“Saya tidak bisa berkomentar untuk kabar yang belum tentu benar”. -Larry Page- (Pendiri Google)
Salah satu langkah dan upaya kita dalam hidup yang penuh pemberdayaan (hidup yang penuh arti) pada jaman sekarang adalah dengan berpikir skeptis (tidak mudah percaya dengan sesuatu). Selain kita harus mampu menilai suatu kebenaran itu berdasarkan fakta dan data yang valid. Kita juga harus sanggup bertindak logis dan memberdayakan.
Artinya ketika kita ikut percaya dan bahkan ikut menebarkan berita-berita yang berbau kebencian dan pembodohan, pertanyakan pada diri sendiri sekali lagi. Apakah dampak positif yang akan kita dapatkan dari tindakan tersebut? Jika kita memang tidak tahu kebenarannya, apakah kita tidak sebaiknya mendiamkan informasi palsu itu? Jika kita punya bukti yang kuat, apa tidak sebaiknya kita melaporkan hal itu kepada yang berwajib?
Sekali lagi, yang saya bicarakan dalam hal ini adalah informasi palsu yang sering disebarkan, di-share lewat akun media sosial. Karena ini adalah salah satu bagian dari bertindak solutif.
Saat ini bangsa kita dihadapkan perang tanpa bentuk dari dunia maya. Oleh karena itu, selain harus menggali fakta dan data dari sebuah informasi kita juga perlu membentengi diri dengan pertanyaan: Apakah sikap yang saya lakukan sudah benar? Apakah tindakan yang saya lakukan dapat memberikan kebaikan bagi masyarakat? Apakah upaya yang saya ambil sudah berpihak kepada Tuhan?
Sebagai sebuah contoh lagi, dulu pernah ada kejadian seorang tetangga yang rumahnya dihakimi masa karena diduga memiliki ilmu hitam dan penyebab kematian di sekitar lingkungan itu. Setelah ditelusuri dari informasi yang saya dapatkan ternyata beberapa orang yang sudah meninggal itu memang karena sakit maag kronis, ada juga yang sakit karena stroke. Saya juga melihat bahwa umur beliau yang sudah meninggal cukup tua yaitu menginjak 70-an. Dari kejadian ini apakah bisa kita buktikan kalau seseorang yang dihakimi rumahnya, dilempari batu, dan dirusak menjadi tersangka penyebab kematian di tempat itu.
Seseorang yang dihakimi rumahnya menanggung kerugian moril dan material. Seseorang tersebut juga memiliki beban tanggungan anak-anaknya yang sedang menempuh pendidikan. Pekerjaannya mengandalkan pertanian yang penghasilannya saat itu tidak seberapa.
Apakah orang-orang tidak kasihan menyakiti orang lain yang belum tentu bersalah? Apa logika kita menghakimi seseorang yang hidupnya sama dengan kita? Meskipun berita mengenai kematian itu Anda dapatkan dari dukun (di Bali istilahnya Balian sakti), apakah mesti kita mempercayai semuanya.
Kalau Balian itu memang dekat dengan Tuhan tidak mungkin rasanya Ia memberikan informasi yang dapat mengarahkan pada kasus penghakiman pada seseorang yang belum terbukti bersalah. Balian yang baik menjunjung tinggi kebenaran, dekat dengan Tuhan, tidak mengajarkan untuk saling menyakiti, dan tentunya tidak memprovokasi masalah.
Dalam hal ini Anda perlu perlu berhati-hati, karena motif orang-orang yang mengaku dirinya sakti dan tahu segala hal saat ini sangat banyak. Lagi-lagi masalahnya adalah demi mendapatkan uang dengan menjalankan bisnis yang kotor. Kita tentu masih ingat dengan Dimas Kanjeng. Orang yang dikatakan bisa melipatgandakan uang. Berapa masyarakat yang dibodohi oleh pengaruhnya?
Tertipu, dilecehkan, dan disakiti. Berapa orang yang pernah tertipu oleh investasi bodong? Oleh karena itu, sekali lagi penting menurut saya untuk membentengi diri dengan sikap mental yang kuat terhadap suatu kejadian. Gunakan selalu pertanyaan-pertanyaan memberdayakan yang tidak membuat kita terjerumus dalam ketidakberdayaan. Caranya adalah dengan selalu bertindak dan berpikir kritis.
Selalu bertanya: apakah itu benar? bagaimana hal itu bisa terjadi? apakah hal itu bisa dibuktikan secara ilmiah? Inilah pertanyaan yang dapat menjadi solusi bagi diri kita. Berpikirlah skeptis! [T]
BACA artikel lain dari penulis SUSILA DARMA