PENYEBAB UTAMA KITA gagal menulis dengan baik ketika kita asyik membaca tulisan yang sangat buruk. Mungkin asyik bukan kalimat yang tepat. Karena membaca tulisan yang buruk sama sekali tak punya dampak bagus dalam tulisan kita.
Saya tidak akan menyindir seorang jurnalis dan penulis yang memang baru berlatih. Saya hanya cukup jengkel apabila dalam sebuah berita atau esai, yang dimuat di selebaran organisasi, haruslah layak untuk kita baca. Saya tak tahu menahu bagaimana kru bisa memahami kelayakan dari sebuah karya yang baik. Barangkali redaksi asal comot saja dan yang paling penting karyanya utuh.
Karena redaksi asal comot dan terbit, kita bisa menyimpulkan bahwa mereka tidak mengerti cara memilih sebuah karya untuk diterbitkan. Orang-orang yang tidak tahu cara memilih karya yang layak dibaca, biasanya punya pandangan sempit. Dan sebagian dari mereka belum menyadari pemikiran itu, yang ternyata tidak seluas dan sekaya apa yang diharapkan.
Jadi, mereka akan terus menyiksa kita dengan pilihan karya yang dianggap baik, setiap hari sampai mereka berhenti kelak atau sampai mereka memutuskan berganti jabatan, misalnya menjadi ketua atau sekretaris.
Perhatikan tulisan berikut, penggalan dari sebuah berita berjudul Realisasikan Go Clean; Tanamkan Cinta lingkungan. Saya menemukan berita itu di salah satu selebaran dan berhasil menemukan kesalahan sang jurnalis. Berita itu ditulis dengan dorongan memaksakan diri untuk melaporkan sebuah peristiwa yang cukup penting, namun isinya biasa saja. Bahkan sialnya, judul itu agaknya aneh:
(02/09/22). Ikatan Santri Annuqayah Jawa (Iksaj) seksi harian merealisasikan program kerja Go Clean lebih dini dibandingkan periode sebelumnya di tengah periode.
Program kerja tersebut sebenarnya mengalami perubahan nama dari yang asalnya Go Green menjadi Go Clean. Penamaan tersebut merupakan rekomendasi pengurus pesantren saat sidang Laporan Pertanggungjawaban (LPJ) Organisasi Daerah (Orda).
Hal pertama sebelum kita menulis, adalah kita tahu apa saja yang mesti disampaikan. Kedua, kita paham kronologi kejadian dan bagaimana cara menyampaikan laporan berita pada pembaca. Tidak perlu kita terpengaruh terhadap sesuatu atau apapun selama hal itu mempunyai dampak yang cukup absurd. Misalnya, tanggal, bulan, dan tahun yang tertera sebelum kalimat pembuka.
Mestinya para editor paham bahwa dalam paragraf pertama harus memuat 5W+1H ketika menyampaikan informasi, bukan kemudian ditulis secara satu kalimat dan tiba-tiba menjadi paragraf awal.
Wartawan yang baik, umumnya menulis berita di atas seperti ini;
Pengurus Ikatan Santri Annuqayah Jawa (Iksaj) seksi harian sedang merealisasikan kegiatan Go Clean yang bertempat di halaman pondok pesantren, kemarin (02/09). Salah satu kegiatan yang memang masuk dalam program kerja itu, dilakukan lebih dini dibandingkan periode sebelumnya. Hal ini dikarenakan pihak pesantren telah merekomendasikan kegiatan tersebut agar segera dimulai.
Perbedaan yang mencolok dari kedua ini—bila mau dibandingkan—adalah cara menulis berita yang efektif dan jelas. Pada kalimat pembuka, sang jurnalis luput atau lupa memberikan subjek (pelaku) saat pelaporan; Ia hanya menuliskan tentang organisasinya bukan pengurusnya. Bahkan parahnya, dalam paragraf pertama tidak dicantumkan alamat pelaksanaan, kenapa dilaksanakan, dan siapa yang melaksanakan. Dan ia begitu berani menulis di paragraf pertama hanya satu kalimat saja.
Maka, kalimat pembuka sekaligus paragraf pertama dalam berita itu harus diedit kembali. Itu berarti si wartawan menulis straight news dengan cara menyalahi prinsip segitiga terbalik: Ia mengisi bagian awal berita, yang mestinya mudah diketahui oleh pembaca sebagai informasi, malah memberi informasi-informasi yang semuanya sulit dipahami dan mengundang tanya-jawab.
Saya membaca berita itu karena ingin melihat bagaimana cara media kita menulis berita dan bagaimana media masa yang lain menulis berita juga—apa yang kita sajikan dan apa yang mereka sampaikan. Kesimpulan saya, media kita masih tidak tahu apa-apa tentang liputan dan membuat berita. Kita hanya ikut melaporan: ikut membuat kabar terkini tetapi tidak menyampaikan apa pun, seperti informasi-informasi angin lalu.
Contoh lain dari tulisan yang kurang baik sebagaimana berikut:
Namun, banyak dari kita yang membiarkan dari kita pemujaan terhadap berhala memasuki hati (yang dimaksud sebagai kenikmatan duniawi yang bersifat sementara, kekuasaan dan ketenaran) serta menghambakan diri untuk mencapainya. Jika kita menyadari hati kita kuil Tuhan, maka kepekaan kita terhadap diri, dan keseluruhan akan tertransformasikan. Di mana dari sudut pandang ini kita bukanlah makhluk duniawi yang mencari spiritualitas; kita adalah makhluk spiritual yang berusaha menemukan diri kita yang sejati.
Kalimat ini sangat alot sekali dan saya tidak sanggup untuk mencernanya. Lagi pula, saya tidak akan memaksakan diri untuk mencerna sesuatu yang tidak bisa dikunyah.
Kenapa ia tidak menuliskannya simpel saja? Ketimbang dijadikan gelembung sabun, paragraf itu jauh lebih indah ditulis dalam satu kalimat: Stok orang sufi di dunia ini sudah habis; yang berlimpah hanya orang-orang yang ingin menempuh kenikmatan dunia dan para pemuja berhala.
Satu gelembung sabun lagi:
Namun, manusia kini sejatinya masih belum sadar akan tujuan hidupnya. Bagaimana seorang hamba dalam mengagungkan Tuhan adalah dengan beribadah. Masih banyak sebagian dari kita, menjalankan ibadah sebagai formalitas tanpa menghadirkan hati dalam ibadahnya. Tidak sedikit juga yang lebih memprioritaskan urusan duniawi. Masih banyak dari kita yang ketika beribadah menghadirkan sosok semu dan masih banyak hal-hal lain yang mengganggu hati kita.
Kita bisa membuatnya lebih ringkas dan lebih elegan dalam satu kalimat: Sekalipun banyak cara agar seseorang taat kepada Tuhan, namun sifat kemanusiaan yang terkadang lebih mementingkan urusan nafsu, masih banyak dan kita jarang untuk sadar akan hal itu.
Orang sering ingin tampak pintar dengan cara menuliskan kalimat-kalimat yang ruwet, memamerkan kosakata yang menggelembung, dan mengobral jargon. Dan mereka—kata AS Laksana—tidak akan tampak pintar dengan cara seperti itu. Mereka hanya tampak pretensius.
Saya pikir mereka perlu menyadari bahwa pembaca tidak akan sudi meluangkan waktu atau mendedikasikan diri untuk memahami kalimat-kalimat ruwet. Tetapi, tidak apa-apa juga jika mereka tidak mau menyadari. Dua penggalan terakhir itu adalah urusan pribadi para penulis artikel. Sayang, redaksi memuat karya itu ke dalam rubrik esai yang sama sekali kurang cocok.
Yang lebih buruk dari setiap apa yang disajikan redaksi pada kita—para pembaca—adalah cara memilih suatu karya dan berita untuk diterbitkan. Mereka memilih atas dasar ketidakcakapan. Dan ketidakcakapan itu sekarang sudah menjadi standar. Setiap saat kita bisa menjumpai berita dan karangan yang ditulis dengan model seperti itu. Berita yang ditulis buruk bukan hanya menjengkelkan untuk dibaca. Ia juga tidak membantu pembaca untuk lebih memahami realitas. [T]