Pandemi Covid 19 yang meluluhlantakkan dunia mengajarkan kita tentang banyak hal, terutama tentang makna cinta kasih.
Semua tahu, semua merasakan, Indonesia juga terkena dampak pandemi sejak awal 2020. Semua sendi kehidupan terdampak, baik ekonomi, sosial, juga tentu saja kesehatan. Saat wabah Covid 19, di masyarakat muncul kepanikan. Pemerintah dengan aparatnya sibuk. Tenaga, pikiran dan waktu para petugas dan aparat pemerntahan terkuras untuk penangulangan masalah pandemi, dan masyarakat juga dituntut untuk ikut peduli.
Banyak kemudian organisasi masyarakat yang mulai perduli akan kondisi ini dengan melakukan berbagai macam kegiatan sosial, termasuk saya yang memang aktif di organisasi kemasyarakat. Saya ikut turun peduli dengan kondisi yang terjadi saat pandemi, salah satunya dengan membentuk relawan Fogging.
Relawan Fogging? Ya. Karena saat bersamaan kasus demam berdarah (DB) di Buleleng sangat tinggi-tingginya, bahkan sampai dikatakan Buleleng termasuk 5 kota di Indonesia dengan jumlah penderita DB tertinggi.
Naluri kemanusiaan saya terpanggil untuk membentuk Relawan Fogging. Apalagi saat pandemi pemerintah mencurahkan konsentrasi pada masalah pandemi Covid 19, sehingga pemerintah juga harus dibantu untuk mengatasi DB yang saat itu juga menghantui masyarakat. Maka turunlah Relawan Fogging ke wilayah-wilayah terdampak DB.
Selain melakukan fogging, relawan tetap juga peduli terhadap masyarakat yang terkena dampak pandemi, salah satunya dengan turun kontinu mengadakan Bakti Sosial Kesehatan (Baksoskes) Peduli Covid 19, ke desa-desa untuk memberikan pengobatan gratis serta pemberian sembako ke masyarakat yang terdampak sekaligus memberikan edukasi ke masyarakat tentang Covid 19.
Edukasi diberikan karena sebagian masyarakat masih sangat awam akan penyakit baru itu, dan wajar kalau masyarakat sangat khawatir, takut dan sangat cemas ketika mendengar kata Covid 19. Apalagi ditambah pemberitaan media yang kadang dipenuhi berita menyeramkan tentang Covid 19.
Penyuluhan atau edukasi sangat dibutuhkan memang. Maka itu, setiap turun bertemu masyarakat saya membawa pesan-pesan agar masyarakat tidak terlalu cemas, khawatir dan takut dalam menyikapi kondisi pandemi itu.
Begitu seringnya saya dan tim turun, sampai ada sahabat saya bertanya, “Apa Dokter tidak takut kena Covid19?”
Saya jawab tidak ada orang yang berani sakit, tapi banyak yang berani mati banyak. Saya jelas takut sakit. Turunnya saya ke tengah masyarakat dalam kondisi pandemi hanya karena rasa terpanggil untuk ikut peduli dengan kondisi yang dihadapi masyarakat di kala pandemi.
Untuk hal ini saya terinspirasi dari seorang pekerja sosial Bunda Theresa dari Kalkuta. Ia selalu merawat orang sakit kusta tanpa APD yang memadai. Di tengah kondisi yang cukup memprihatinkan, Bunda Theresa tetap membersihkan dan merawat pasien kusta. Padahal semua orang tahu penyakit itu sangat menular, tapi ternyata Bunda Theresa tidak tertular.
Ada kekuatan yang luar biasa yang menjadi pelindung Bunda Theresa sehingga Bunda terhindar dari penyakit itu. Kekuatan itu adalah kekuatan cinta kasih.
Kekuatan itulah yang menginspirasi saya untuk tetap turun ke tengah masyarakat saat pandemi Covid 19. Dan syukurnya, sampai saat ini, saya belum pernah kena Covid 19.
Bahkan saat istri saya mengeluh batuk, panas badan dan mulai merasakan gangguan penciuman, langsung tanpa sadar saya katakana, “Wah, jangan-jangan Mama kena Covid19,”. Dan saya sarankan cek laboratorium , dan bener saja positif Covid.
Saat itu saya merasakan terkejut, panik dan khawatir, walau hanya sebentar karena segera saya bisa kendalikan diri saya. Saya langsung anjurkan anak-anak untuk tracing termasuk saya. Dua anak saya positif, dan saya negatif.
Anak saya yang paling besar kebetulan di Denpasar, dan saya minta ia untuk cek, dan hasilnya negatif. Saat itu, saya putuskan isolasi mandiri untuk istri dan anak-anak di rumah, di bawah pengawasan dan perawatan saya. Tentu saya lebih percaya kalau saya sendiri yang merawat istri dan anak-anak, mereka akan lebih cepat sembuh..
Selama isoman di rumah, gejala-gejala mulai hilang, dan hari kesepeuluh saya cek, semua negatif. Dan saya juga mengecek diri saya. Saya negatif. Terima kasih Tuhan.
Inikah kekuatan cinta kasih itu? Secara teoritis dari Natural Therapi dikatakan bahwa kekuatan virus corona dan Covid hanya memberikan dampak pada gelombang 5 sampai dengan 25 Hz. Di atas gelombang itu virus sudah tidak aktif. Pada mereka yang lemah, stress, takut, cemas dan khawatir berlebihan yang gelombangnya dibawah 25 Hz tentunya akan sangat mudah tertular.
Pada mereka yang kondisinya tenang, berpikir positif, justru gelombangnya berada di atas 25 Hz. Dan dikatakan juga, mereka yang diliputi perasaan dan pikiran cinta kasih maka gelombangnya sangat tnggi, sampai dikatakan cinta kasih tanpa syarat bisa sampai gelombangnya mencapai 500 Hz .
Saya juga melihat pada fenomena saat Covid 19, saya belum pernah mendengar ada sulinggih yang meninggal karena Covid 19. Padahal sebagian besar sulinggih sudah tua dan punya komorbid yang sangat rentan kena dan tertular virus.
Kenyataannya, beliau-beliau para sulinggih tetap diberi kesehatan dan terhindar dari virus yang menakutkan itu, Memang, setiap hari, kita ketahui, kewajiban sulinggih selalu melakukan suryasewana, unt mendoakan alam semesta beserta isinya. Dan tentunya doa yang dipancarkan semuanya didasari atas cinta kasih.
Untuk itulah saya semakin yakin bahwa kekuatan cinta kasih menjadi tameng utama pelindung diri. Dan pada hari tumpek klurut yang jatuh pada Sabtu 23 Juli 2022 kemarin kembali kita diingatkan tentang makna cinta kasih untuk keselamatan dan kelangsungan hidup kita. Rahayu. [T]