IDEAL, dalam bayangan banyak orang adalah sesuatu yang sempurna. Sesuatu yang diinginkan banyak orang. Kata ideal tidak lepas dari dasar ide. Bahkan mungkin hanya sekedar ide saja. Itu sudah cukup.
Ide bisa muncul kapan saja. Ide bahkan bisa melampaui ambang batas kemampuan kita untuk mewujudkannya. Sebuah ide yang liar, di luar logika, misalnya, bisa saja ditertawai banyak orang. Bisa dianggap di luar nalar.
Pencapaian akan ide tersebut, itulah ideal. Ketika ide dimunculkan, lalu berhasil terlaksana dengan baik, saat itulah dapat dikatakan sesuatu yang ideal sudah terjadi.
Namun pada beberapa kejadian, ide yang muncul juga dibarengi dengan berbagai opsi untuk mewujudkannya. Opsi itu sebagai jalan keluar ketika ide itu tidak terwujud dengan sempurna.
Sering sekali muncul kata “Idealnya begitu, namun bisa dengan cara begini”. Seakan ide di awal yang sudah dibentuk dengan baik menjadi remeh karena muncul opsi-opsi sebagai jalan pintas ketika ide itu dianggap sulit diwujudkan.
Karena ada jalan pintas itu, ide awal pun tidak bisa terwujud dan kata ideal gagal terbentuk. Banyak contoh dalam kehidupan sehari-hari yang kita temui.
Misalnya frekuensi makan dalam sehari. Kalau bicara ideal, kita makan dalam sehari tiga kali, pagi sebelum jam 09.00, siang 12.00-13.00, malam 18.00-19.00. Itu idealnya.
Namun bukan berarti pada jam-jam selain yang didealkan itu kita tidak boleh makan, bahkan frekuensi bisa berubah sesuai dengan faktor-faktor yang mempengaruhi.
Nah disitulah muncul kalimat, “Idealnya begitu, tapi kalau nasinya belum matang, ya bolehlah makan pagi di jam 11.00, yang penting makan tiga kali sehari,” atau “Idealnya begitu, tapi kalau belum bisa beli makan, satu kali sehari saja cukup, yang penting dapat makan.”
Itu salah satu faktor penyebab munculnya opsi-opsi sebagai jalan keluar untuk memenuhi kata ideal itu, walau belum seideal yang diinginkan.
Ada yang menganggap makan sesuai frekuensi dan tepat waktu itu ideal, ada yang menganggap frekuensi makan saja yang terpenuhi sudah ideal, bahkan ada yang menganggap makannya saja terpenuhi sudah ideal. Hidup ideal masing-masing orang pun tidak sama.
Bisa dibilang kata ideal itu menjadi fleksibel sesuai keadaan, dan tidak bisa dipukulrata ke semua. Bahkan hal-hal itu terjadi dalam sebuah pekerjaan. Kata “idealnya begitu” juga sering dilontarkan sebagai perisai ketika prosedur yang sudah ada tidak bisa berjalan sesuai aturan. Ada yang mengatakan, “Aturan ada untuk dilanggar”.
Melirik pada kehidupan sehari-hari, ada benarnya kata-kata itu. Misalnya dalam sebuah keadaan, ternyata jalan pintas untuk mencapai tujuan lebih terbuka lebih lebar dibanding jalan yang sudah diidealkan sesuai aturan. Sehingga banyak orang lebih tergoda untuk memilih jalan pintas itu dibanding jalan yang sudah ditentukan, jalan yang dianggap sulit dan banyak rintangan.
Dan sudah tentu, ketika menggunakan jalan pintas, resiko pasti ada. Frekuensi makan dan waktu makan yang ideal dibuat tentu sudah melalui banyak penelitian. Ketika frekuensinya diubah, maka akan menimbulkan dampak bagi tubuh, begitu juga waktunya, tentu ada dampak yang akan muncul di tubuh kita.
Begitu juga prosedur yang telah ditetapkan tentu sudah dikaji dengan baik. Ketika jalan pintas yang dipilih maka dampak lain bisa muncul mengikutinya. Perisai “idealnya begitu” lama kelamaan akan mulai rapuh dan mau tidak mau kita harus mengikuti prosedur yang ada agar tidak terus menerus berdampak, apalagi dampaknya buruk. Atau mungkin mencari periasi lain ketika satu perisai sudah tidak bisa digunakan.
Di situlah kelemahan kita. Ketika seseorang susah payah mencari jalan yang baik untuk semua orang, kita yang menggangap jalan itu sulit dilalui, akan sibuk mencari jalan pintas untuk kita sendiri-sendiri. Resiko ditanggung belakangan. [T]