Dering telepon tiada henti terdengar di lobi sekolah swasta ternama. Petugas front office dengan tergesa menerima panggilan tersebut kemudian menyiratkan ekspresi terkejut namun mencoba untuk tenang dan menenangkan si penelepon. Penelepon adalah seorang orang tua siswa yang dengan panik menghubungi sekolah setelah dia menerima panggilan dari orang yang tidak dikenal dan mengabarkan bahwa sang anak yang bersekolah di sekolah tersebut mengalami kecelakaan. Si anak dilarikan ke rumah sakit. Parahnya keadaan membuat si anak harus segera dioperasi dan membutuhkan uang cukup banyak. Orang tua harus mentransfer sejumlah uang ke rekening tertentu. Panik? Tentu. Orang tua terus berusaha menelepon ke sekolah yang saat itu kebetulan telepon sekolah sedang sibuk. Bertambah bingung, orang tua sudah mulai menyerah dan bersiap mentransfer sejumlah uang. Saat panggilan di terima sekolah, si anak ternyata sedang berada aman di dalam kelas mengikuti pelajaran dari guru.
Adegan tersebut nyata terjadi di sebuah sekolah swasta beberapa waktu lalu sebelum pandemi merumahkan hampir semua orang. Kejadian yang tidak hanya terjadi sekali namun beberapa kali. Orang tua menelepon sekolah dalam keadaan bingung dan menangis mendapat kabar anaknya dalam keadaan kritis padahal anak mereka sedang mengikuti pelajaran.
- Apa yang membuat orang tua percaya bahwa sesuatu yang buruk memang benar menimpa anak mereka?
Dari kesaksian para orang tua, penelepon tak dikenal itu mengetahui nama lengkap, alamat sekolah, perawakan, bahkan nama panggilan si anak dengan baik. Sangat meyakinkan dimana hal tersebut merupakan informasi pribadi si anak yang tidak diketahui sembarang orang. Seolah-olah orang tersebut benar sedang berada di dekat si anak. Panggilan telepon sekolah sibuk saat orang tua berusaha menelepon juga menjadi alasan mereka mudah terpengaruh.
- Bagaimana orang asing bisa mendapatkan akses ke data pribadi?
Informasi pribadi, data diri atau personal information memang hal yang sangat krusial untuk dijaga kerahasiaannya. Namun, belum semua orang berhati-hati dan awas untuk menjaga kepribadian data tersebut. Maraknya penggunaan media sosial menjadi salah satu penyebab bocornya data pribadi ke ranah publik. Seperti halnya kesadaran akan melindungi data pribadi, kehati-hatian dalam menggunakan media sosial juga sama kurangnya. Pengguna merasa aman mengunggah apapun bagaimanapun bentuknya ke akun media sosial mereka tanpa batasan (over sharing) seperti hal-hal pribadi, lokasi terkini, aset kekayaan, identitas keluarga, bahkan alamat rumah dan nomor telepon. Padahal semua itu bisa menjadi boomerang yang menyerang si pengguna sendiri. Contohnya adalah adegan di awal tulisan ini.
Adegan tersebut terjadi karena orang tua sering mengunggah foto anak dengan menyertakan informasi pribadi mengenai si anak. Sekarang ini menjadi hal yang umum saat orang tua membagikan momen bersama anak, kelucuan tingkah polah dan prestasi yang diraih oleh si anak ke media sosial. Sayangnya, unggahan tanpa sensor data pribadi dibagikan dalam keadaan akun yang tidak menggunakan pengaturan private, semua mata dapat melihat unggahan dengan data tersebut. Tanpa menyadari bahaya yang mengintai dari pengguna lain.
Dunia daring luas dengan batasan minim, di dalamnya kita tidak hanya berselancar bersama orang yang dikenal tetapi juga orang asing dari belahan bumi berbeda. Disadari atau tidak orang-orang tersebut bisa saja menyembunyikan identitas asli mereka dan berpura-pura menjadi orang lain. Tidak menutup kemungkinan salah satu dari orang tersebut memiliki niat kurang baik dan ingin mencari keuntungan dari orang lain dengan cara menipu atau kejahatan lainnya.
Membagikan detail data diri dan anak di media sosial bisa memicu terjadinya kejahatan daring atau digital crime. Salah satunya penculikan, baik luring maupun digital. Terma penculikan digital oleh pakar media asal University of Tartu, Estonia, Prof. Andra Siibak dalam artikel “Etika Mengungah Foto Anak ke Media Sosial”, https://tirto.id/fNvo merupakan “pengambilan gambar” tanpa izin untuk kepentingan jahat seperti penipuan dan pemerasan juga penculikan dalam artian sebenarnya.
- Apakah lantas orang tua tidak boleh mengunggah foto anaknya?
Kesadaran berinternet dan bermedia sosial yang awas dari orang tua sangat diperlukan untuk melindungi hak-hak memperoleh keamanan digital bukan hanya untuk mereka sendiri tetapi juga untuk anak. Tidak banyak diketahui dan disadari oleh orang tua bahwa unggahan mereka akan berpengaruh tidak hanya terhadap keamanan namun juga psikologis anak. Tentu saja orang tua mempunyai hak untuk mengunggah foto atau video buah hati mereka sendiri. Namun, ada beberapa hal yang perlu digarisbawahi dengan tinta merah oleh para orang tua.
1. Selalu meminta izin anak sebelum mengunggah.
Dilihat sebagai individu, anak mempunyai perasaan, pola pikir, dan keinginan sendiri yang berbeda satu sama lain. Bahkan berbeda dari orang tua mereka sendiri. Anak-anak juga memiliki akses dan hak penuh akan data pribadi mereka. Sedari dini para anak ini hendaknya sudah dibiasakan untuk mengungkapkan perasaan mereka dan belajar mengambil keputusan. Orang tua dapat melatih anak mengambil keputusan dengan meminta izin kepada anak sebelum menggunggah apapun tentang mereka.
Pentingnya meminta izin dalam mengunggah apapun tentang anaknya perlu ditumbuhkan para orang tua. Hal tersebut dimaksudkan dengan bertanya dan meminta izin kepada anak sebelum menunjukkan foto atau video mereka di media sosial, orang tua juga mengajarkan anak untuk mengasah otaknya menjadi lebih tegas. Seperti yang disampaikan Psikolog anak, Ayoe Sutomo dalam artikel “Dampak Psikologis Mengunggah Foto atau Video Anak di Media Sosial” https://cantik.tempo.co/read/1154597/dampak-psikologis-mengunggah-foto-atau-video-anak-di-media-sosial/full&view=ok
2. Jenis foto yang akan diunggah.
Orang tua tentu selalu antusias membagikan momen bersama anak ke media sosial. Tetapi, perlu diperhatikan momen atau foto apa saja yang aman untuk diunggah. Hindari mengunggah foto telanjang anak walaupun masih bayi. Hal tersebut bisa mengundang pedofil menyalahgunakan foto anak. Usahakan membagikan momen anak dan berfokus pada kegiatan positif yang dilakukan. Hal ini juga untuk menjaga privasi dan kenyamanan anak saat dia sudah bisa melihat unggahan tentang dirinya di masa depan.
3. Melindungi informasi pribadi dan privasi.
Tidak mencantumkan informasi pribadi seperti nama lengkap, tanggal lahir, alamat rumah, alamat sekolah dalam keterangan foto merupakan tindakan yang bijak untuk mencegah terjadinya kejahatan digital. Kemudian, orang tua dapat menggunakan pengaturan private account untuk mengatur siapa saja yang bisa melihat unggahan dalam akun mereka.
4. Menyamarkan aktivitas.
Mengunggah aktivitas positif yang kita lakukan untuk sekadar berbagi atau menjadikan unggahan tersebut sebagai arsip sudah menjadi bagian keseharian. Sosial media sudah menjadi seperti album foto dimana kita bisa melihat kembali momen yang terjadi di masa lalu. Namun, waktu unggahan juga perlu diperhatikan jika ingin mempublikasikan foto atau video diri dan anak. Memberitahukan posisi dan kegiatan kita secara terang-terangan dalam waktu yang sama antara real time dan unggahan cukup beresiko. Keadaan tersebut bisa saja dimanfaatkan oleh orang yang tak bertanggung jawab untuk melakukan tindak kejahatan. Sebaiknya jika unggahan tersebut bukan hal yang mendesak, waktu unggah bisa ditunda sehari atau dua hari setelah aktivitas dilakukan.
5. Meminta izin ke orang tua lain.
Penting bagi orang tua untuk meminta izin orang tua lainnya jika foto yang akan diunggah menampilkan individu lain selain anak mereka mengingat kebiasaan, pola pikir, dan asuh yang berbeda pada tiap keluarga. Hal ini juga untuk menghindari adanya kesalahpahaman di kemudian hari.
Pengetahuan ini juga bisa menjadi bahan diskusi orang tua dan anak dalam memberikan informasi tentang keamanan berinternet dan bermedia sosial untuk mereka, mengingat teknologi informasi dan internet sangat mudah diakses. Anak-anak memerlukan pondasi pengetahuan dan keamanan kokoh untuk memulai dan meyelami dunia daring yang tanpa batas.
Permainan daring dan sosial media memudahkan mereka berinteraksi dengan siapa saja. Bersama dengan anak, orang tua dapat berbincang dengan serius tapi santai tentang dos dan don’ts dalam berselancar di dunia maya. Seperti tidak menggunakan nama asli saat membuat akun permainan online atau media sosial, hanya berbicara dengan orang yang dikenal, memberitahu orang tua saat ada orang asing yang berusaha berkomunikasi, menggunakan bahasa yang sopan saat berkomunikasi, dan yang paling penting tidak menyebarkan foto atau data pribadi kepada orang yang tidak dikenal. Sejak dini anak sebaiknya diingatkan tentang apa itu data pribadi dan pentingnya menjaga agar tetap privat demi keamanan mereka.
Digitalisasi dan penggunaan internet di segala lini kehidupan memudahkan kita menjalani hidup dan berinteraksi. Namun, kenyamanan tersebut harus dibarengi dengan rasa awas untuk melindungi diri dan keluarga. Biar privat asal selamat. Selalu ingat melindungi kepribadian data demi keamanan diri, keluarga dan buah hati. [T]
- Catatan: Artikel ini peraih juara tiga Anugerah Jurnalisme Warga katagori artikel. Pernah dimuat di balebengong.id 14 Mei 2022