— Catatan Harian Sugi Lanus, 11 Oktober 2022
[][][]
Hindu Dresta Bali yang sedang ramai dibicarakan krama medsos mengundang pertanyaan dan renungan:
1. Jika agama Hindu di Bali disebut sebagai Agama Dresta Bali, apakah aksara Bali diangkat secara aklamasi sebagai aksara suci Hindu Dresta Bali?
Jika jawabannya adalah “ya”, muncul pertanyaan lanjutan.
2. Apakah bisa menjadi agamawan Hindu Dresta Bali jika yang bersangkutan buta aksara Bali?
Sebagai ilustrasi agama Islam aksara sucinya adalah aksara Arab.
Maka tidak ada satupun orang yang tidak fasih baca tulis huruf Arab berani mengaku Ustadz dan Ustadzah atau guru yang berada dalam lingkungan keumatan Islam. Kalau tidak paham baca tulis Arab bisa-bisa disebut Ustadz bodong. Apalagi Kyai Haji dan Tuan Guru, pasti memegang dan berpatokan pada keberaksaraan Arab.
Di masa lalu di Bali juga demikian situasinya. Karena itu Bali masih selamat dari gempuran siar atau pengaruh agama-agama yang berusaha masuk Bali.
Pemangku dan pemujaan agama Hindu Bali pasti fasih baca tulis aksara Bali dan ahli sastra dan terlahir dari tradisi Nyastra. Nyastra artinya bukan hanya bisa baca tulis, tapi paham tata bahasa dan kajian isinya, Mababasan dan nyurat aksara, serta kuat secara mendasar pemahaman Tatwa.
Benteng pertahanan Bali di masa lalu sehingga mampu tetap selamat dari gempuran luar adalah keteguhan para pemuka agama di Bali dalam memegang pedoman sastra dan tradisi suci, memegang teguh ajaran lontar-lontar suci yang kini masih diwarisi di berbagai keluarga di Bali itu.
Pemangku wajib baca tulis Bali
Lontar-lontar pedoman Kepemangkuan paragraf pertama sangat umum berisi pesan jelas seperti ini:
“Seseorang tidak bisa (dilarang) menjalankan tugas kepemangkuan jika tidak memahami DASA AKSARA”.
Biasanya kalimat seperti ini tercantum dalam lontar-lontar berjudul SANGKULPUTIH & KUSUMADEWA.
Siapapun yang mengaku pemangku atau sudah di-winten secara kepemangkuan formal di Bali wajib di masa lalu (tidak lagi di masa kini) mengimani atau mempedomani dua jenis lontar pilihan tersebut: Sangkulputih dan Kusuma Dewa.
Bentuk pesan lain dalam paragraf pertama salah satu lontar Kusuma Dewa menyebutkan seperti ini:
“Barangsiapa tidak paham Dasa Aksara tidak memenuhi syarat sebagai Pemangku”.
Apa piteket atau pesan tersurat dan tersiratnya?
1. Pemangku dianjurkan tidak buta aksara Bali.
Kalau buta aksara Bali, dipacu belajar dari nol.
Kenapa harus belajar akasara Bali pemangkunya?
Agar bisa membaca lontar-lontar Kepemangkuan pedoman Sastra Dresta dari seorang pemangku.
2. Pemangku wajib memahami Dasa Aksara yang terdiri dari Pañcabrahma dan Pañcākasara karena itulah pedoman umum puja kepemangkuan.
— Aksara suci dari Dewata Nawa Sanga penjurunya adalah Dasa Aksara.
— Semua Caru dan Ider-ider, serta Kajang dan seterusnya berisi Dasa Aksara.
Kalau tidak paham Dasa Aksara maka bisa dipastikan seorang Pemangku berpotensi kilang-kileng jika diberi mandat “muput upakara”. Minimal kepercayaannya tidak terlalu tebal.
Dari upakara kelahiran sampai kematian, hampir semua berisi Bija Aksara, dari Dasa Aksara ke Catur Dasa Aksara, yang disebutkan dalam mantra-mantranya, yang mengandung aksara suci tersebut. Ini ditulis dalam berbagai pedoman puja Kepemangkuan. Kesemuanya ditulis dalam aksara Bali.
Pemangku di Bali: Wajib paham baca tulis aksara Bali. Wajib paham prinsip-prinsip kesucian dan suara, serta aplikasi Dasa Aksara dalam konteks pemujaan dan Kedewataan.
Sekali lagi, demikian rangkuman pesan Lontar Sangkuputih dan Kusumadewa.
Demikian Kepemangkuan Agama Hindu manut kuna dresta dan sastra dresta.
Demikian kepemangkuan di Bali sebelum masyarakat Bali mengenal aksara Latin.
Demikian kepemangkuan di Bali sebelum dibentuk Parisada setelah era kemerdekaan.
Dresta Bali tanpa sastra dresta?
—Mungkinkah mengembangkan Agama Hindu Dresta Bali minus pembelajaran aksara Bali?
—Mungkinkah mengaku pemuka agama Hindu Dresta Bali jika masih buta aksara Bali dan tidak bersentuhan dengan sumber-sumber ajaran suci tertulis yang dipegang dalam tradisi Sastra Dresta?
—Mungkinkah upakara Hindu dresta Bali tanpa keterlibatan pengetahuan mendalam terhadap Aji Krakah Modre dan Aksara ring Kajang, Sawa/Layon, dan seterusnya?
Dresta Bali mencakup empat aspek Dresta yang kita kenal dengan istilah Catur Dresta.
Konsekuensi dari menyebut Agama Hindu Dresta Bali artinya menampung Catur Dresta yang menjadi pedoman dresta di Bali.
- Sastra Dresta
- Kuna Dresta atau Purwa Dresta
- Desa Dresta
- Loka Dresta
Semua aspek ini menjadi empat pilar yang menyangga peradaban panjang Hindu di Bali. Rumah peradaban Bali berpilar empat tiang kokoh ini.
Sangat berpotensi menjadi isapan jempol belaka jika kita mengibarkan bendera dresta di Bali kalau kita diam-diam berdiam diri ketika kehilangan tradisi Sastra Dresta yang bersandar pada kefasihan kita memegang aksara Bali untuk memasuki khazanah ajaran suci yang terkandung dalam ratusan lontar-lontar yang diwarisi di Bali.
Tanpa Sastra Dresta maka rumah peradaban Bali hanya bertiang 3 yang ganjil dan timpang. Jika Bali lepas dari tradisi aksara dan Sastra Dresta: Bisa dibayangkan bagaimana runyamnya nasib peradaban Bali?
Tanpa memahami secara sungguh-sungguh warisan kesusasteraan suci dan tradisi aksara suci yang merekam mantra dan berbagai catatan acara dan upacara, yang sebagian besar masih dalam bentuk lontar-lontar, bisakah kehidupan beragama di Bali menjadi tetap jernih dan tidak ngacuh?
Dalam tradisi tatwa dikenal istilah Sastratah. Ini merupakan salah satu pilar wajib pembelajaran Tatwa (yang mengandung banyak muatan kefilsafatan ruhaniah transendental).
Lengkapnya pedoman pembelajaran itu berbunyi: Gurutah, Śastratah, Svatah.
Tanpa ketiga pokok metode pembelajaran ini seorang dijamin akan ngacuh dan berputar-putar dalam imajinasinya sendiri dalam membahas agama yang diwarisi di Bali. Berpotensi seenak udelnya membahas mantra dan tradisi suci.
Dalam pedoman Gurutah, Śastratah, Svatah, pertama-tama seorang pembelajar harus mencerna dengan asas keteguhan hati dan keterbukaan pikiran “Pengetahuan Suci” yang diterima lewat wahyu oleh para Rsi terdahulu.
Dalam pembelajaran spiritual Bali:
— Kita bukan siapa-siapa jika tidak pernah menerima wahyu secara langsung.
— Kita bukan siapa-siapa jika tidak memiliki kualitas kejernihan tingkat para Rsi dan kita wajib menjadi pembelajar dari ajaran suci yang wahyukan atau dirumuskan oleh para Suci.
— Kita wajib belajar dari sumber sastra yang terpercaya dan punya otoritas dalam garis tradisi suci yang jelas.
Pengetahuan yang diwahyukan para rsi suci baru menjadi pengetahuan siswa itu sendiri lewat proses pembelajaran yang tidak grasa-grusu, bukan instan atau tebak-tebakan. Bukan halusinasi dan kesurupan, seolah-olah paham, padahal baru saja mendapatkan informasi yang belum dicek sumber rujukannya. Seorang pembelajar dalam tradisi suci Nyatra di Bali tidak memakan mentah-mentah informasi yang berseliweran di luar sana. Ia harus merujuk atau menanyakan pada Guru yang punya kapasitas terpercaya.
Untuk mengatasi ketidaktahuan teoretis dari ajaran suci dan ketidaktahuan eksperimental yang berpokok pada persentuhan pengalaman personal dengan “Realitas Sunia”, menurut lontar Wrhaspati Tattwa, di situlah ajaran “Gurutah, Śastratah, Svatah” wajib dipegang. Tahapannya sebagai berikut:
— Pertama, mendengarkan Guru suci (Gurutah).
— Kedua, mempelajari dan merenungkan tulisan atau ajaran suci yang tertulis warisan para Guru suci (Śastratah).
— Ketiga, mempraktikkannya dan menjadikannya sebagai pengalaman batin sendiri secara internal (Svatah).
Ratusan lontar-lontar berisi dresta
Dresta Bali tidak jatuh dari langit.
Pencatatan prinsip dan isi Catur Dresta sudah dilakukan dari era kerajaan Bali Kuno dan bersambung ke Kerajaan Gelgel.
Dari piagam raja-raja Bali Kuno yang dikenal sebagai tambra prasasti atau prasasti tembaga, sampai Pararem dan ratusan Awig-Awig desa-desa pemekaran masa pemerintahan Gelgel di dalam berbagai lontar peninggalan, masih bisa kita jadikan rujukan dresta.
Masing-masing kerajaan di Bali yang merupakan pecahan Kerajaan Gelgel menjadi kerajaan kecil, yang kini jejaknya kita terima sebagai 9 wilayah Kabupaten/Kota di Bali, dahulunya memegang Paswara sebagai pedoman pemerintahan kerajaan. Semua dicatat dalam aksara Bali dan disurat di atas lontar-lontar. Semua ini adalah jejak Catur Dresta yang dinamikanya sangat fluid dan penuh pertimbangan konteks eranya, terutama dalam aspek penataan pemerintah antar dinasti yang terus bertumbuh.
Ini baru satu aspek, yaitu tata pemerintahan Bali kuno dan digantikan era Majapahit dan Gelgel. Dresta yang dipakai ada yang bersifat dinamis dan banyak terjadi transformasi tata cara pengaturan masyarakat di berbagai bidang, termasuk keagamaan yang paling kental yang tidak terpisahkan dari tata negara kerajaan Bali. Ada pula nilai-nilai dresta yang memang tidak bisa ditawar-tawar.
Dalam urusan upakara, dari Dresta Bali pegunungan dan Dresta Bali dataran tidak semua sepakat dengan isi lontar-lontar Plutuk atau dikenal juga sebagai lontar Mpu Lutuk. Bahkan diskusi soal dresta penguburan mayat dan beralih ke pembakaran atau pelebon, bisa kita baca secara jelas bagaimana itu dituliskan pengaturannya dalam lontar-lontar bertema Sawa Prateka. Variasi tata cara Palayon dan Atiwa-tiwa saja sangat beragam dalam kancah dresta. Beragam variasi dan serba-serbi ritual ini baru dipahami secara lapang dan tidak kita pertentangkan kalau paham dengan prinsip-prinsip Catur Dresta, yang salah satu prinsip anutannya adalah DESA MAWACARA, atau DESA-KALA-PATRA.
Demikianlah adanya, Catur Dresta menjadi wajib hukumnya jika mahayu-hayu peradaban Bali. Wajib dipahami.
Aksara Bali harga mati
Kembali ke unduk dan indik Aksara Bali: Aksara Bali adalah harga mati. Harus dipertahankan dan digeluti sebelum terjebak ngacuh membahas dan menyiarkan ajaran-ajaran suci yang terwariskan di Bali.
Jika ingin masa depan krama Bali tidak direcah cacah oleh oknum-oknum ngacuh yang berkoar-koar dulu dan tidak juga mau belajar setelah viral: Warisan tradisi sastra dresta wajib dijadikan pilar rujukan.
Ada ungkapan sangat kasar dalam bahasa Bali seperti ini:
Memunyi sekonden melajah. Sing nyak melajah sesuba munyi ngacuh.
Di sinilah prinsip “Gurutah, Śastratah, Svatah” yang diacu dalam tradisi Nyastra di Bali dijungkil balik.
Sebagai krama Bali yang menyimak berbagai Drama Wacana yang dibawakan oleh oknum yang ditokoh-tokohan di medsos, baik oknum yang kebetulan menyandang jabatan Bupati yang membahas bablas sastra dengan pongah, ataupun orang-orang membahas Bija/Wija Aksara Bali dan mantra-mantra padahal buta aksara Bali, saya merasa was-was dan menarik napas panjang: Bagaimana nasib Agama Hindu Bali dua atau tiga dekade ke depan?
Bali yang berlimpah ajaran sastra dresta dan berbagai rekam jejak peradaban dalam lontar-lontar, ketika kini masyarakat sebagian besar tidak lagi memahami rujukan Sastra Dresta yang ditulis dalam aksara Bali, terlihat menggap-menggap dan terlunta-lunta. Situasi ini semakin hitam-putek dengan ditimpuhi oleh bermunculannya berbagai Drama Wacana di medsos yang diisi oleh berbagai wacana halusinasi.
Situasi ini mirip dengan nasib sekelompok warga terkatung-katung hanyut di tengah lautan karena tidak satupun tahu cara membaca kompas dan tidak tahu cara membentang layar yang telah tersedia lengkap di atas perahu mereka yang tangguh.[T]
BACA artikel lain dari penulis SUGI LANUS