PADA TAHUN 2020, arak Bali menjadi perbincangan serius─yang benar-benar serius. Pasalnya, Pemerintah Provinsi Bali, mungkin dengan agak was-was, mengesahkan Peraturan Gubernur (Pergub) Bali Nomor 1 Tahun 2020 tentang Tata Kelola Minuman Fermentasi dan/atau Destilasi Khas Bali dengan harapan dapat menjadi tonggak perubahan status yang mengangkat keberadaan, nilai, dan harkat arak Bali.
Semenjak berlakunya Pergub Bali No.1 Tahun 2020, arak Bali tampil lebih modern dan industrial. Tak sedikit produk olahan arak Bali telah mendapat ijin edar dari BPOM RI dan pita cukai dari Kanwil Bea dan Cukai Provinsi Bali. Hal ini membuat para perajin atau penjual arak Bali dapat bernapas lebih lega saat memperjual-belikan produknya.
Dua tahun setelah pengesahan Pergub Bali tersebut, arak Bali kembali menjadi perbincangan publik. Melalui Surat Keputusan Gubernur Bali Nomor 929/03-I/HK/2022, Wayan Koster menetapkan tanggal 29 Januari sebagai Hari Arak Bali. Selanjutnya, sudah dapat ditebak, keputusan itu menimbulkan perdebatan dan memantik pro-krontra.
Alasan penetapan Hari Arak Bali
Dilansir dari kompas.com, Gubernur Bali Wayan Koster, menjelaskan alasannya menetapkan tanggal 29 Januari sebagai Hari Arak Bali. Menurutnya, penetapan ini dapat menjadi salah satu upaya melindungi dan memberdayakan Arak Bali.
“Dalam upaya dan strategi memperkokoh perlindungan dan pemberdayaan Arak Bali, ditetapkan Hari Arak Bali dengan tujuan mengenang Peraturan Gubernut Bali Nomor 1 Tahun 2020 tentang Tata Kelola Minuman Fermentasi dan/atau Destilasi Khas Bali,” katanya dikutip dari kompas.com.
Sedangkan, Balipost.com, yang notabene sebagai media daerah, mengabarkan tiga alasan lainnya, yaitu, untuk membangun kesadaran kolektif masyarakat Bali terhadap keberadaan, nilai, dan harkat arak Bali; untuk melindungi dan memelihara arak Bali sesuai dengan nilai-nilai budaya, serta memberdayakan, memasarkan, dan memanfaatkan arak Bali sebagai ekonomi rakyat secara berkelanjutan; dan menghindarkan pemanfaatan arak Bali untuk kegiatan yang bertentangan dengan nilai-nilai esensial arak Bali dan peraturan perundang-undangan yang beraku.
Yang mendukung dan menolak sama-sama punya alasan
Seperti yang sudah disinggung di awal, bahwa penetapan tanggal 29 Januari sebagai Hari Arak Bali telah memantik pro dan kontra. Dari politisi sampai akademisi, entah yang mendukung maupun yang menolak, tentu sama-sama punya alasan.
Dilihat dari pemberitaan di media massa dan media sosial, pihak yang pro maupun yang kontra, dengan gaya masing-masing, menggunakan berbagai argumentasi dan sudut pandang untuk memperkuat pendapat-pendapat mereka.
Ada tokoh yang berargumentasi dengan berpegang pada sudut pandang budaya, warisan leluhur, kearifan lokal dan istilah-istilah klasik sejenisnya. Ada yang menggunakan alasan ekonomi, dan ada tokoh menggunakan alasan dengan pedoman administrasi negara. Tentu ada juga yang menggunakan alasan yang asal-asalan.
Seperti biasa, banyak juga, terutama di media sosial, orang-orang berpendapat dengan kata-kata yang berbau sentimen, terutama sentiment politik, semisal karena alasan suka-atau tidak suka dengan Gubernur Koster sebagai pejabat yang mencetuskan Hari Arak Bali itu. Aroma dukung mendukung dalam konteks ini kadang terasa seperti acara dukung mendukung dalam suasana pemilihan Gubernur,
Terlepas dari aroma dukung-mendukung secara politik, di sejumlah media sosial, sejumlah tokoh memang tampak cukup serius mengemukakan argumentasi dengan gaya meyakinkan agar opininya bisa mempengaruhi publik.
Prof. Dr. Drs. I Made Agus Gelgel Wirasuta, Apt., M.Si, misalnya. Ahli Farmasi Universitas Udayana ini mendukung dan mengatakan bahwa Hari Arak Bali yang diperingati setiap setahun sekali pada tanggal 29 Januari adalah gagasan yang tepat. Mengingat, arak Bali sebagai warisan budaya Bali.
“Oleh karena itu, tujuan Guberbur Bali, Bapak Wayan Koster menggelar peringatan Hari Arak Bali untuk menghidupkan kembalin tradisi budaya Bali─karena warisan budaya ini memiliki khasiat dan nilai ekonomi yang tinggi,” katanya dikutip dari Bali Express
Sementara itu, Nyoman Kenak, Ketua PHDI Bali, memberikan apresiasi kepada Gubernur Bali karena telah menata sedemikian rupa pemanfaatan minuman tradisional arak Bali dengan mengeluarkan Pergub Bali No.1 Tahun 2020 dan untuk mengenang itu maka dibuatlah Peringatan Hari Arak Bali.
I Kadek Satria, akademisi UNHI Denpasar, menilai peringatan Hari Arak Bali secara positif untuk menguatkan perekonomian lokal Bali. Dari pihak lain, Yowana MDA Kabupaten Karangasem melalui Petajuh, I Made Arda Oka dengan tegas menyatakan setuju atas gagasan tersebut dengan alasan “Gubernur Bali sangat berani dan cerdas mengangkat warisan budaya bali yang memiliki kekuatan ekonomi dan perlu dijaga kelestariannya untuk menunjang perekonomian masyarakat yang berprofesi sebagai petani arak Bali,” katanya.
Sedangkan, terkait dengan Hari Arak Bali, Akademisi Hukum Universitas Warmadewa, Dr. I Wayan Rideng, S.H., M.H., walaupun tidak menyatakan dukungannya secara langsung, kepada balipost.com ia mengatakan bahwa kebijakan yang dikeluarkan oleh seorang pemimpin, tidak mungkin membawa masyarakat ke hal yang tidak baik.
Berbeda dengan tokoh-tokoh yang telah disebutkan di atas, Putu Artha, mantan komisioner KPU Pusat yang juga politisi Nasdem, justru menilai penetapan Hari Arak Bali melanggar hukum administrasi negara. Alasannya, seperti yang ia ungkapkan kepada denpasar.suara.com, momentum hari besar yang memiliki otoritas dan kewenangan adalah pemerintah pusat.
“Seluruh peringatan hari-hari besar bersifat nasional. Tak ada hari besar bersifat lokal. Landasan hukum penetapannya Perpres termasuk potensi kemungkinan ada hari libur dalam hari besar nasional tertentu,” katanya dikutip dari denpasar.suara.com.
Penetapan Hari Arak Bali juga mendapat komentar satire dari Ketua Umum Partai Kebangkitan Nasional (PKN), Gede Pasek Suardika. Mantan politisi Partai Demokrat dan Hanura itu mengatakan, “Mumpung masih berkuasa dan bisa anggarkan uang dari APBD semua bisa dilakukan. Bila perlu ulang tahunnya juga dijadikan hari apa saja juga boleh.”
Lebih lanjut ia menyampaikan kepada denpasar.suara.com, “Semoga setelah Hari Arak Bali ini akan ada juga Hari Babi Guling, Hari Pie Susu, Hari Jaje Gambir, Hari Ayam Betutu, Hari Brem Bali, Hari Penjor Bali, dan lainnya. Bagus juga kalau ada libur fakultatifnya. O iya, jangan lupa perlu juga Hari Berkabungnya SMAN Bali Mandara juga diperingati.”
Di lain pihak, Paiketan Krama Bali, secara terang-terangan menolak keras Hari Arak Bali. Melalui Surat terbuka yang ditandatangani oleh ketua Umum Paiketan Krama Bali, Dr. Ir. Wayan Jondra, M.Si dan Sekretaris Umum, I Made Perwira Duta, S.S, CHA, tanggal 23/1/2023, memberikan alasan penolakan hari Arak Bali itu.
Mereka berpendapat bahwa dalam kitab suci Weda melarang minuman keras dan sejenisnya, termasuk arak. Hal ini dituangkan dalam surat terbuka dalam butir ke tujuh:
Manu Smerti Bab 11 ayat 151, Manu Smerti Bab 7 ayat 47-50, Manu Smerti Bab 9 ayat 225, Rigved Book 8 hymn 2 ayat 12 dan Rigved Book 8 hymn 21 ayat 14 melarang konsumsi alkohol apalagi sampai mengganggu kesadaran/mabuk.─Surat Terbuka Paiketan Krama Bali tentang Penolakan Hari Arak Bali.
Di luar pro dan kontra tentang Hari Arak Bali, ternyata banyak juga yang bersikap dengan cara lain. Ada yang diam, entah tak peduli, entah netral atau tak punya sikap.
Pada akhirnya, atas ditetapkannya tanggal 29 Januari sebagai Hari Arak Bali, terlepas dari pro dan kontra, arak Bali akan tetap menjadi bagian dari kebudayaan orang Bali. Itu. [T]