HUJAN TURUN di Desa Les, Buleleng bagian timur. Saya sedang ngopi di Mai Nongki, sebuah tempat ngopi rumahan yang asyik di Jalan Raya Singaraja-Amlapura. Itu hari Sabtu, 25 Februari 2023.
Di jalan raya saya lihat seorang pesepeda sedang mengayuh sepedanya menuju arah timur, menuju arah Kubu, Karangasem. Sontak saja saya memanggilnya. Dan pesepeda itu berhenti.
Saya tertarik dengan barang bawaan si bapak itu—barang yang tergantung di sepeda ontel tua yang tampak mulus dan bersih. Barang di sepeda itu tergantung dengan ikatan sedemikian rupa hingga tampak melekat kuat pada tempat boncengan.
Saya (kanan) ngobrol bersama Ridwan di tempat nongkrong Mai Nongki, Desa Les, Tejakula, Buleleng, Bali
Bapak itu saya ajak ngobrol-ngobrol di Mai Nongki. Basa-basi sedikit, lalu ngobrol agak serius. Dan ia saya tahu kemudian ternyata pedagang bakul nasi. Bakul nasi itu terbuat dari anyaman bambu diikat pada boncengan sepeda.
Nama pesepeda itu Ridwan Laila. Nama aslinya Ridwan, dan nama Laila adalah nama istrinya. Ia berusia 77 tahun.
“Saya mempunyai tiga anak, dua cucu,” katanya.
Sepeda ontel yang dikendarainya itu adalah jenis Batavus. Ia telah berjualan bakul nasi dengan cara keliling naik sepeda sejak 1974.
“Awalnya saya jualan dari Rogojampi, nyeberang dengan kapal laut, sampai Gilimanuk saja,” kata Ridwan mengenang masa awal dia berjualan.
Sekali-sekali, dari Gilimanuk ia mengayuh sepedanya hingga Kediri, Kabupaten Tabanan. Jaraknya sekitar 100 kilometer. Jika naik mobil, durasi tempuhnya bisa sampai 3 jam. Bayangkan jika jarak itu ditempuh dengan naik sepeda sambil berjualan?
Sejak 10 tahun lalu, Ridwan memutuskan untuk mengambil jalur berjualan lewat pantai utara Bali. Ia mengayuh sepedanya untuk berjualan secara lebih konsisten mulai dari Rogojampi-Banyuwangi, menuju Ketapang, lalu naik kapal menyeberang laut, lalu tiba di Gilimanuk, Jembrana, Bali.
Dari Gilimanuk ia mengayuh sepeda lewat sisi utara Kabupaten Buleleng. Melewati sisi pantai utara Bali, ia melewati satu persatu desa di pesisir pantai, termasuk Desa Les, tempat di mana saya panggil dan saya berhentikan. Dari Desa Les, ia masih harus ke timur, biasanya sampai di wilayah Kubu, Karangasem. Begitu selalu jalurnya, Rogojampi-Buleleng-Karangasem PP (Pulang-Pergi).
“Mengayuh sepeda, berjualan bakul nasi adalah menyenangkan,” ujar Ridwan. “Sambil berolahraga, mengenal banyak teman, sampai dapat rejeki adalah bahagia,” katanya lagi.
Kurang lebih selama seminggu Ridwan habiskan di jalan, dari berangkat sampai pulang kembali ke rumah. Sepedanya paling banyak bisa menampung 36 set bakul. Satu setnya berisi tiga bakul ukuran besar, sedang dan kecil.
Bakul yang dijual Ridwan diambil dari perajin di Desa Gintangan, Kecamatan Belimbing Sari, Kabupaten Banyuwangi.
Hujan dan panas sudah menjadi sahabat di jalanan bagi Ridwan. Di beberapa desa ia sudah memiliki kerabat, tempat ia singgahi untuk sekadar mengistirahatkan diri.
Ridwan bersama sepeda dan bakul yang dijualnya
Sembari menunggu hujan reda di Desa Les, Ridwan bertutur banyak tentang filosofi hidupnya. Bagaimana rejeki yang ia doakan dan harapkan seperti bun (embun), akan terus ada. Tidak seperti hujan. Karena hujan bisa berhenti.
Saya hanya bisa mangut-mangut sambil meresapi pesan Ridwan.
Mengayuh sepeda sepanjang Rogojampi sampai Kubu, Karangasem Bali, adalah hal yang memang biasa namun jadi luar biasa jika sambil berjualan. Setidaknya saya sudah melihat Ridwan sebanyak tiga kali lewat di jalur Singaraja-Amlapura.
“Apapun, bagaimanapun hidup, kita harus tetap mengayuh dan Tuhan yang menentukan,” kata Ridwan setelah hujan reda, dan ia mulai mengayuh kea rah timur, menuju Kubu, Karangasem. [T]