologi dalam mitos dapat bertalian dengan klasifikasi kearifan lokal yang menurut Sibarani (2012:133) diklasifikasikan menjadi dua, yaitu kearifan lokal untuk (1) kemakmuran atau kesejahteraan dan (2) kedamaian atau kebaikan. Dilihat dari segi wujudnya, kearifan lokal dapat berwujud Kearifan Sosial, Kearifan Budaya dan Kearifan Lingkungan. Spirit ekofeminisme bertalian erat dengan kearifan lingkungan.
Spirit ekofeminisme sebenarnya dapat ditemukan dalam frame kearifan lokal baik yang menyasar pada klasifikasi yang pertama maupun yang kedua. Misalnya, konservasi sumberdaya alam dapat dimasukkan ke dalam kedua klasifikasi tersebut. Konservasi alam merupakan kegiatan menjaga dan melestarikan alam sebagai tempat tinggal manusia. Menjaga alam merupakan salah satu upaya penting agar kita sebagai manusia tetap bisa hidup lama. Konservasi alam adalah filsafat moral dan gerakan konservasi yang berfokus pada perlindungan spesies dari kepunahan, pemeliharaan dan pemulihan habitat, peningkatan jasa ekosistem, dan perlindungan keanekaragaman hayati.
Spirit ekofeminisme yang berpayung kearifan lokal kiranya tidaklah sulit ditemukan pada masyarakat Bali dalam tatanan sosioreligiusnya. Berbagai aktivitas relegi sesungguhnya bermuatan ekofeminisme yang sudah dijalankan oleh masyarakat Bali dalam hitungan puluhan bahkan ratusan tahun silam, dapat dijadikan pijakan bahwa secara konseptual masyarakat Bali sesungguhnya tidaklah asing dengan konsep tersebut.
Spirit ekofeminisme yang sekaligus bermuatan kearifan lokal dalam kehidupan sosioreligius masyarakat Bali di Jagat Upacara acapkali dipadati dengan kemeriahan dan hingar bingar layaknya sebuah pesta yang memberi ruang pada penyaluran hasrat manusia dalam berbagai dimensinya. Padahal, jika dikupas lebih dalam, pesan moral dari sebuah aktivitas relegi yang telah diwariskan secara turun temurun belum menjadi pengetahuan yang komprehensif di banyak kalangan. Beberapa sistem tata kelakuan bermuatan spirit ekofeminisme yang saat ini tetap tetap eksis di Bali dapat dipetakan berikut ini.
Sistem gagasan maupun sistem tata kelakuan yang bermuatan ekofeminisme dalam aktivitas ritual di Bali, jika mengacu pada pemikiran Pangabean, dkk (2014:65-67) tentang religiusitas maka berbagai aktivitas ritual yang dilakukan masyarakat Bali sebenarnya menunjukkan adanya kedalaman penghayatan dan kepercayaan terhadap agama. Dalam kaitan ini, kehadiran mitos akan bisa menjadi perekat yang mengendalikan dorongan manusia untuk merusak isi alam semesta. Dalam mitologi hutan di Bali dikenal adanya tokoh Banaspati sebagai personifikasi mahluk penjaga hutan yang dalam ornamen pada bagian atas gelung kori tempat suci berwujud bhoma berupa kepala raksasa dengan mata melotot dengan dua tangan kanan dan kiri yang siap mencengkram.
Dalam mitologi tentang bhoma, dipercaya bahwa bhoma adalah tumbuhan yang tumbuh dengan subur di tanah pertiwi. Oleh karenanya, mitos ini sangat berpengaruh atas pelestarian hutan di Bali. Dan, menurut Sumadi ( https://baliexpress.jawapos.com/balinese/08/02/2018/bhoma-sosok-penjaga-yang-pantang-diaplikasikan-sembarangan-kenapa/ ) simbolisasi bhoma berkaitan erat dengan konsep Tri Hita Karana terutama pada harmonisasi manusia dengan alam. Simbolisasi bhoma yang bisa dijadikan sebagai alat pengingat bagi manusia Bali. Hal ini relevan dengan pandangan Blumer tentang simbol sebagaimana dikutif oleh Triguna (2000:44) bahwa manusia tidak saja hanya mengenal tanda-tanda alamiah (natural signs), tetapi juga memahami simbol-simbol yang mengandung makna (significant symbols). Simbol memberikan manusia kemampuan “merenungkan” (pause) yang reaksinya untuk mengulangi secara imajinatif,.
Di sisi lainnya, keberadaan mitos di Bali berkaitan dengan tujuan pelestarian hutan dipandang sudah meluntur. Pandangan ini mengemuka pada saat webinar talkshow bertajuk “Mayasa Kerthi: Maguru ring Wana”, yang diselenggarakan oleh Sekolah Tinggi Ilmu Agama Hindu Negeri (STAHN) Empu Kuturan (https://balitribune.co.id/content/eriadi-mitos-melemah-hutan-terancam). Menariknya, dalam webinar tersebut dihadirkan penulis buku Ekologisme Batur: I Ketut Eriadi Ariana, SS (Jero Penyarikan Duuran Batur), seorang peneliti sastra tradisional yang lebih banyak mencurahkan perhatiannya ke ranah ekologi. Pernyataannya yang menggugah dalam webinar tersebut yakni.
“Keberadaan hutan, khususnya di Bali mengalami berbagai macam ancaman, misalnya alih fungsi hutan. Kondisi ini berbanding terbalik dengan tradisi masyarakat Bali yang selalu berupaya berlaku harmonis dengan alam. Bali memiliki pola konservasi lingkungan yang berbasis keyakinan pada mitos tertentu sebagai pelindung lingkungan. Mitos inilah yang kini melemah, sehingga terjadi alih fungsi hutan, dan orang-orang tidak memiliki rasa takut lagi jika masuk dan mengeksploitasi hutan,” katanya.
Hal lainnya yang mengesankan dalam laporan webinar yang sudah dipublikasi ke dalam media sosial adalah paparan sekaligus kritiknya
“Sebagai contoh, teks Kuttara Kanda Dewa Purana Bangsul, merekomendasikan upaya-upaya yang hendaknya ditempuh oleh masyarakat Bali dalam mengelola dan melindungi Sad Kerti dengan pelaksanaan caru. Tradisi menggelar caru kini tampak semakin terkikis dalam hal pemaknaan, sehingga makna inti terkait pemaknaan hutan tidak sampai. Perlu melakukan demitologisasi, di mana mitos-mitos itu diterjemahkan kembali dengan pendekatan-pendekatan yang lebih bisa diterima oleh masyarakat. Bukan mengganti, tapi mentransformasikan mitos tersebut,”
“Selama ini masyarakat Bali mewarisi mitos tentang relasi air Danau Batur dan Pegunungan Kintamani melalui mitos I Ratu Ayu Mas Membah yang ternyata bisa dibaca dan diterjemahkan ke sains modern. Ada penelitian secara geologis yang menyatakan bahwa air yang diserap dari pegunungan Kintamani itu akan muncul dalam radius sekitar 8 km dari bibir kaldera. Hal itu yang menyebabkan kawasan hilir Batur berlimpah air dan melahirkan praktik solidaritas pangan bernama Pasihan Batur”.
“Ia memandang bahwa segala ritus yang hidup di Bali juga menjadi salah satu alat kontrol lingkungan. Upacara Ekadasarudra misalnya, dipandang sebagai alat kontrol lingkungan Bali dalam putaran 100 tahun sekali. Upacara itu mengajak kita untuk mengecek keberadaan lingkungan. Jika salah satu hewan atau tumbuhan yang dibutuhkan sebagai sarana upacara sudah tidak didapat, artinya lingkungan hidup sudah tidak stabil. Jadi, persoalannya bukan semata-mata sarana caru bisa dipenuhi, meski mendatangkan dari daerah lain,”
Rekomendasi yang dihasilkan dalam webinar talkshow ini menguatkan tentang pentingnya menjaga hulu, sebagaimana pesan semiotik dalam buku Ekologisme Batur melalui ritualnya, legendanya, mitos tentang Batur. Oleh karenanya, diingatkan pentingnya belajar tentang masa lalu untuk merajut masa depan, sehingga kesadaran menjaga lingkungan diharapkan semakin tumbuh. Diakui, sekecil apapun sebuah gerakan penyelamatan bumi, pasti ada hasilnya.
Ternyata, perbincangan tentang Ekologisme Batur masih berlanjut. Melalui bedah buku yang diprakarsai oleh Warmadewa Research Centre pada Kamis 20 Mei 2021 semakin menguatkan kognisi pembaca bahwa Batur sebagai hulunya Bali menyimpan spirit ekofeminisme yang luar biasa.
Setidaknya, itulah pernyataan yang keluar dari novelis Kadek Sonia Piscayanti, S.Pd, M.Pd yang berpandangan buku Ekologisme Batur melalui pendekatan ekofeminismenya dapat dibaca secara fisik serta upaya penyelamatan Batur sebagai sumber kehidupan yang mengayomi Bali (E Ariana, https://kabarsiger.com/read/ekologisme-batur-dan-upaya-pemeliharaan-alam-fisik-bahasa-dan-budaya). Melalui pengetahuan simbolik yang terdapat dalam mitos, artefak dan ritus yang dapat didudukkan sebagai kekayaan budaya di wilayah Batur menjadi pertanda bahwa warisan leluhur tersebut perlu diejawantahkan ke dalam aksi nyata.
Jelajah spirit ekofeminisme yang telah diwujudkan dalam sebuah gerakan dapat kiranya ditemui di kawasan pegunungan lainnya di Bali. Saya akan menyebut Gerakan Penyelamat Sumber Air di desa Pedawa, Buleleng Bali yang dilakukan oleh sekelompok anak muda bernama Komunitas Kayoman dan Gerakan Pelestarian Lingkungan berbasis pengelolaan sampah plastik oleh Komunitas Literasi English Corner di Sidatapa.
Aktivitas Kayoman
Aktivitas English Corner (EC)
Edukasi terhadap pengurangan sampah plastik menjadi salah satu misi yang diemban dalam komunitas EC. Hal inipun dikaitkan dengan kepentingan pariwisata yang mensyaratkan terciptanya Sapta Pesona dalam kawasan yang dijadikan tujuan wisata. Berperang melawan sampah digandengkan dengan belajar bahasa inggris menurut Komang Rena (34) sesungguhnya tidaklah gampang dalam menarik warga belajar untuk bergabung. . Dalam mengatasi kesulitan rekrutmen warga belajar EC memiliki jargon propokatif berikut: “Nyen Nyak Mai Ajak, Sing Nyak de Ajake)
Sudah tentunya masih banyak lagi gerakan yang bermuatan spirit ekofeminisme yang telah hadir di Bali. Tindakan konservasi yang dilakukan oleh pemerintah dalam penyelamatan tanaman langka di Kebun Eka Karya Bedugul Bali bisa disebut sebagai tindakan yang memiliki kepedulian terhadap pelestarian alam.
Selain itu, pengembangan Taman Gumi Banten yang berlokasi di Desa Wanagiri, Buleleng, Bali boleh disebut sebagai upaya untuk membangkitkan kesadaran ekofeminisme yang memiliki nurturent efect yang sangat bermakna bagi kelestarian lingkungan dan aktivitas sosial religius di Bali. Gerakan lainnya yang sedang bergeliat adalah munculnya Taman-taman kota di Bali dan ada prakarsa dari beberapa orang melalui pengelolaan Bumdes merancang pemanfaatan lahan-lahan kosong untuk dijadikan kebun sayur petik langsung. Pengembangan usaha pengelolaan sampah dijadikan pupuk organik oleh Bumdes merupakan langkah strategik dalam penyelamatan bumi.
FORMULA KESADARAN EKOFEMINISME
Atas nama penyelamatan bumi, tidaklah sulit untuk menemukan pemahaman mengapa kesadaran ekofeminisme menjadi penting. Kata-kata romantis yang seringkali digaungkan oleh teman-teman penggerak lingkungan adalah: “alam ini sudah terlalu banyak memberi kepada umat manusia, maka sudah sepatutnya manusia lebih peduli dan sanggup berucap terimakasih kepada alam, bukan sebaliknya merusak dan menganiaya; “alam ini punya irama tersendiri yang harus pula kita hormati, sehingga kita bisa hidup selaras dengan alam”.
Atas seruan ini formula kesadaran ekofeminisme sudah memanggil untuk diterapkan. Formula membangun kesadaran ekofeminisme dapat dilakukan lewat penguatan gender praktis dan gender strategik. Gender praktis adalah penerapan peran gender yang sifatnya jangka pendek, sedangkan gender strategik adalah upaya perubahan peran gender dalam jangka panjangnya melalui perumusan undang-undang dan atau berbagai peraturan yang mengikat.
Sesuai namanya, gender praktis adalah penerapan peran gender yang melibatkan peran perempuan dan laki-laki dalam aksi-aksi yang sama dalam merawat lingkungan. Dalam kaitan ini tidak ada gender spesifik perempuan, namun kedua jenis kelamin/seks melakukan aksi peduli lingkungan dari hal yang sederhana dan bersifat keseharian maupun dalam skala besar dalam tingkatan yang lebih rumit.
Penerapan formula/rumus dalam gender praktis seharusnya diterapkan pada Catur Konsentris Pendidikan (Keluarga, Masyarakat, Pemerintah dan Media)
Ranah Keluarga
Kiranya, perbincangan tentang keluarga sebagai fondasi pembentukan karakter dari dulu sampai sekarang selalu dipandang formula yang ampuh dalam menyoal tentang pembangunan karakter. Persemaian nilai diawali di tengah keluarga. Menurut Ihromi (1999: 269-270) melalui paradigma Struktural Fungsional dapatlah dipahami tentang pelestarian keluarga tercipta atas dasar adanya pembagian kerja yang tegas antara anggota keluarga laki-laki dan perempuan. Laki-laki didudukkan dalam peran instrumental (peran suami sebagai pencari nafkah/ranah publik), sedangkan kaum perempuan pada peran ekspresif (peran solidaritas dan integrasi/ranah domestik).
Menariknya, cara pandang terhadap keluarga dengan memakai paradigma struktural fungsional mendapat tantangan dewasa ini di tengah perubahan sosial yang begitu dahsyat melanda dunia. Dalam kaitan ini Abdullah (1997:4) menawarkan perlunya dibuka perdebatan domestik dan publik untuk membuka “jalan masuk” dalam melihat kembali pembentukan realitas sosial, ekonomi dan politik. Oleh karenanya, perlu ada tindak dekonstruksi atas peran yang dianggap pantas untuk perempuan dan laki-laki agar terjadi proses rekonstruksi di keluarga melalui langkah sosialisasi.
Mengacu pada pandangan Soe’oed (1999:30) berlangsungnya proses sosialisasi memerlukan syarat interaksi sosial melalui mana kita mengenal cara-cara berpikir, berperasaan dan berprilaku. Dalam konteks membangun kesadaran ekofeminisme di ranah keluarga, perlu ada dekonstruksi atas peran-peran gender yang dibakukan ke arah citra manusia utuh di masa depan yang disebut manusia androgyn : keadaan kesadaran individu di mana ‘maskulin dan feminin’ saling bertemu dalam ko eksistensi yang harmonis.
Menurut Soepangat (1988:258) pandangan androgyni menginginkan penemuan kembali human beiing dibalik laki-laki maupun perempuan, karena keduanya pertama-tama adalah MANUSIA. Manusia yang harmonis mengatasi pembatasan dan ketentuan yang dibuat oleh budayanya. Dalam konteks menciptakan manusia yang memiliki kesadaran ekofeminism penciptaan manusia androgyni tanpa batas jenis kelamin di ranah keluarga memaksa adanya perubahan gender yang neutral. . Dalam hal ini harus dipahami bahwa gender itu bisa diubah.
Ranah Masyarakat
Mengambil potret kesadaran ekofeminisme pada ranah masyarakat di Bali, kali ini saya harus bersepakat dengan pandangan bahwa hingar bingar dan kemeriahan ritual keagamaan acapkali tidak dimbangi dengan tekad perawatan terhadap alam, kebersihan lingkungan yang nantinya akan berujung terciptanya alam yang berkualitas. Padahal, penemuan makna dibalik ritual, mitos, legenda semuanya harusnya menjadi tuntunan ke arah terciptanya lingkungan alam yang bermutu.
Fenomena empirik yang menarik akhir-akhir ini saat mencermati gelora yang hidup kembali setelah dunia dilanda Covid-19 yakni dibukanya pawai ogoh-ogoh dari tingkat perumahan sampai ke tingkat profinsi. Jelas sekali tampak antusias warga masyarakat, terutama kalangan pemudanya dengan semangat gotong royong mendesain berbagai wujud ogoh-ogoh untuk memeriahkan gegap gempitanya perayaan Nyepi Tahun Saka 1945. Namun sayang, spirit ini tidak serta merta diimbangi dengan sebuah kesadaran agar tetap menjaga kebersihan lingkungan. Pengabaian sampah selama pengerjaan ogoh-ogoh masih ditemukan. Ini artinya, budaya bersih di masyarakat kita masih bermasalah.
Pengalaman juga menunjukkan heroiknya suasana saat pengarakan ogoh-ogoh menyisakan sampah plastik yang luar biasa di sepanjang jalan yang dilalui. Apa formula yang bisa ditawarkan?
Mengacu pada pemikiran Gramcsi dalam Simon (2004:19) konsep hegemoni yakni hubungan dominasi yang menggunakan hubungan persetujuan dengan menggunakan kepemimpinan politik dan ideologis bisa dicobakan dalam membangun tertib sosial. Melalui praktik hegemoni, kiranya penyadaran masyarakat untuk menciptakan lingkungan yang berkualitas dapat digapai. Dalam kaitan pembangunan kesadaran masyarakat menuju kesadaran ekofeminism, maka kepemimpinan politik perlu ditegakkan oleh para aktor/para elite di tingkat RT/RW/Kepala Desa/Prajuru Desa Adat agar lebih tegas mengawal berbagai aktivitas yang berdimensi mobilisasi massa, sehingga ketegasan itu akan berbuah sistem tata kelakuan yang mencintai alam.
Ranah Negara
Dalam konteks tanggung jawab terhadap alam, maka pendidikan ekologis untuk membuka kesadaran ekologis perlu ditananamkan sejak dini agar tercipta manusia ekologis. Menurut Mustari (2014:153) manusia ekologis adalah manusia yang memperjuangkan nasib sesama mereka yang ada di sekelilingnya, menghormati alam persis seperti dirinya sendiri. Gerakan hijau merupakan gerakan untuk menghasilkan manusia ekologis. Ada nilai kunci dalam gerakan hijau yaitu.
- Ecological Wisdom (kebijaksanaan ekologis); menghormati alam dan menggunakan sumberdaya alam secara bijak
- Community based Economy (Ekonomi yang berbasis komunitas)
- Grassroot Democracy (demokrasi akar rumput): mendorong dan membantu partisipasi partisipasi masyarakat lokal dalam pembuatan keputusan
- Decentralization (desentralisasi): memberdayakan komunitas agar menjadi lebih mandiri
- Nonviolence (anti kekerasan): berjuang untuk perdamaian abadi baik di tingkat personal, nasional maupun global
- Future Focus (pandangan ke depan); berpikir dan bertindak dalam kerangka masa depan berjangka panjang, bukan kepentingan egoistis jangka pendek dan bertindak dengan menghormati generasi masa mendatang
Kunci nilai karakter pada aktivitas gerakan hijau sesuai dengan prinsip dasar yang terkandung dalam batasan tentang nilai. Menurut Clyde Kluckhohn (dalam Mustari,2014:x) nilai adalah standar yang waktunya agak langgeng dan merupakan keutamaan (preference) yaitu sesuatu yang lebih disukai, baik mengenai hubungan sosial maupun mengenai cita-cita serta usaha untuk mencapainya.
Lembaga pendidikan merupakan arena dari persemaian nilai-nilai karakter yang sangat strategis. Lembaga yang didirikan oleh Fritjof Capra di negara bagian California di maksudkan untuk mendorong perluasan pendidikan ecoliteracy. Pedagogi yang dikembangkan adalah sistem pendidikan yang berbasis ecoliteracy dengan memberi pengalaman belajar konkret tentang eksplorasi daerah aliran sungai, memperbaiki daerah genangan, menghidupkan kepekaan siswa tentang tata ruang (Wiryono,2004:51).
Sekolah atau Arena pendidikan di berbagai jenjang adalah perpanjangan tangan negara (Sindhunata, 2000:12). Melalui produk berbagai peraturan dari level bawah sampai level teratas pemerintah memiliki kekuasaan yang bisa dijadikan dasar untuk merawat bumi. Lingkungan pendidikan adalah wilayah strategis untuk menyusun rancang bangun spirit ekofeminisme melalui kebijakan-kebijakan untuk menciptakan iklim moralitas kepada insan-insan pendidikan. Terminologi ekofeminisme menjadikan nilai moral sebagai landasan bertindak, sangatlah sesuai dengan paradigma pendidikan yang sama-sama memiliki missi dalam pembangunan karakter.
Menurut Lickona (2012:3) ada dua tujuan utama pendidikan yakni menjadi cerdas dan berperilaku baik. Saat disandingkan kedua tujuan utama ini dengan filosofis Tri Hita Karana maka ada titik temu yang bisa dimengerti bahwa arena sekolah memiliki ruang yang sangat terbuka untuk menciptakan Tri Kotomi harmonisasi ke atas, ke samping dan ke bawah. Spirit ekofeminisme yang penting dilakukan di dunia pendidikan adalah pendidikan yang memuliakan hidup dan mampu memberikan kearifan.
Konsep inilah yang oleh Buchori (2001) dikenal dengan istilah pendidikan antisipatoris.. Merawat bumi adalah kemuliaan hidup untuk generasi yang akan datang. Melalui aksi-aksi ekofeminisme (menciptakan taman sekolah; mendaur ulang barang bekas; membuat rancang bangun hidroponik; melukis imajinasi alam;dll) di arena sekolah adalah beberapa contoh yang bisa disebut di era merdeka belajar untuk memperoleh pembelajaran yang bermakna Sindhunata (2000:11).
Para guru atau pendidik perlu maklum, konsep ilmu zaman sekarang sudah mengalami perubahan radikal. Ilmu bukan hanya sesuatu yang dipelajari namun juga dilibati. Artinya, ilmu tidak dapat lagi disampaikan hanya dengan “diajarkan” atau “pengajaran”, tetapi juga “dialami” atau pengalaman.
Berpijak atas pemikiran tersebut, maka pendidikan klasik yang bertolak dari pengandaian deduktif tidak dapat dipertahankan lagi. Mengajar saat ini diharapkan dapat membantu siswa dalam mengembangkan fantasinya, empatinya dan hasrat-hasratnya. Atas dasar ini iklim kolaboratif antar guru sebidang maupun antar bidang multak diperlukan. Suatu saat saya bertemu dengan situasi sekolah yang sudah menjurus ke arah spirit ekofeminsime yang melatihkan para siswa punya kemampuan kompetetitf antar kelas membuat proyek hidroponik di halaman sekolah, namun siswa tidak diberikan pengetahuan manajemen pemasaran. Hal ini terjadi karena iklim kerjasama guru antar bidang belum diterapkan.
Membangun formula spirit ekofeminisme di dunia pendidikan, dengan mengacu pada pandangan Asmani (2012:57) akan sekaligus dapat membangun inspirasi pebelajar dalam membangun kecakapan vokasional yaitu kecakapan untuk menguasai dan menyenangi jenis pekerjaan tertentu. Jenis pekerjaan ini bukan hanya merupakan pekerjaan utama yang akan ditekuni sebagai mata pencaharian, melainkan juga menjadi bekal untuk bekerja mencari nafkah halal. Dalam kaitan inilah memperhitungkan pendidikan berbasis keunggulan lokal menjadi relevan
Di ujung orasi ini, saya akan menyinggung arena media sebagai konsentris pendidikan yang fenomenal saat ini. Signifikansi pembahasan tentang media ditinjau dari dari perspektif sosiologi adalah melihat kehidupan masyarakat sebagai sebuah laba-laba media. Laba-laba media melihat masyarakat sebagai komunitas yang terhubung, yakni di dalam suatu bentuk aktivitas yang saling berhubungan dengan media dan informasi.
Menurut Santoso (2011:71) kehadiran teknologi media, tidaklah hanya diartikan sebagai pemuas hiburan masyarakat, namun kehadirannya telah mampu menciptakan produk budaya yang dapat menciptakan pengaruh sosial yang amat dalam. Dalam kaitan mencari formula spirit ekofeminisme melalui media, maka media bisa menjadi jembatan dalam menciptakan produk budaya dengan memproduksi sinetron tandingan yang bermuatan neutral gender yang berdimensi spirit ekofeminisme.
Menciptakan teks-teks alternatif di media tentu bukanlah hal yang sederhana. Perlu langkah afirmatif yang mungkin dilakukan terkait konteks logika bisnis dengan terlebih dahulu menghimpun dana sebanyak-banyaknya (Sunarto, 2009:94). Dana itulah yang kelak digunakan untuk membuat mini seri tandingan dari tayangan yang lebih menonjolkan steriotypi perempuan penggoda atau laki-laki pelaku kekerasan. [T]