LAMA SAYA merenung untuk membuat tulisan dan judul yang sekiranya dekat dengan masyarakat serta efektif membantu permasalahan kesehatan yang ada saat ini.
Sebagai seorang dokter, agak begitu keliru jika posisi kami hanya mengobati ketika sakit. Karena niscaya ketika itu terjadi, pilihan selanjutnya adalah sembuh seutuhnya (biopsikososiospiritual), membaik, atau tidak membaik bahkan meninggal.
Jika kita bisa berpikir ke hulu lagi, ada yang masih perlu kita gaungkan dan lakukan yaitu pencegahan. Salah satu isu itu adalah rabies. Mari berhitung bersama.
Kita akan bahas seremnya dahulu tentang rabies. Rabies adalah penyakit yang penularannya dari hewan ke manusia dengan menyerang sistem saraf akibat infeksi virus RNA dari keluarga Rhabdoviridae. Hingga 98% penularannya dari anjing sedangkan sisanya oleh kucing dan kera.
Celakanya pada kasus rabies yang pasiennya tidak mendapatkan vaksinasi, tingkat kematiannya mencapai 100%. Dengan ukuran yang sangat kecil yaitu 180 x 75 m agaknya susah dilihat dengan mata telanjang. Dengan melalui gigitan atau jilatan virus masuk ke tubuh melalui kulit yang terluka atau mukosa yang utuh seperti konjungtiva mata, anus, mulut, alat kelamin bagian luar, maupun transplantasi kornea.
Selama 2 minggu virus diam di tempat awal lalu merangsek ujung-ujung saraf bagian posterior atau belakang. Masa terinfeksi hingga menunjukkan gejala bervariasi mulai dari 7 hari-1 tahun, dengan rata-rata 1-2 bulan. Di sinilah titik permasalahan kedua, yaitu bervariasinya masa inkubasi itu sehingga kadang kita merasa tidak terlalu khawatir maupun menganggap remeh atau ampah.
Setelah menuju saraf tepi akan terus menuju saraf pusat hingga pada akhirnya dari saraf di otak kembali menyebar ke kelenjar di kornea, kulit, dan kelenjar ludah.
Lamanya mencapai saraf pusat tergantung dari 3 hal, yaitu dari segi virus, seberapa banyak virus yang masuk; dari segi lingkungan yaitu bagaimana pencegahan virus itu dicegah masuk seperti dengan desinfektan dan lain-lain; serta dari segi inangnya yaitu posisi virus masuk ke dalam tubuh, daya tahan tubuh dari korban.
Contoh area gigitan di daerah kepala, muka dan leher rata-rata 30 hari. Gigitan di lengan, tangan, dan jari tangan 40 hari. Gigitan di tungkai bawah, kaki, jari kaki 60 hari dan di badan 45 hari. Tingkat kematian paling tinggi pada infeksi di daerah wajah, menengah di area lengan dan tangan serta paling rendah di daerah di kaki.
Terlepas dari fatalitas virus ini, syukurnya ada kelemahan dari virus ini yang sangat gampang mati jika di luar tubuh inangnya. Virus akan mati dalam sinar matahari, sinar ultraviolet, pemanasan dalam 1 jam 50 menit. Virus ini juga sangat peka dengan pelarut basa/alkalis seperti sabun, desinfektan, serta alkohol 70%.
Sehingga saran pencegahan setelah digigit atau terkena cairan berpotensi terkena virus ini, adalah dengan cara mencuci di air mengalir dengan sabun selama 15 menit dan menggunakan antiseptik.
Sekarang kita mulai kupas kenapa di masyarakat menjadi sesuatu yang perlu kita perhatikan bersama bahkan peran desa adat. Desa adat menjadi tameng dan terbukti efektif saat terjadi COVID 19. Dengan arahan pemimpin di desa adat, awig-awig/aturan sangat ditaati masyarakat. Tentunya ini memiliki peran strategis guna mencegah nyawa melayang.
Di Bali terdapat 1.488 desa adat dan 716 desa. Peran strategis desa adat terhadap kehidupan sosial dan budaya Bali amatlah penting. Sekarang kita kupas kasus rabies.
Per 10 Januari 2023 di Buleleng anjing yang divaksin baru 75% dari sasaran yang ada. Sedangkan korban jiwa yang tercatat akibat rabies di tahun 2022 cukup tinggi yaitu 13 orang yang sebelumnya hanya sebanyak 1 orang di tahun 2021. Sehingga Buleleng menjadi daerah rawan.
Aturan desa adat/social capital diharapkan kembali menjadi kebijakan yang efektif di lini depan. Misalnya saja adanya perarem dengan mewajibkan masyarakat yang memiliki anjing wajib memvaksin dan memberikan tanda kalung di leher sebagai penanda khas.
Jika terjadi kasus gigitan, pemilik anjing membiayai penanganan kesehatan korban atau bahkan menyebabkan kematian membantu biaya ngaben korban. Yang unik lainnya misalnya dikenakan denda beras beberapa kg jika tidak melakukan perarem. Hal ini sangat tergantung dari kesepakatan di masyarakat adat itu.
Saya yakin jika ini dilakukan akan menjadi percontohan nasional yang menjadi local genius Bali dan menjadi banyak minat peneliti-peneliti luar datang. Kalau sudah demikian, tidak hanya masalah pencegahan rabies saja yang terdampak, namun menjaga perasaan aman wisatawan dan bahkan menarik minat wisatawan baik untuk berekreasi atau meneliti. Terima kasih pemimpin desa adat dan semeton/masyarakat adat Bali.
“Desa yang maju adalah desa yang memungkinkan semua warganya menikmati kehidupan yang bebas dan sehat di lingkungan yang aman” -Kofi Annan- [T]
BACA artikel lain dari penulis DOKTER SUKEDANA