DENPASAR | TATKALA.CO – Bagaimana cara menjamin hak pilih disabelitas intelektual sekaligus memberi petunjuk pada mereka untuk bias menggunakan ha pilihnya pada Pemilu 2024?
“Visual dan keterlibatan langsung adalah cara terbaik menyampaikan informasi kepada teman-teman disabilitas intelektual,” kata Juniantari, koordinator Jurnalisme Warga dari BaleBengong.
Juniari menceritakan, selama hampir 2 bulan terakhir, BaleBengong bersama relawan kontributor mengadakan Kelas Jurnalisme Warga untuk Pemilih Pemula Disabilitas Intelektual di SLB Negeri 3 Denpasar.
“Ini upaya untuk memberi ruang siswa pemilih pemula dengan disabilitas intelektual untuk mengenal hak pilih dan menyampaikan suaranya tentang pemimpin harapan,” kata Juniantari..
Menurut Juniantari, sebelum menyongsong Pemilu 2024, sempat ada nafas lega untuk kawan disabilitas intelektual dan mental dalam memberikan hak suaranya pada pemilihan umum.
Ini setelah adanya Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 135/PUU-VIII/2015 (Putusan MK 135) yang membawa perspektif baru dalam perlindungan hak pilih penyandang disabilitas intelektual di Indonesia.
Putusan ini mengakui bahwa kondisi terganggu jiwa/ingatannya adalah tidak dapat disamakan antara satu orang dengan orang lainnya, sehingga tidak dapat menjadi syarat untuk mendaftar seseorang menjadi pemilih dalam Pemilihan Umum (Pemilu) dan Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada).
Putusan MK 135 menjadi contoh peran aktif negara dalam menghilangkan hambatan misalnya bagi penyandang disabilitas intelektual untuk memiliki dan menggunakan hak pilihnya, terutama dalam aspek regulasi.
Putusan MK 135 menyatakan syarat “tidak sedang terganggu jiwa/ingatannya” untuk terdaftar sebagai pemilih dalam Pemilu/Pilkada, yang tercantum dalam Pasal 57 ayat (3) huruf a Undang Undang Nomor 8 Tahun 2015 sebagai suatu norma yang inkonstitusional.
Putusan MK 135 itu kemudian menjadi rujukan dalam pembentukan UU maupun Peraturan Komisi Pemilihan Umum (KPU) untuk menghilangkan syarat “tidak sedang terganggu jiwa/ ingatannya” dalam mendaftar Pemilih pada Pemilu/Pilkada.
Adapun para pemohon sehingga terciptanya Putusan MK 135 ini di antaranya Perhimpunan Jiwa Sehat sebagai Pemohon I, Pusat Pemilihan Umum Akses Penyandang Cacat (PPUA PENCA) sebagai Pemohon II, Perkumpulan Untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) sebagai Pemohon III, dan Khorunnisa Nur Agustyati sebagai Pemohon ke IV.
Putusan MK 135 memberikan peran besar dalam upaya negara memberikan pengakuan terhadap kapasitas hukum orang dengan disabilitas intelektual, sekaligus melindungi hak pilihnya.
Putusan MK 135 juga selaras dengan pendekatan continuum (rangkaian proses) dalam menilai kapasitas hukum seorang penyandang disabilitas. Dalam pendekatan ini penyandang disabilitas diakui sebagai subyek hukum, atau pihak yang memiliki hak, tetapi untuk penggunaan haknya perlu dilakukan penilaian, terutama terkait dengan kemampuan pengambilan keputusan.
Namun begitu, dalam praktiknya masih ada penyandang disabilitas intelektual yang tidak didaftar sebagai pemilih dalam Pilkada 2017 dan 2018, serta Pemilu 2019. Hal itu terjadi karena penyandang disabilitas intelektual masih dianggap bukan subyek hukum sekaligus tidak mampu untuk mengambil keputusan secara mandiri, terutama dalam melaksanakan hak pilihnya.
Praktik itu tidak selaras dengan pendekatan rangkaian proses yang sudah digunakan dalam Putusan MK 135, karena dalam praktik tersebut pendekatan yang dilakukan lebih tepat dikatakan sebagai pendekatan “All or Nothing”. Yaitu menyeragamkan penyandang disabilitas sebagai pihak yang tidak memiliki hak. Sehingga secara otomatis dianggap tidak dapat melaksanakan atau menggunakan haknya tersebut, termasuk hak pilih dalam Pemilu/Pilkada.
“Berangkat dari persoalan ini, kami ingin hak pilih pemilih pemula disabilitas intelektual dapat diperhatian lebih jauh dalam mempersiapkan pemilu yang akan datang,” kata Juniantari.
Ada beberapa upaya untuk mengenalkan akses hak pilih yang mereka miliki melalui kelas menggambarkan pemimpin harapan di SLB N 3 Denpasar. Sekitar 15 siswa yang menjadi pemilih pemula atau yang akan memilih dilibatkan dalam kelas ini. Mereka mendapatkan pengenalan tentang hak pilih dan menggambar bagaimana pemimpin harapan di mata teman disabilitas intelektual.
Selama kelas ini berlangsung, KPU Kota Denpasar juga turut hadir mengisi satu sesi perkenalan alur memilih kepada para siswa SLB C Denpasar. Pengenalan tentang pemilihan umum untuk menentukan pemimpinnya nanti adalah langkah awal dari pergerakan dalam hal melantangkan suara anak-anak disabilitas intelektual.
Harapan dan sosok pemimpin yang berhasil digambarkan anak-anak dituangkan ke dalam lukisan dan kutipan singkat. Untuk mencapai pembahasan publik, maka BaleBengong menghelat diskusi publik dan pameran karya yang bertajuk “Pemimpin Harapan Pemilih Pemula Disabilitas Intelektual”.
Pembahasan ini dikemas dalam format lebih kasual di Taman Baca Kesiman pada Sabtu, 18 Februari 2023. Dengan menghadirkan Kepala Sekolah Luar Biasa Negeri 3 Denpasar dan Divisi Hukum KPU Kota Denpasar.
“Melalui pembahasan bersama publik ini, diharapkan para pihak dapat memperhatikan persoalan ini lebih aktual. Dalam hal ini teman dengan disabilitas intelektual bisa mendapatkan hak sepenuhnya khususnya pada pemilu,” ujar Juniantari. [T][Ado/*]