DESA SERAYA, sebuah desa di ujung timur Pulau Bali memiliki sebuah tradisi yang masih dijaga dan dilestarikan hingga kini. Tradisi itu adalah atraksi seni atau tarian sakral, yakni tarian perang dengan menggunakan senjata rotan dan tameng.
Tarian ini digunakan sebagai tarian perang ketika zaman kerajaan dahulu. Tujuannya untuk melatih keterampilan para prajurit dalam menggunakan senjata dari rotan dan tameng. Tameng atau perisai terbuat dari kulit sapi sebagai pelindung dan menangkis serangan lawan.
Tarian ini bernama Gebug Ende. Gebug berarti pukul dengan rotan atau penyalin panjang, Ende sebutan tameng yang terbuat dari kulit sapi. Tarian Gebug Ende juga digunakan sebagai tarian memohon hujan oleh masyarakat Desa Seraya.
Desa Seraya adalah daerah yang memiliki curah hujan yang rendah, tapi air hujan sangat diandalkan untuk keperluan pertanian dan air konsumsi. Kemarau panjang selalu menjadi momok yang menakutkan bagi masyarakat di desa itu. Maka dengan menggelar tarian Gebug Ende, masyarakat percaya hujan akan segera turun membasahi tanah tandus dan bebatuan.
Oleh sebagian orang, tarian ini terlihat menakutkan. Karena apabila rotan itu mengenai kulit, maka luka yang ditimbukan akan memunculkan rasa ngeri dari orang yang menontonnya. Luka seperti terbakar akan langsung muncul ketika rotan telak mengenai kulit. Dan sensasi panas serta perih yang ditimbulkan tentu akan terasa berhari-hari. Apalagi rotan sampai mengenai kepala, alhasil darah akan mengalir membasahi penutup kepala yang digunakan.
Masyarakat Desa Seraya percaya, ketika tarian itu digelar dan terdapat petarung yang sampai berdarah di kepala karena terkena rotan, hujan akan lebih cepat turun. Seakan darah dan luka dibayar hujan yang ditunggu-tunggu.
Luka dan nyeri tak mengurangi semangat para petarung untuk tetap magebug dan melestarikan tarian ini hingga kini. Ketika alunan gamelan terdengar, para pemuda seakan ditarik, dan api semangat mereka akan tersulut untuk beradu keterampilan menggunakan rotan dan tameng, menangkis dan memukul. Saling jual beli serangan.
Sekeha Gebug Ki Kopang Kanthi Seraya
Pelestarian tarian ini tetap dilakukan dengan memperkenalkannya keluar desa. Selain pada musim kemarau panjang, tarian ini sering dipentaskan ketika ada event-event besar. Tarian ini tidak pernah absen mengikuti pembukaan Pesta Kesenian Bali setiap tahunnya, sebagai perwakilan dari Karangasem.
Belum lama ini, tepatnya pada 14-16 Oktober 2022 diadakan Seraya Culture Fest yang pertama. Event ini digelar sebagai ajang untuk melestarikan tradisi dan menarik wisatawan agar datang dan mengenal Gebug Ende Seraya.
Acara itu dibuka langsung oleh Bupati Karangasem, sebagai langkah awal pelestarian tradisi yang memang perlu untuk tetap dijaga kelestariannya. Harapannya agar Seraya Culture Fest diadakan setiap tahun, sehingga dapat menjadi daya tarik baru bagi wisatawan dan tentunya generasi muda ikut bersama melestarikan tradisi. Dan tidak menutup kemungkinan dapat di padukan dengan tradisi dari daerah lain sehingga bisa saling mengenal keunikan daerah masing-masing.
Antusiasme masyarakat terlihat begitu besar. Lapangan Ki Kopang, tempat diadakannya acara itu, penuh dengan penonton. Pertarungan sengit terjadi, karena banyak petarung turun gunung ikut meramaikan acara dan mempertontonkan keahlian menggunakan penyalin dan ende dalam jual beli serangan.
Tak hanya di Desa Seraya, tarian Gebug Ende juga ada di Lombok. Konon zaman kerajaan dulu, tarian ini dikenalkan di Lombok ketika Kerajaan Karangasem memperluas kekuasaan sampai ke Lombok. Tarian ini juga masih sering digelar di daerah Gerokgak, Buleleng. Masyarakat asli Desa Seraya yang tinggal di daerah itu tetap percaya akan kesakralan tarian ini dan tujuan digelarnya tarian ini juga untuk memohon hujan.
Pada 28 Desember lalu, Sekeha Gebug Ki Kopang Kanthi Seraya berangkat ke Desa Semberkima, Gerokgak, untuk menghadiri undangan sebagai bentuk pelestarian tradisi Gebug Ende dan tentunya memohon hujan.
Undangan itu dihadiri 30 orang Sekeha Gebug di dampingi Bendesa Adat Seraya, I Made Salin, yang juga ikut menghadiri acara tersebut.
Ketua Sekeha Gebug Ki Kopang Kanthi Seraya, I Made Jineng Adnyana, menuturkan Sekeha Gebug yang resmi didirikan pada bulan Agustus 2022 itu mendapat undangan menghadiri gelaran gebug di Desa Sumberkima. Karena di daerah itu hujan tak kunjung turun sehingga berpengaruh terhadap hasil pertanian di sana.
Pada tanggal 22 Desember kedua belah pihak sepakat menggelar tarian Gebug Ende yang dimulai pada 28 hingga 30 Desember di Desa Sumberkima. Dan siap memberangkatkan anggota sekeha dari Desa Seraya untuk ikut memeriahkan acara tersebut.
Hal ini disambut positif dan mendapat dukungan penuh dari Bendesa Adat, karena ikut melestarikan tarian Gebug Ende walau berada di luar Desa Seraya dan menjalin silahturahmi sesama masyarakat asli Desa Seraya.
Sekeha Gebug Ki Kopang Kanthi Seraya
Masyarakat di Desa Sumberkima pun menyambut baik kedatangan rombongan Sekeha Gebug yang berangkat dari Seraya. Walau hujan mengiringi gelaran tarian sakral itu, semangat petarung dan penonton memenuhi arena Gebug itu.
Masyarakat Desa Sumberkima yang masih melestarikan tarian Gebug Ende menamakan kelompok mereka Sekeha Ngayah. Ngayah untuk melestarian tradisi, ngayah mempertaruhkan kulit mereka terluka terkena penyalin. Dan bahkan ngayah darah mereka bercucuran terkena penyalin yang mendarat di kepala. Ngayah untuk hujan, untuk hasil panen, untuk kesuburan tanah.
Berbicara tradisi memang tidak akan pernah habis. Kekayaan yang luar biasa tak akan bisa tergantikan dengan materi. Melestarikan tradisi tersebut memerlukan tekad yang kuat, saling rangkul dan bergandengan. Layaknya tarian Gebug Ende, pertarungan hanya di arena, sesudahnya tetap saudara. Saat bertarung memang terlihat sangat bengis dan keras, setelah selesai saling peluk dan kembali menjadi saudara. Di mana pun berada, jangan pernah melupakan tradisi. [T]