SAAT INI BERITA tentang kasus penganiaayaan yang dilakukan oleh anak seorang pejabat ditjen pajak sedang memenuhi ruang berita di segala media, baik di media elektronik maupun media massa, dan juga di media komunikasi publik.
Kejadian ini memang menyita banyak perhatian publik dan memang sangat memprihatinkan. Kejadian seperti itu sebenarnya seperti penomena gunung es, yang kelihatannya di permukaan sangat sedikit, dan saya yakin kejadian sebenarnya pasti banyak.
Setiap orang tua sudah pasti berharap agar anaknya tumbuh sehat, pintar, baik, berprestasi dan sukses. Tidak satupun orang tua akan berharap anaknya akan gagal atau menjadi orang tidak baik. Karena itulah saya yakin tidak ada orang tua yang mengajari anaknya untuk menjadi anak berandalan, tega menyiksa orang.
Secara langsung memang benar seperti itu, bahwa tidak ada orang tua ingin anaknya berandalan dan suka melakukan penganiayaan. Tapi secara tidak langsung sering orang tua tidak sadar, bahwa apa yang dilakukan kepada ana—agar mereka menjadi sehat dan pintar, juga berbudi baik—penerapannya tidak tepat atau keliru.
Dan fenomena ini banyak terjadi pada anak-anak yang lahir dari keluarga yang serba ada, atau anak pejabat. Niat dari orang tua tidak ingin anaknya susah, segala kebutuhan atau keinginannya dipenuhi dengan mudah, karena memang fasilitas untuk memenuhi itu ada.
Bagi orang tua, niat untuk memenuhi segala kebutuhan anak dengan mudah itu adalah wujud kasih sayang kepada anak. Namun tanpa disadari hal-hal tersebut akan membuat anak menjadi lemah dari sisi karakter, sifat yang muncul menjadi kurang menghargai orang, agresif dan mau menang sendiri, dan sejenisnya.
Bentuk kasih sayang yang salah yang cenderung memanjakan justru akan berdampak kurang baik untuk anak ke depannya. Orang tua yang terlalu cepat mengambil alih dan mengatasi dengan cepat kesulitan sang anak, sebenarnya melemahkan anak itu dari sisi pembentukan kemandirian dan kepercayaan diri. Padahal, jika si anak dibiarkan mengatasi kesulitan sendiri, justru anak akan belajar dari kesulitan yang dihadapinya.
Pola asuh memiliki peran yang sangat penting untuk membentuk anak ke depannya menjadi anak yang berkarakter, punya etika, mandiri dan sukses. Bentuk sayang yang cenderung memanjakan dan berusaha memenuhi segala kebutuhan fisik sang anak, sesungguhnya tidak banyak mendidik. Padahal yang sebaiknya dilakukan adalah memenuhi kebutuhan non fisik dari anak tersebut, seperti kehangatan, kebersamaan, yang sering terbentuk melalui diskusi-diskusi ringan, itu akan mengarahkan anak untuk lebih memahami tentang hakekat diri.
Pamer kekayaan orang tua, pengeroyokan, dan segala suatu yang tergolong dalam kenakalan remaja, sampai kasus narkoba, adalah salah satu sikap yang memperlihatkan bahwa anak haus pada penghargaan. Anak dengan perilaku seperti itu akan merasa lebih dihargai di kelompoknya. Kasus tersebut semuanya diawali dari kurang tepatnya orang tua dalam menerapkan pola asuh ke anaknya
Menurut Baumrind (1991), ada tiga aspek dalam pola asuh, yaitu warmth, control dan komunikasi. Dalam keseharian orang tua harus menunjukkan kasih sayang dengan menyediakan waktu bersama.
Kasih sayang tidak berarti sudah cukup dengan memberi segala kebutuhan yang diinginkan oleh anak, tapi di dalamnya harus ada sentuhan emosi dan komunikasi dengan menerapkan kontrol dan selalu menjaga keseimbangan antara reward dan punishmen. Dan inti dari pola asuh itu adalah komunikasi yang baik antara orang tua dan anak, karena dari komunikasi akan membentuk pandangan, perilaku dan pola pikir anak sejak dini.
Secara umum pola asuh, ada pola otoriter, pola permisif, dan pola asuh yang seimbang . Pola asuh otoriter yang cenderung memberikan aturan-aturan yang kaku dan membatasi kebebasan anak, hal ini dapat mempengaruhi karakter anak menjadi cenderung pasif dan tidak mampu mengambil inisiatif sendiri karena takut salah dan akan menjadi anak yang tidak mandiri. Pola asuh yang terlalu otoriter malah akan menjadi lebih agresif yang cenderung merusak dan akan mengalami kesulitan dalam berkomunikasi dengan orang lain.
Pola asuh yang terlalu permisif dapat membuat anak menjadi lebih individualistis dan kurang memperhatikan perasaan dan kebutuhan orang lain, atau kurang memiliki rasa empati, dan anak yang tumbuh dengan pola asuh permisif ini akan cendrung kurang disiplin dan kurang terampil daalam mengelola emosi yang mengarah pada anak akan menjadi lebih impulsif dan kurang bertanggung jawab.
Pola asuh yang seimbang yaitu menggabungkan antara otiriter dan permisif, ini dapat membantu anak mengembangkan karakter yang lebih positif dalam mengembangkan sikap mandiri dan bertanggung jawab, tetapi tetap memberikan dukungan dan panduan yang diperlukan dalam mengambil keputusan yang tepat.
Pola asuh yang seimbang ini akan membantu anak dalam mengembangkan karakter yang lebih baik, yang akan memberikan kepercayaan diri pada anak dan membantu mereka dalam mengembangkan keterampilan sosial yang baik. Anak yang tumbuh dalam lingkungan pola asuh ini akan cendrung lebih terbuka dan mudah bergaul dengan orang lain.
Dapat disimpulkan bahwa pola asuh sangat berpengaruh terhadap karakter anak, ketika orang tua salah dalam menerapkan pola asuh kepada anak maka akan membuat anak cenderung pasif, individualistis, kurang bertanggung jawab dan kurang terampil dalam mengelola emosi. Pengetahuan tentang pola asuh anak mutlak diketahui dan dipahami oleh orang tua untuk mengantarkan anak-anak ke depannya menjadi anak yang berkarakter positif dan baik. [T]
BACA esai-esai lain dari penulisDOKTER CAPUT