—Catatan Harian Sugi Lanus, 9 Pebruari 2023
[][][]
Seseorang yang ingin memahami larangan atau pantangan dalam tradisi Hindu wajib memahami secara tuntas kitab-kitab yang membahas Catur Warna (Empat Swadharma <panggilan tugas dan kewajiban>). Catur Warna bukan kasta seperti yang umum dipahami, tapi panggilan kewajiban. Masing-masing Warna memiliki swadharma (kewajiban tugas masing-masing). Masing-masing Warna memiliki brata (pantangan-puasa) sesuai Warnanya. Masing-masing Warna memiliki pantangan atau puasanya yang berbeda-beda.
Oleh karena itu, jika seseorang ingin membahas prihal pantangan minum alkohol dalam Hindu, harus paham konteksnya mengkonsumsi alkohol dalam Warna yang mana?
Pengaturan diet makanan dan minuman di kalangan kaum Brāhmaṇa atau lingkar kependetaan Hindu sangat ketat, berbeda aturannya dengan pantangan (brata) bagi kaum Kṣatriya (pemimpin masyarakat, penegak hukum dan penjaga ketertiban umum, pekerja sektor pemerintahan, pelayanan masyarakat di ruang publik), kaum Waiśya (kalangan pekerja sektor penyedia barang dan jasa jual-beli, pelaku usaha dan pasar, pebisnis berbagai sektor, jasa pariwisata, dstnya), dan kaum Sudra (kalangan buruh yang bertumpu pada kerja fisik, penghasil barang dan kerajinan, penghasil hasil-hasil pertanian dan pertambangan, serta segala barang konsumsi yang dihasilkan secara fisik). Masing-masing Warna berbeda brata (puasa) dan pantangannya dalam menjalani swadharmanya. Jadi, sekalipun sama-sama penganut Hindu, berbeda brata atau pedoman diet yang ditempuh untuk bisa mendukung hasil maksimal dari swadharmanya.
Sehingga, jika seseorang tidak paham dengan baik Catur Warna, maka ia akan berpikir bahwa ada berbagai pandangan berbeda tentang mengkonsumsi alkohol dalam Hindu. Biasanya perbedaan pandangan ini muncul di kalangan awam, kitab-kitab Hindu sendiri sangat jelas memberikan tuntunan rohani terkait alkohol.
Secara umum alkohol dilarang dikonsumsi oleh:
- Para pendeta yang disucikan, mereka yang sedang menjalankan tugas dalam pelayanan publik, dan siapapun yang melakukan segala aktivitas di ruang publik (seperti berkendaraan, kerja kontrusksi, dll), dilarang keras mengkonsumsi alkohol.
- Para cendekiawan yang menekuni dan mewarisi tradisi suci Weda (kaum Brāhmaṇa) dan semua umat Hindu dalam masa Brāhmacarya (masa anak-anak dan menuntut ilmu atau berstatus pelajar) dilarang keras minum alkohol.
LONTAR WRITI SASANA
Dalam lontar WRATI SASANA, kitab berbahasa Kawi yang menjadi pedoman kependetaan di Jawa dan Bali, jelas aturannya bahwa mereka yang menekuni atau menjalankan ajaran Siddhanta dilarang mengkonsumsi alkohol. Disebutkan:
“Ndya ta tan ampunana, ikang wārttā mada, kapratyaksan pantên, lwirnya : siddhanta anginum sajöng, amangan camah, wiku brahmahatyā, patitwa guru talpaka, steya, brahmahatya nga. kumwa ling sang hyang śāstra.”
[Manakah yang tidak diampuni? mabuk dalam hidupnya, yang dipastikan panten (tercemar, di masa lalu mereka dibuang dari garis silsilah keturunan suci dan perguruan), yaitu: Penganut Siddhanta yang minum tuak, makan-makanan yang cemar, wiku membunuh brahmana, tidur di tempat tidur guru bersuami-istri(?) <meniduri istri guru>, brahmahatyā namanya, demikian ajaran Sang Hyang Sastra, sastra suci].
Sementara kitab lontar Sasana yang lain, SILAKRAMA dan SIWASASANA, menjelaskan bahwa mabuk harus dihindari karena berseberangan dengan prinsip menjaga kejernihan berpikir. Hidup mesti dibangun di atas pondasi kejernihan dan brata, bukan pembiaran dan keliaran. Kedua kitab ini memberikan tuntunan jika hendak menjaga kemurnian diri wajib melakukan brata lainnya, bukan hanya berpantang mengkonsumsi alkohol. Berbagai brata bisa dijalankan dalam meneguhkan kejernihan pikiran dan batin. Kedua kitab ini memberikan tuntunan agar tetap menjadi pribadi yang ikhlas, berbudi baik, hormat dan menjunjung kejernihan hati dan pikiran, jujur dan peka pada situasi sekitar. Secara tegas diamanatkan oleh kedua kitab ini hal-hal yang harus dihindari adalah mabuk, bingung, jumawa, cepat naik darah, apatis, curang, licik, sombong, congkak, keras kepala, iri hati, durhaka, merendahkan dan menghina teman, dstnya.
Kaum Brāhmaṇa (kaum terpelajar yang secara khusus dan ketat mendedikasikan hidupnya untuk mempelajari Weda dan kitab-kitab suci), seperti halnya penganut ajaran Siddhanta yang disebutkan dalam lontar WRATI SASANA di atas, memang berpantang atau dilarang mengkonsumsi alkohol. Sementara kaum atau kalangan lainnya yang tidak secara khusus mendedikasikan hidupnya dalam mempelajari Weda dan kitab-kitab suci lainnya, masih mendapat kelonggaran dalam mengkonsumsi alkohol, dengan syarat situasi dan kondisi tertentu.
Jika kita bandingkan lontar WRATI SASANA dengan kitab MANAWA DHARMA SASTRA, kita menjumpai hal senada:
“Seorang Brāhmaṇa sekali saja badannya tergenangi oleh minuman keras maka kebrahmanaannya akan turun menjadi Sudra (kaum orang kebanyakan).” — Manava Dharmaśāstra XI-97
“Seorang Brāhmaṇa terlupa karena mabuk bisa jatuh pada sesuatu yang tak suci atau mengucapkan mantra dengan tak sempurna atau melakukan perbuatan yang seharusnya tidak boleh dilakukan.” — Manava Dharmaśāstra XI-97
KUTIPAN AYAT-AYAT PENGATURAN ALKOHOL DALAM HINDU
Berikut adalah kitab-kitab suci yang biasa disitir dan dibahas sebagai bahan diskusi dalam membahas alkohol dari sudut pandang Hindu.
WISHNU SMRTI
“Sepuluh minuman yang memabukkan adalah najis bagi seorang Brāhmaṇa, tetapi seorang Kṣatriya, Waiśya, dan Sudra tidak melakukan kesalahan dalam meminumnya” –Wiśnu Smrti 22:84.
Kitab suci ini mengatakan secara jelas kaum yang masuk Warna Brāhmaṇa yang tidak boleh minum alkohol, tetapi kaum dari tiga Warna lainnya dilonggarkan untuk mengkonsumsi alkohol.
GARUDA PURANA
“Jika digunakan dengan bijaksana, wine (anggur bukan jenis lainnya) meredakan kekhawatiran seseorang; jika tidak bijak mengkonsumsinya, itu membawa seseorang ke neraka (melalui penggunaan yang berlebihan). Ini memberi kemampuan untuk bekerja, membantu fungsi alam, dan memberkati dengan keindahan. Penggunaan anggur yang bijaksana adalah seperti nektar keabadian” – (Garuda Purana 1:155:34-35).
Kitab suci ini menjelaskan fungsi kesehatan dari WINE, bukan jenis alkohol yang lain. Karena minuman lain fungsi kesehatannya sangat meragukan dan dihindari oleh kaum terpelajar era Purana.
BRAHMANDA PURANA
Dalam kitab Brahmanda Purana terjadi dialog antara Indra dan Resi Brihasapati tentang minuman keras.
Indra berkata:
63. “Apakah sifat Āsava? (Minuman keras). Apa cacatnya? Apa kelebihannya? Jenis makanan matang apa yang rusak? Mohon jelaskan hal ini secara rinci kepada saya”.
Bṛhaspati berkata:
64. “Berbagai jenis minuman yang memabukkan adalah sebagai berikut: Paiṣṭika (terbuat dari permentasi beras dan tepung-tepungan lainnya), Tālaja (dari pohon kurma), Kaira (air kelapa), Mādhūka (terbuat dari madu atau bunga Madhūka), Guḍasambhava (diolah dari gula tetes— seperti tebu, aren, lontar dll). Mengenai perihal urusan doanya, minuman yang terakhir disebutkan di atas setengah mengerikan dari yang sebelumnya”.
[Yang disebutkan paling awal paling berdosa untuk diminum, sementara yang disebutkan berikutnya dosanya kurang dibandingkan yang disebutkan lebih awal].
65. “ Āsava (minuman beralkohol) dapat dikonsumsi sebagai minuman oleh tiga Warna mulai dari Kṣatriya, Waisya, Sudra. Kecuali seorang wanita Brāhmaṇa, semua wanita dapat meminum minuman keras yang dimulai dari yang ketiga, yaitu Kaira (air kelapa, dan dibuat dari madu dan tetes tebu)”.
66-67. “Janda, perawan, dan wanita yang sedang haid dilarang minum minuman keras. Jika seorang wanita meminum minuman keras karena iri hati dan tidak bersama suaminya, dia disebut Unmādinī (wanita tidak waras). Seseorang harus menghindarinya seperti seorang wanita Cāṇḍāla”.
69-71. “Jika seorang Brāhmaṇa secara tidak sadar mengkonsumsi minuman keras, seorang Brāhmaṇa harus melakukan penebusan dosa Kṛcchracāndrāyaṇa atau dia harus mengulangi Mantra Gāyatrī atau Mantra Jātavedasa sepuluh ribu kali. Jika seseorang mengulangi Mantra Ambikāhṛdaya, dia akan disucikan kembali. Seorang Kṣatriya di antara tiga Warna harus disucikan dengan mengulang Mantra-mantra tersebut sebanyak setengah kali. Dalam kasus wanita, jumlah pengulangan harus seperempat, atau mereka dapat melakukan hal yang sama melalui [bantuan] para Brāhmaṇa. Seseorang harus mengulangi Mantra ini ribuan kali di bawah air dan menjadi murni karenanya”.
72. “Lakṣmī, Sarasvatī, Gaurī, Caṇḍikā, Tripurā, Ambikā, Vaiṣṇavī, Bhairavī, Kālī dan Māhendrī adalah para Ibu”.
73. “Ada dewi Śakti lainnya. Dalam memuja mereka, minuman keras yang dibuat dari madu disetujui. Seorang Brāhmaṇa yang telah menguasai Vedāṅga akan melakukan pemujaan tanpa anggur”.
74. “Mereka yang tidak terikat pada objek duniawi mencapai tujuan terbesar melalui kekuatan mereka (yaitu kekuatan Ibu). Mereka hanya akan makan apa yang dipersembahkan dan dipersembahkan kepada mereka terlebih dahulu. Tanpa memikirkan dewa lain, mereka harus direnungkan. Mereka harus mengidentifikasi diri mereka dengan Ibu”.
75. “Mengingat fakta kekuatan tertinggi (parā-Śakti) ini ditentukan sebagai penebusan semua dosa yang dilakukan baik secara sadar maupun tidak sadar”.
76. “Orang hina yang minum minuman keras tanpa menyembah Parā Śakti akan tinggal di neraka yang disebut Raurava selama jangka waktu yang dihitung dengan tarif satu tahun untuk setiap tetes yang dikonsumsi”.
77. “Orang yang minum minuman keras dengan keinginan untuk menikmati kesenangan adalah orang yang paling hina. Kecuali jatuh dari batu terjal atau bakar ke dalam api, tidak ada cara lain untuk menebusnya”.
78-79. “Seorang Brāhmaṇa seharusnya tidak meminum minuman keras karena kebodohan atau demi persahabatan atau karena kecanduan nafsu”.
KITAB SUCI MANUSMRITI
“Membunuh seorang Brahmana, meminum (minuman keras yang disebut) Sura, mencuri (emas seorang Brahmana), berzinah dengan istri seorang Guru , dan bergaul dengan (pelanggar) seperti itu, mereka menyatakan (menjadi) dosa berat (mahapataka)” — Manusmriti 11.55.
“Penjudi, penari, laki-laki kejam, laki-laki yang tergabung dalam sekte sesat, laki-laki yang kecanduan perbuatan jahat, pedagang minuman beralkohol – ini akan langsung diusir Raja dari kotanya” — Manusmriti 9.225.
CHANDOGYA UPANISHAD
“Seseorang yang mencuri emas, atau meminum minuman keras , atau tidur dengan istri gurunya, atau membunuh seorang brahmana—empat ini pendosa. Juga terjatuh adalah yang kelima—yaitu orang yang berteman dengan orang-orang seperti itu” —Chandogya Upanishad 5.10.9
USANA SMRITI, Bab 8, Ayat 1 juga mengatakan hal yang sama. Ada banyak kitab suci lain seperti Brahmana dan Sutra yang mengutuk konsumsi minuman keras, hanya mengijinkan dengan berbagai persyaratan ketat. Artinya mengkonsumsi alkohol tidak boleh liar tanpa aturan jelas.
PENEBUSAN DOSA BAGI YANG MELANGGAR MINUM ALKHOHOL
“Seorang Brāhmaṇa akan disucikan kembali dari cacat dosa mengkonsumsi alkohol melalui pemberkatan dari orang-orang suci, dengan pertobatan atas perbuatannya sendiri, dengan memuja Parāśakti, dengan menjalankan Yama dan Niyama, dengan cara ritual penebusanKṛcchracāṇḍrāyaṇasecara sungguh-sungguh. Jika mengkonsumsi alkohol itu dilakukan oleh kaum Brāhmaṇa dengan sadar, jika ingin disucikan kembali maka ia harus melalukan penebusan dua kali lipat dari yang tidak sadar.” — Brahmanda Purana, Lalita Mahatmya, 7.63-79
Jika seorang Brahmana meminum minuman keras tanpa sadar, ia mungkin mengalami salah satu dari penebusan dosa berikut:
- Melakukan Vrata (Brata) seperti Kriccha atau Chaandraayana, mengucapkan mantra Gayathri sepuluh ribu kali, mengucapkan Atidurga Mahamantra sepuluh ribu kali, atau mengucapkan Ambika Hridaya. Ini akan menyucikan orang tersebut dari dosanya.
- Seorang Kshatriya, Waiśya, dan Sudra harus mengucapkan mantra ini masing-masing lima ribu, dua ribu lima ratus seribu dua lima puluh kali, untuk menyucikan diri.
- Para wanita dan sudra dapat meminta Japa dilakukan oleh para brahmana atas nama mereka. Melafalkan mantra-mantra ini seribu kali di dalam air memberikan pemurnian dari segala dosa. Jika konsumsi alkohol dilakukan dengan sengaja, penebusan yang ditentukan adalah dua kali lipat dari yang dijelaskan sebelumnya.
KONTRADIKSI LARANGAN ALKOHOL DALAM HINDU?
Jika Anda membaca kutipan-kutipan di atas dari kitab suci Hindu secara menyebelah dan tidak komprehensif, didasari ketidakpaham akan adanya puasa atau brata yang beragam berdasarkan prinsip swadharma dari masing-masing Catur Warna, maka Anda akan menemukan bahwa ada banyak pernyataan kontradiktif di dalam kitab-kitab Hindu terkait konsumsi alkohol. Misalnya, di satu titik Brahmanda Purana mengatakan bahwa orang-orang dari tiga Warna (selain kaum Brāhmaṇa) dapat minum alkohol sebagai minuman, tetapi setelah itu dikatakan bahwa orang yang meminumnya untuk semata-mata bersenang-senang adalah orang yang paling jahat. Juga, beberapa kitab suci mengutuk konsumsi alkohol, sementara beberapa mengizinkannya dalam beberapa situasi.
Kaum terpelajar Hindu akan merujuk atau mengikuti kitab suci yang lebih punya otoritas dibandingkan kitab-kitab di bawahnya. Demikianlah secara umum, penganut Hindu diajarkan untuk mempertimbangkan ayat dan kitab dalam konteksnya masing-masing Catur Warna, dalam konteksnya dengan beberapa situasi tertentu, dan harus memahami tingkatan otoritas kitab-kitab Hindu secara mendalam.
Merujuk dari berbagai kutipan di atas, dan mengikuti pendapat berbagai ahli kitab, atau mengikuti perbincangan pembahasan kaum penekun kitab-kitab Hindu, umumnya ditegaskan sebagai berikut:
- Di antara semua teks yang disebutkan di atas, Rgveda dan Chandogya Upanishad adalah kitab suci Hindu yang paling otoritatif karena merupakan bagian dari sastra Shruti, sedangkan Smriti dan Purana adalah bagian dari sastra Smriti.
- Kaum Brāhmaṇa kuno umumnya mematuhi larangan mengkonsumsi alkohol. Pedoman paling mendasar dari kaum Brāhmaṇa kuno adalah Rigveda VII.86.6 yang mengutuk minuman Sura untuk tidak dikonsumsi kaum Brāhmaṇa. Hanya boleh diminum ketika selama ritual Srauta (ritual yang dilakukan setelah Rajasuya Yajna) dimana Sura dipakai sebagai bahan persembahan (Shatpath Brahmana XII.7.2, 12, 21).
- Pemeluk Hindu yang mengimani kitab-kitab Upanisad akan mematuhi larangan mengkonsumsi alkohol. Chandogya Upanishad dengan jelas kitab suci ini menyatakan bahwa minum alkohol adalah salah satu dari lima dosa terbesar.
Sekali lagi, jika kita lihat semua larangan dalam konteks Catur Warna, maka semua pembacaan kitab suci Hindu, khususnya dalam hal ini pelarangan mengkonsumsi alkohol, maka pemberlakuan larang atau petunjuk brata (puasa rohaniah) berbeda-beda metode dan polanya. Yang secara tegas dilarang mengkonsumsi alkohol adalah kaum Brāhmaṇa, sementara 3 Warna lainya bersifat situasional, dengan berbagai kelonggaran, sepanjang memperhatikan bahwa prinsip swadharma bahwa apapun Warna seseorang harus secara maksimal menjalankan SWADHARMA (panggilan tugas).
Dalam konteks SWADHARMA, yang masuk dalam perbuatan tercela adalah kegiatan yang membuat seseorang lupa dan tidak menjalankan SWADHARMA, terlebih-lebih meninggalkan swadharmanya demi bersenang-senang tanpa kejelasan, dan berdampak membawa kesusahan bagi dirinya sendiri, keluarga dan orang sekitarnya.
Sesuai dengan prinsip menegakkan DHARMA dengan jalan menjalankan sebaik-baiknya SWADHARMA; maka aktivitas mengkonsumi yang terlarang adalah mengkonsumsi hal-hal menghambat dan menghalangi kejernihan pikiran dan melumpuhkan potensi umat Hindu untuk bisa secara maksimal menjalankan SWADHARMA. [T]
BACA artikel lain dari penulis SUGI LANUS