SEJAK TAHUN 1990-AN masyarakat Desa Tajun di Kecamatan Kubutambahan, Buleleng, Bali, pasti tidak asing dengan keben atau sokasi tempat banten buatan Gde Dana dan Made Suke.
Tidak sedikit masyarakat Desa Tajun menggunakan keben buatannya saat upacara keagamaan. Bahkan sampai sekarang produk keben dan produk anyaman bambu lain dari Gde Dana dan Made Suke tetap eksis di masyarakat. Bisa disebut, kakak-beradik itu adalah penganyam bambu legendaris dari Desa Tajun.
Gde Dana (44) dan Made Suke (43) adalah dua bersaudara yang lahir di Desa Tajun dari keluarga sederhana pasangan Putu Ngurah dan Made Mirah. Orang tuanya hanya bisa menyekolahkannya sampai SD. Mereka tidak pernah mendapatkan pelatihan membuat kerajinan bambu baik di sekolah maupun di masyarakat.
Lantas bagaimana ceritanya, mereka bisa menjadi perajin anyaman bambu yang produknya tidak hanya digunakan oleh masyarakat Desa Tajun dan sekitarnya tetapi beredar sampai ke Kabupaten Bangli dan Gianyar?
Jero Gde Dana, begitu ia dipanggil sekarang. Nama Jro di depan namanya adalah sebutan kehormatan karena ia kini menjadi salah satu pamangku kahyangan desa di Desa Tajun sejak tahun 2000.
Ia mengenal anyaman bambu sejak kelas 1 SD. Adalah bibinya, Made Subanda, yang pertama kali mengenalkannya pada anyaman bambu.
Saat itu ia memerhatikan bibinya membuat anyaman bambu yaitu pangukusan (alat untuk menanak nasi). Jero Gede Dana kemudian tertarik untuk bisa menganyam. Ia belajar autodidak. Ia mencermati contoh anyaman bambu yang sudah ada. Akhirnya Jero Gede Dana berhasil menjual anyaman pangukusan pertama kali saat kelas 4 SD.
Made Suke dari Tajun sedang mengayam
Sadar bahwa anyaman bambu bisa mendatangkan uang, Jero Gede kemudian benar-benar menekuni kerajinan anyaman bambu. Saat kelas 6 SD, ia dan adiknya Made Suke latas belajar bersama untuk bisa membuat produk lain, seperti keben dan wakul.
Kata Made Suke, saat itu keben milik orang tua yang sudah jadi ia bongkar untuk bisa mencontoh pola anyamannya. Setelah bisa meniru secara utuh, ia lantas secara kreatif mengembangkan pola anyaman sehingga produknya khas.
Kondisi orang tua yang tidak mampu adalah penyebab utama Jero Gde Dana dan Made Suke menggeluti kerajinan anyaman bambu. Lahir dari keluarga sederhana, mereka sadar betul tidak bisa bersekolah lebih tinggi.
Namun, mereka tidak patah semangat. Justru kondisi ini menjadi pemantik dua bersaudara ini untuk terus belajar agar setelah tamat SD bisa memiliki keterampilan yang menghasilkan untuk meringankan beban orang tua.
Tidak hanya mampu meringankan beban orang tuanya. Jero Gede Dana dan Made Suke merasakan betul hasil kerajinan anyaman bambu mampu memenuhi kebutuhan sehari-hari dan biaya sekolah anak-anaknya.
Pada tahun 2001, Jero Gede Dana bahkan pernah menjadi tutor membuat anyaman bambu tingkat kecamatan di Desa Bontihing. Pada tahun itu juga pemerintah memberikan legalitas usaha berupa SK Nomor 299/KBU/PLS/TJN/2001 dengan nama Kejar Usaha Anyaman Bambu “Sidha Karya”. Bantuan modal usaha juga pernah diperoleh dari pemerintah untuk mengembangkan usaha kerajinannya.
Jero Gede Dana mengatakan walaupun di sela-sela kesibukannya sekarang sebagai melayani umat dirinya tetap menerima pesanan dan menganyam. Ini karena sudah menjadi janji dan komitmen bahwa tidak akan pernah meninggalkan profesi perajin yang sudah memberikan kehidupan yang luar biasa.
Jenis Produk
Produk yang pertama kali ia buat adalah keben untuk tempat banten. Gede Dana dan Made Suka membuatnya dalam tiga jenis ukuran sesuai pesanan, yaitu ukuran besar 60 cm, menengah 40 cm, dan kecil 25 cm. Oleh karena hasil karyanya diminati, mereka lantas membuat produk anyaman lain seperti wakul tempat daksina dan tas gandek tempat bajra atau genta.
Motif Khas, Estetik, dan Tahan Lama
Produk anyaman yang dibuat memiliki kekhasan dan keunggulan sehingga tetap diminati sampai sekarang.
Motif yang unik adalah ciri khas anyaman bambu Jero Gede Dana dan Made Suke. Motif anyaman mulai dari motif pita, cakra, swastika, windu, sampai motif rantai.
Selain motif tersebut, produk kreatifnya juga bisa diisi tulisan seperti nama sesuai dengan permintaan pembeli. Ini membuat keben dan wakul semakin estetik.
Produk keben dan wakul hasil olah tangan Gde Dana dan made Suke
Keben dan wakul yang dibuat juga kuat atau tidak lemas karena dibuat dari bambu pilihan. Bambu yang digunakan adalah jenis bambu (tiing) tali. Made Suke membelinya dari masyarakat Desa Tajun.
Bambu terlebih dahulu dicat kemudian dibelah tipis-tipis. Setelah itu baru dianyam. Dengan ini warnanya pun menjadi lebih mengkilap dan tahan lama.
Pemasaran Sampai ke Gianyar
Pembeli produk-produk anyaman bambunya pada awalnya adalah masyarakat Buleleng khususnya Desa Tajun dan desa-desa sekitarnya. Oleh karena motif yang unik dan kualitas yang bagus pemasarannya sampai ke Kabupaten Bangli dan Gianyar. Made Suke menuturkan pada tahun 2010 sempat kewalahan memenuhi pesanan dari Gianyar. Bahkan semua pesanan saat itu berisi nama.
Mengenai harga tentu tidak menguras isi kantong. Harga keben ukuran kecil misalnya, tidak lebih dari Rp 50 ribu. Sedangkan ukuran menengah harganya Rp 80 ribu, dan yang besar Rp 150 ribu. Pun dengan harga wakul daksina berkisar Rp 40 ribu.
Seiring perkembangan zaman, berbagai jenis keben pun hadir di pasaran, seperti berbahan kayu dan plastik. Namun, produk-produk Jero Gede Dana dan Made Suke, seperti keben, wakul, tas gandek masih tetap diminati. Ia sampai sekarang menerima pesanan langsung di rumahnya juga melalui media sosial seperti facebook dan whatsapp.
Produknya tetap diminati selain karena kualitas bagus dan harga terjangkau, tentu juga karena motif unik dan estetik. [T]