SAYA INGIN BERBAGI sedikit cerita. Tahun ini saya merayakan Nyepi jauh dari tanah kelahiran saya di Banjar Kebon, Susut, Bangli. Saya merayakan Nyepi tahun ini (Saka 1945/2023 Masehi) di tanah Jawa, tepatnya di Kota Surakarta. Tentu, jika dibandingkan dengan tahun-tahun sebelumnya, Nyepi kali ini memang terasa beberda.
Sebelum lebih jauh bercerita perihal perayaan Nyepi, sekadar informasi, Kota Surakarta memang dijuluki sebagai kota budaya. Hal ini mengindikasikan bahwa di kota ini terdapat pelbagai tradisi dan kebudayaan yang diperhatikan dan hidup berdampingan bersama-sama masyarakat.
Sebagai kota budaya, Surakarta, hal-hal yang berbau budaya pada dasarnya menjadi satu-satunya sumber potensi yang lebih dominan daripada potensi lainnya. Adapun pelbagai kebudayaan yang dimiliki kota ini ialah batik, keris, wayang, dan gamelan. Kebudayaan yang dimiliki Surakarta begitu khas dibandingan dengan kota/daerah lainnya yang ada di Indonesia.
Mendapat fasilitas pemerintah untuk pertama kalinya
Kita kembali kepada bahasan awal. Nyepi bagi umat Hindu Bali dimaknai sebagai peringatan tahun baru Saka yang datangnya setiap setahun sekali. Sebagai mayoritas, sudah barang tentu Nyepi di Bali mendapat perhatian dan dirayakan dengan gegap-gempita. Tetapi, bagaimana kalau Nyepi di kota lain—yang umat Hindu di sana sebagai minoritas?
Perayaan Nyepi di luar Bali tentu jauh berbeda dengan suasana di Bali. Tetapi, meskipun berbeda, seperti di Surakarta, misalnya, Nyepi tetap menjadi perhatian pemimpinnya. Padahal, awalnya saya mengira perayaan Nyepi di Kota Surakarta tidak mendapat perhatian atau ruang khusus oleh pemerintah daerah, mengingat umat Hindu di kota ini menjadi umat minoritas.
Saya salah. Di Kota Surakarta perayaan serangkaian Hari Raya Nyepi mendapat ruang—bahkan untuk menampilkan kebudayaan-kebudayaan yang bernapaskan Hindu Bali.
Hal ini tak lepas dari kepemimpinan putra Jokowi, Gibran Rakabuming, yang bertindak sebagai Wali Kota Solo. Gibran memberikan angin segar bagi umat Hindu yang ada di Kota Surakarta.
Sekadar mengutip dari wawancara yang dilakukan media-media lokal Surakarta, Mas Wali menegaskan bahwa perayaan Nyepi tahun ini di Kota Surakarta dilaksanakan dengan menampilkan pernak-pernik Nyepi pada umumnya di Bali.
Dalam memeriahkan Hari Raya Nyepi tahun Saka 1945, umat Hindu Surakarta diberikan tempat di sekitaran Plaza Balaikota—yang mana sebagai pusat Kota Surakarta. Hal ini menjadi sejarah baru bagi umat Hindu di Surakarta sebab sebagaimana telah dipaparkan di atas, perayaan Nyepi tahun ini begitu spesial karena mendapat ruang untuk berekspresi—untuk pertama kalinya—di kota ini.
Kirab Nyepi bareng Mas Wali
Suasana hari raya Nyepi di Kota Surakarta sudah terasa 2 minggu sebelumnya, tepatnya tanggal 8-9 Maret 2023, saat di WhatsApp Grup KMHDI Solo Raya terselip informasi untuk melakukan kegiatan pembuatan penjor dan memasang pernak-pernik lainnya, seperti pemasangan kain poleng di pohon-pohon yang berada di Plaza Balaikota.
Pemasangan kain poleng di pohon beringin Plaza Balikota
Dalam kegiatan ini, anggota banjar dari Solo Timur, Solo Tengah, dan Solo Barat begitu antusias mempersiapkan semuanya. Penjor-penjor yang telah selesai dibuat dipasang dan dijejer di pinggir jalan sekitaran Plaza Balaikota.
Singkat cerita, tepatnya tanggal 18 Maret 2023, perayaan menyambut Hari Raya Nyepi dimulai.
Penjor-penjor di sepanjang jalan di Kota Surakarta
Pukul 08:00 WIB umat Hindu sudah berkumpul di Plaza Balaikota untuk mempersiapkan rangkaian acara kirab. Tepat pukul 15:30 WIB, acara kirab dimulai. Rutenya, dari pintu Plaza Balaikota terus menyusuri Jl. Jend. Sudirman dan kembali lagi ke titik semula.
Acara kirab dimulai dari iringan Mas Wali didampingi oleh para Pinandita menyuarakan bajra, lalu ibu-ibu membawa canang sari, arak-arakan ogoh-ogoh (dari KMHD Yogyakarta, Klaten, PHDI Gunung Kidul, dan Boyolali), penampilan barong, penampilan baleganjur (KMHD Yogyakarta, Klaten, PHDI Gunung kidul, Boyolali), dan yang lebih istimewa lagi, penampilan baleganjur dari Kabupaten Jembrana, Bali, turut hadir memeriahkan penyambutan Hari Raya Nyepi di Kota Surakarta.
Seketika suasana jalanan depan Balaikota berubah seperti suasana jalanan di Bali ketika Hari Raya Nyepi tiba. Para penonton rela berdesak-desakan demi melihat ogoh-ogoh dan iring-iringan lainnya di jalanan itu.
Penonton yang hadir tidak hanya dari kalangan Hindu saja, namun tampaknya masyarakat Surakarta non-Hindu juga turut menikmati acara kirab sore itu. Mereka yang datang ke Balaikota tidak hanya dari golongan tua namun juga banyak dari golongan muda bahkan anak-anak.
Mereka tidak hanya menikmati secara langsung, tak sedikit yang mengabadikan dirinya lewat foto-foto bersama ogoh-ogoh, barong, dan aktor-aktor dalam pementasan sore itu. Acara kirab sore itu pun selesai, selanjutnya acara penampilan di panggung terbuka depan Balaikota dimulai setelah maghrib.
Pentas seni perayaan Nyepi
Penampilan gebyar Nyepi Saka 1945/2023 di panggung pun dimulai. Tampak para penonton depan panggung sudah ramai dan duduk dengan rapi untuk menyaksikan penampilan tari-tarian dan sejenisnya.
Acara pembuka malam itu dimulai dari penampilan Tari Gambyong duta dari Kabupaten Sragen, Tari Janger, lalu Kidung-Kidung Jawa dari Pasraman Indraprastha, Tari Rejang Renteng dari WHDI (Wanita Hindu Dharma Indonesia), Tari Gambyong dari ASN dan Penyuluh Solo, Tari Gabor asuhan dari Ibu Ketut Saba, Tari Gebyar Hayuning Ghendis dari STHD Klaten, Tari Sekar Jagat dari KMHDI Surakarta, Tarian Barong Ket & Rangda, dan Fragmentari Baleganjur dari Kabupaten Jembrana, Bali.
Semua yang tampil di atas panggung begitu enerjik dan dengan penuh semangat memberikan hiburan yang terbaik untuk penonton. Malam itu, perayaan di Kota Surakarta sungguh luar biasa. Nuansa Bali-nya sangat kental.
Hal itu diperkuat dengan penampilan-penampilan khas kebudayaan Bali, orang-orang yang turut andil dalam acara itu memakai udeng dan kamen bagi laki-laki, dan perempuan memakai kebaya dengan eloknya. Malam itu Surakarta menjadi Bali dalam beberapa jam. Surakarta yang indah.
Seperti yang telah saya sampaikan di awal tulisan, bahwa Kota Surakarta memang dikenal di tanah Jawa sebagai ikon kota budaya. Bagi saya, ikon ini bukan hanya sekadar nama julukan semata, tetapi memang faktanya kota ini masih menjaga dan melestarikan kebudayaan-kebudayaan yang ada sejak dulu.
Nah, julukan sebagai kota budaya rasanya tidak lengkap ketika hanya memberikan ruang berekspresi untuk umat mayoritas saja, namun umat minoritas juga perlu mendapatkan ruang sebagaimana umat mayoritas rasakan.
Pendek kata, sebagai kota budaya, sudah benar Surakarta memberikan kami fasilitas melalui “Gebyar Nyepi Tahun Baru Saka 1945/2023”. Sebagai umat Hindu, kami mengucapkan banyak terima kasih karena sudah diberi ruang untuk merayakan menyambut datangnya Nyepi lewat penampilan-penampilan khas Hindu Bali.
Dan dengan begitu, hal ini juga menjadi legitimasi bahwa kota ini memang pantas mendapatkan julukan sebagai kota budaya di Indonesia.
SAMPAI JUMPA KEMBALI NYEPI TAHUN DEPAN SAKA 1946 DI SURAKARTA (SOLO THE SPIRIT OF JAVA).[T]