Hai Bintang.
Waktumu berjalan melampaui benda-benda dan sejarah rupanya. Di usiamu yang ke-17 sudah terpilih menjadi pratisipan ARTJOG MMXXII. Wow, bikin iri …
Sebentar, menarik jika menelusurimu ke belakang garis waktu. Mengingat-ingat peristiwa tahun 2009 lampau. Saat itu Bintang mengunjungi komunitas lukis kaca di Batubelah Klungkung. Jika tidak salah kala itu datang untuk Festival “Apa Ini Apa Itu?”.
Sekeluarga mengantarmu ke ruang riang anak-anak Dusun Lepang yang sedang belajar garis dan warna, kaca dan dedaunan. Bintang kala itu masih 4 tahunan. Bersama kakakmu, Abad, menelisik sanggar membuat topi daun lontar, berjalan-jalan di kampung dan pantai menikmati karya instalasi di tepi laut selatan Bali.
Beberapa hari diantaranya untuk mengunjungi sejumlah ruas jalan di Klungkung melihat bekas kerajaan dan sekitarnya. Di samping itu juga berkunjung ke sejumlah tempat rekreasi yang berbau lokal. Terlihat betapa enjoy-nya dirimu. Pasti pikiran dan memorimu mencatat banyak hal.
Agaknya, memahami Bintang saat ini, ternyata tidak lagi semata belajar dan melihat garis. Garis-garismu kini ibarat tool untuk “men-coding” semua medium, artefak, atau benda-benda temuan yang ada di sekitarmu.
Foto karya: Bintang Tanatimur, Smart Creature, digital works, 2021
Sepuluh tahun berikutnya mengalir cepat. Pada 2019 kita berjumpa lagi. Tepatnya dalam sebuah pameran berdua bertajuk “Duo Exhibition – Kepoin Aja” Bintang Tanatimur & Rozzan Favian Jiwani di Sangkring Art Space, Yogyakarta. Aku takjub, tangan Bintang menari-nari dengan ragam medium, termasuk untuk ukuran usia 14 tahun fasih menjangkar konsep visual dan mencarikan konteks pada setiap karyanya.
Ia menjelma sebagai seniman profesional muda. Aku tidak ragu lagi Bintang sudah berada pada pusaran taman sari seni rupa.
Memahami anatomi dunia seni rupa, sang ayah Mikke Susanto tentu mengerti “nutrisi” apa yang dibutuhkan anaknya yang berselera estetik tinggi itu. Pengalaman kerjanya ditancapkan pada Bintang. Ia mendekatkan Bintang dengan masalah sosial, pencemaran lingkungan, dan bahkan menyelidik persoalan-persoalan politik dan kebudayaan. Begitu pula lingkungan keluarga terdekat, tak bisa dianggap enteng turut diserap rapat dalam memori Bintang.
Rumahnya yang ditinggali ibarat terminal, saban hari hilir mudik sahabat bapak-ibunya. Rumah sebagai tempat pesinggahan seniman, kritikus, pemerintah, pemilik museum, dan berbagai orang yang berkepentingan. Hal-hal tersebut menjadi kenangan yang nyempil di antara asosisasi, imaji, memori, dan kenangan Bintang.
Foto karya: Bintang Tanatimur, Papua Part of Indonesia, enamel on ceramic plate & cutlery, d. 27 cm, 2020
Fenomena memori sebagai “peluru” ide dan gagasan seniman, bermula dari bawah sadar. Dimana memori bertumpang-tindih menyembunyikan diri. Para ilmuan mengibaratkan otak manusia seperti komputer memiliki kapasitas yang mengesankan menyimpan kenangan. Ibarat pola pulsa listrik, otak menyimpan kenangan bergerak melalui neutron. Menurut Prof. Susumu Tonegawa menyebutkan ada 2 bagian otak yang berperan dalam mengingat ulang memori yakni
hippocampus bertugas merekam kenangan yang terjadi beberapa hari ke depan, dan korteks bertugas menjaga memori kenangan agar tersimpan untuk selamanya. Memori mendekam di ruang ketidaksadaran, bagaikan magma yang siap menyembur. Bintang sebagai seorang perupa mengakumulasi memori-memori dengan sendirinya sebagai kesadaran persepsi visual. Ingatan yang ter-recall tergantung peristiwa real yang memanggil, atau dengan kesadaran sebagai perupa akhirnya memanggilnya.
Pameran tunggal ke-3 Bintang di Jakarta (2019) menjadi bukti. Tajuk JAMZ atau “jam session” dalam pameran ini diartikulasi sebagai a performance of jazz given without previous preparation secara lugas penting sebagai penanda. Kesan yang muncul adalah emotif referesial. Ini menjadi semacam kredo pengungkapan ekpresi. Hal ini merujuk dunia dalam dan luar saat mengekspresikan emosi. Secara umum mencirikan distorsi atau pemiuhan, brushstroke, dan warna mewakili emosi dari psikologis tertentu tanpa disadari.
Foto karya: Bintang Tanatimur, The Great Trashes, digital works NFT, 2021
Keunggulan seni emotif adalah mampu mengomunikasikan gagasan dan perasaan secara efektif, kuat, dan gamblang secara langsung tanpa direncanakan. Bolehlah, Bintang mengatakan melukis tanpa persiapan sebelumnya, tapi jangan lupa pada tataran ide dan konsep sudah ada jauh sebelum proses penciptaan. Bintang telah melalui tahapan 3 langkah berpikir artistik seperti yang diteorikan Graeme Sullivan di atas.
Tiga langkah berpikir artistik tersebut antara lain eksplorasi medium, menyusun bahasa visual, dan perumusan konteks yang releven. Ketiga tahapan ini menjawab konsep besar yang sudah dipilih. Semacam art blueprint yang sudah ditetapkan dalam otaknya. Art blueprint yang ditetapkan Bintang menjadi “mata air” serial tanpa ujung pangkal untuk proyek-proyek karyanya kini dan masa depan.
Setiap benda yang disentuh, niscaya handwrite Bintang melekat. Kulkas, kompor, sendok, serta alat-alat dapur menjelma art object yang metaforik. Ibarat masuk dalam art machine, keluar sudah “bersih dan berharga”. Dapat dikatakan Bintang sudah punya ideologi berkesenian semacam ini, tanpa disadari sekalipun.
Foto karya: Bintang Tanatimur, Stupid Drawing, mixed media on paperboard, 24×26 cm, 100 pieces, 2020-2022
Aku riang gembira, kali ini kamu juga menyiapkan peta ruang pameran pula. Menggunakan pendekatan dan konsep artistik dalam menata karya. Tentu pameranmu akan menjadi ajang presentasi karya dan sekaligus sebuah peristiwa. Menghidupkan tempat dan artefak agar menjadi mandala penuh makna. Tanpa takut Bintang menjadikan audiens dan energi kasat mata bagai penentu titik-titik pusat perhatian. Tidak lupa karakter figur karikaturistik berdampingan kata dan kalimat berhamburan pada setiap mediummu.
Warna-warna cerah, padat, dan sublim menunjukkan kematanganmu di usia remaja. Masih remaja telah mengantongi art blueprint yang rijid. Wah sekali lagi …. Aku iri.
Congrats Bintang. Happy Birthday. Salam dari Klungkung. [T]