PADA KURUN lima tahun, 2017-2022, terjadi sebanyak 89 laporan kasus kekerasan seksual terhadap anak di Polres Buleleng. Dari jumlah itu, sebanyak 61 kasus berupa persetubuhan, dan 28 kasus berupa pencabulan terhadap anak.
Jadi, jika diratakan-ratakan selama lima tahun itu, dari 2017 hingga tahun akhir 2022, terdapat sedikitnya satu kasus dalam satu bulan. Tentu jumlah yang cukup bikin orang tua cemas.
Rinciannya, pada tahun 2017 terdapat 5 laporan kasus persetubuhan, dan 8 laporan kasus pencabulan. Tahun 2018 jumlah kasunya meningkat menjadi 6 kasus persetubuhan dan 4 kasus pencabulan.
Tahun 2019 laporan kasus kekerasan seksual terhadap anak melonjak cukup tajam, yakni 17 kasus persetubuhan dan 3 kasus pencabulan.
Tahun 2020 jumlah kasusnya menurun lagi. Angka kasus persetubuhan pada tahun itu sebanyak 4 kasus dan 1 kasus pencabulan.
Tahun 2021 kasusnya meningkat lagi secara drastis, yakni 14 kasus persetubuhan dan 4 kasus pencabulan. Dan 2022 juga meningkat, di mana pada tahun 2022 itu tercatat 15 kasus persetubuhan dan 8 kasus pencabulan.
Memasuki tahun 2023, kasus kekerasan seksual terhadap anak terjadi lagi. Bahkan, tahun 2023 ini belum genap berjalan dua bulan, tapi sudah terjadi dua kasus. Artinya, ya, rata-rata satu kasus dalam satu bulan.
“Tahun 2023 hingga awal Februari tercatat 2 kasus persetubuhan,” kata Kasi Humas Polres Buleleng, AKP I Gede Sumarjaya, Rabu, 8 Februrai 2023.
Dua kasus pada awal tahun 2023 ini adalah kasus persetubuhan pelajar yang rekaman videonya beredar di media sosial, dan yang terbaru adalah kasus persetubuhan terhadap anak yang dilakukan oleh pamannya sendiri. Peristiwa terbaru itu terjadi di wilayah hukum Buleleng bagian barat.
Putus Pacaran
Kasus di awal tahun 2023 ini adalah beredarnya video yang berisi adegan porno sepasang kekasih. Yang perempuan usainya 16 tahun, yang lelaki usianya 19 tahun.
Keduanya pacaran sejak April 2022 dan selama pacaran mereka sering melakukan hubungan badan. Hubungan badan itu kadang direkam dengan menggunakan HP.
Oleh sebab tertentu, mereka putus. Lalu pada Januari 2023 video rekaman yang berisi adegan layaknya suami istri itu beredar di WhatsApp Group. Jajaran Polres Buleleng pun memeriksa kasus itu.
Pelaku yang laki-laki itu disangka telah melakukan tindak pidana persetubuhan terhadap anak di bawah umur sebagaimana dimaksud dalam rumusan pasal 81 UU RI Nomor 17 tahun 2016 perubahan atas UU RI No 35 tahun 2014 perubahan atas UU RI no 23 tahun 2002 Tentang Perlindungan terhadap anak dengan ancaman hukuman minimal 5 tahun dan maksimal 15 tahun
Paman dan Keponakan
Kasus kedua yang terungkap pada awal Februari 2023 ini adalah kasus persetubuhan yang dilakukan oleh seorang paman terhadap keponakannya yang masih gadis 14 tahun.
Keterangan yang diperoleh di Polres Buleleng, Rabu, 8 Februari, menyebutkan kasus ini terungkap ketika orang tua si gadis memeriksaan anaknya ke bidan dan diketahui si gadis hamil. Orang tua si gadis berusaha menanyakan kepada anaknya siapa yang menghamilinya. Si gadis kemudian menyampaikan kehamilannya akibat hubungan badan yang dilakukan bersama pamannya.
Kasus itu kemudian dilaporkan ke Unit PPA Sat Reskrim Polres Buleleng. Setelah dilakukan pemeriksaan terhadap saksi-saksi dan dikuatkan dengan adanya hasil visum dan terpenuhinya bukti yang cukup, kemudian paman si gadis yang menjadi pelaku persetubuhan itu diamankan.
Rasa Aman Anak-anak
Dengan cukup banyaknya kasus kekerasan seksual terhadap anak membuktikan bahwa rasa aman anak masih terancam meskipun perlindungan anak terhadap kekerasan seksual telah diatur dalam pasal 76E Undang-Undang Nomor 35 tahun 2014 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak.
Dalam Pasal 76E tersebut dinyatakan bahwa setiap orang dilarang melakukan kekerasan atau ancaman kekerasan, memaksa, melakukan tipu muslihat, melakukan serangkaian kebohongan, atau membujuk anak untuk melakukan atau membiarkan dilakukan perbuatan cabul.
Pelaku pencabulan terhadap anak dapat dikenakan sanksi berdasarkan Pasal 82 ayat (1) junto Pasal 76E Undang-Undang Nomor 35 tahun 2014 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak. Pelaku dipidana berupa pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun dan paling lama 15 (lima belas) tahun, dan denda paling banyak Rp. 5.000.000.000,- (lima miliar rupiah).
Seorang dosen, I Ketut Suar Adnyana, pernah menulis artikel di tatkala.co tentang kasus kekerasan seksual terhadap anak itu. Dalam artikel itu disebutkan, kasus kekerasan seksual terhadap anak tidak saja diselesaikan dari segi hukum tetapi dilakukan pengawasan terhadap anak baik di rumah, di masyararakat, dan di sekolah sehingga celah kemungkinan untuk terjadinya kekerasan seksual terhadap anak tidak ada.
Ketika anak berada di rumah, menurut Suar Adnyana, setiap anggota keluarga berperan melakukan pengawasan sehingga kekerasan seksual tidak terjadi. Komunikasi antar keluarga dibangun dengan harmoni apabila ada indikasi pelecehan seksual terhadap anggota keluarga, lebih awal diketahui. Dengan langkah itu, anak mendapat perlindungan dan rasa aman di lingkungan keluarga.
Rasa aman di sekolah juga harus terjamin. Warga sekolah berkewajiban memberikan jaminan keamanan kepada anak. Kepala sekolah sebagai pimpinan sekolah memberi tanggung jawab kepada setiap guru untuk mengawasi siswa sehingga kekerasan seksual terhadap siswa tidak terjadi.
Peran guru bimbingan konseling (BK) dalam usaha antisipasi adanya kekerasan seksual sangat vital. Siswa dapat mengadukan setiap indikasi pelecehan seksual kepada guru BK. Guru BK hendaknya melaksanakan tugas dengan teknik jemput bola. Jangan hanya melakukan tugasnya setelah ada laporan dari siswa.
Disamping peran guru BK, warga sekolah seperti wali kelas, guru, dan pegawai turut serta melakukan pengawasan terhadap siswa sehingga kekerasan seksual terhadap siswa dapat terhindarkan. Komunikasi antar warga sekolah perlu ditingkatkan.
Wali kelas atau guru apabila menemukan perubahan tingkah laku siswa, wali kelas dan guru diharapkan melakukan komunikasi secara personal kepada siswa tersebut sehingga siswa tersebut mau berterus terang menyampaikan permasalahannya.
Langkah antisipasi tentu merupakan langkah terbaik dilakukan. Apabila kasus kekerasan seksual telah terjadi tentu kejadian itu berdampak pada psikologis anak (siswa).
Suar Adnyana mengatakan dalam artikelnya bahwa dampak psikologis yang terjadi pada anak yang menjadi korban, antara lain menurunnya harga diri, menurunnya kepercayaan diri, depresi, dan kecemasan.
“Awasi anak (siswa) di setiap lingkungannya. Jauhkan anak (siswa) dari predator seksual yang dapat menghancurkan masa depan anak (siswa),” kata Suar Adnyana dalam artikelnya.
Satu Kasus Tergolong Banyak
Adakah yang cemas terhadap jumlah kasus kekerasan seksual yang bisa disebut cukup sering terjadi itu di Buleleng? Tentu saja ada.
Karena rasa cemas banyak orang terhadap kasus kekerasan seksual terhadap anak itulah maka kini muncul sejumlah lembaga yang punya perhatian besar terhadap kasus-kasus yang mengancam kehidupan anak-anak dan perempuan. Selain lembaga-lembaga non pemerintah, banyak juga lembaga yang dibentuk pemerintah.
Salah satunya adalah Pusat Pelayanan Terpadu Pemberdayaan Perempuan dan Anak, disingkat P2TP2A. Di Buleleng, lembaga itu berada di Dinas Pengendalian Penduduk, Keluarga Berencana, Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak, disingkat dinas P2KBP3A.
Ketua Pelaksana Harian P2TP2A Dinas P2KBP3A Buleleng, Made Riko Wibawa, mengatakan satu kasus dalam satu bulan itu sudah termasuk banyak. Apalagi jika dikaitkan dengan penanganan dan pendampingan terhadap anak-anak dan perempuan yang menjadi korban atau pelaku dalam kasus itu.
“Satu kasus memerlukan pendampingan terhadap anak-anak, baik terhadap pelaku maupun korban, dalam waktu yang cukup lama, dari proses pemeriksaan polisi hingga siding pengadilan,” kata Riko.
Pendampingan dilakukan secara menyeluruh, misalnya menemani anak-anak yang menjadi korban atau menjadi pelaku ketika menjalani pemeriksaan di kepolisian atau dalam sidang pengadilan.
“Pendampingan dilakukan secara fisik dan psikis bersama psikolog,” kata Riko.
Jika si anak yang terkena kasus itu mendapatkan bullying dari teman-teman sekolah atau dari lingkungan tempat tinggalnya, dan sia anak merasa tidak nyaman dan ingin pindah, maka P2TP2A juga berupaya untuk memindahkan anak itu demi mendapatkan tempat yang nyaman.
“Kami tetap berupaya agar anak yang terkena kasus merasa nyaman dan psikisnya tidak terganggu,” ujar Riko/
Secara umum Riko menyebutkan, P2TP2A memiliki setidaknya dua program, yakni program pencegahan dan program penanganan atau pendampingan jika terjadi kasus yang melibatkan anak-anak dan perempuan, termasuk kasus kekerasan seksual terhadap anak-anak.
Program pencegahan dilakukan dengan memberikan sosialisasi ke sekolah-sekolah dank e desa-desa. “Sosialisasinya antara lain berisi pengetahuan-pengetahuan agar anak-anak bisa menghindar dari kasus kekerasan seksual, dan para orang tua bisa mengawasi anak-anaknya dengan lebih baik,” katanya.
Misalnya, kata Riko, P2TP2A memberi pengetahuan tentang organ-organ tubuh anak-anak yang tak boleh disentuh oleh orang lain, dan siapa-siapa saja yang boleh menyentuhnya dengan pengawasan.
“Sejauh ini kami melayani permintaan pihak sekolah atau pemerintahan desa untuk melakukan sosialisasi,” kata Riko. [T]