Meski susah dan perlu tenaga ekstra, pakem tradisi tari joged bumbung yang kini cenderung kebablasan memang harus terus dikuatkan melalui berbagai cara.
Pada Pesta Kesenian Bali (PKB) XLIV di Kalangan Angsoka Taman Budaya Denpasar, Provinsi Bali, Senin (20/6/2022), digelar Kriya Loka (Lokakarya) Joged Bumbung dengan menampilkan narasumber Tjokorda Istri Putra Padmini, SST.,M.Sn., dosen ISI Denpasar.
Kriyaloka itu mendapat perhatian pengunjung PKB. Para peserta kriyaloka begitu antusias mendengarkan Tjokorda Istri Putra Padmini yang menjelaskan dengan amat rinci, bagaimana pakem tradisi joged bumbung yang benar, yang harus diikuti oleh penari dan para pengibing.
Belakangan ini, kesenian Joged Bumbung mengalami banyak perubahan. Salah satunya yang banyak mengundang kritik pedas dari kalangan masyarakat, yaitu dengan dimasukkan perbendaharaan gerak-gerak pinggul “goyang maut”.
Sebelumnya, masyarakat meyakini joged bumbung merupakan seni pertunjukan Bali yang berkelas dan bermartabat sedangkan belakangan ini dijuluki berbagai macam ungkapan seperti Joged Ngebor, Joged Jaruh dan lain sejenisnya.
Untuk itulah, Tjokorda Istri Putra Padmini mengajak seluruh peserta untuk menjaga dan mencintai kesenian Joged Bumbung yang telah ditetapkan sebagai warisan budaya dunia oleh UNESCO (PBB) pada Tanggal 2 Desember 2015.
“Generasi muda mestinya memiliki peran untuk menjaga kesenian ini,” katanya.
Foto: Tjokorda Istri Putra Padmini, SST.,M.Sn. (kanan)
Joged Bumbung itu sebagai bagian dari seni pertunjukan Bali yang memiliki nilai estetika dan popularitas tinggi, namun belakangan ini dijuluki sebagai kesenian murahan dan remehan. Itu bermula dari keriuhan pementasan Tari Joged yang merebak gaduh sejak tahun 2003 yang dihebohkan oleh rekaman audio-visual komersial “Joged Goyang Maut atau Goyang Ngebor”.
Audio visual itu membeberkan sebuah pementasan Tari Joged yang direkam. Kendati dengan mutu pengambilan gambar yang amat amatiran, tetapi detail gerak penarinya melakukan “goyang maut” yaitu laku gerak-gerak persetubuhan, dan dipamer syur.
Expose terhadap peredaran VCD Tari Joged Porno tersebut mengundang perhatian dan keprihatinan banyak kalangan menjadi perbincangan seru ditengah masyarakat. Pemerintah Daerah (Pemda) Bali segera merespon, tak kurang dari dua kali tahun 2015 dan 2018 melakukan pembinaan ke Sekaa Joged Bumbung di Kota dan ke penjuru Kabupaten di Bali. “Upaya pembinaan mengembalikan tata tari yang etis-estetik dari seni pertunjukan ini dihimau, diharapkan dan diberi arahan,” sebutnya.
Walau melakukan pembinaan secara rutin dan serius, akan tetapi, harapan tinggal harapan saja. Belakangan pagelaran Tari Joged Bumbung semakin liar, terpantau dari unggahan media digital hasil rekaman nyata di lapangan arena lokasi pementasannya hampir menyeruak dari seluruh Bali.
Sebagian besar para penari joged itu keblabasan bergoyang dengan kain tersibak pamer paha yang vulgar. Pada bagian ibing-ibingan beberapa penari Joged Bumbung dengan beraninya melakukan gerak-gerak pinggul yang erotis dalam posisi yang berhadap-hadapan demi memenuhi permintaan penonton, sebagai bentuk partisipasi penonton.
“Pada umumnya laki-laki dalam Tari Joged Bumbung dimasa lalu sarat dengan pamer erotisme romantis dalam tatanan etika gerak, kini jarang dijumpai lagi, laki-laki yang geraknya tak senonoh lebih diumbar pongaknya,” ucapnya.
Cok Padmini kemudian menyampaikan PKB merupakan helatan seni budaya Bali yang bergengsi adalah memiliki peranan penting didalam melestarikan dan mengembangkan kesenian Bali khususnya seni pertunjukan Bali termasuk kesenian Joged Bumbung.
Berlandaskan visi dan misi PKB yang sangat kuat, yaitu : pengkajian, penggalian, pelestarian, dan pengembangan kesenian, Joged Bumbung dibangkitkan spirit dan rohnya untuk mengembalikan nilai-nilai, norma-norma kemuliaannya melalui pembinaan-pembinaan dan program pagelaran yang dikemas dalam bentuk parade.
Foto: Contoh ibing-ibingan dalam Tari Joged Bumbung yang diperagakan dalam kriyaloka di PKB
Di dalam program pertunjukan PKB, kesenian Joged Bumbung merupakan salah satu pagelaran favorit dengan daya pikat dari penampilan gaya atau stail yang dimiliki dari masing-masing kabupaten / kota, sehingga disetiap pementasannya selalu dihadiri penonton yang membludak dari berbagai kalangan baik anak-anak, remaja dan para orang tua.
“Hal ini dapat dilihat dari antusias masyarakat yang tidak hanya jumlah penonton yang berjubel pada setiap pertunjukannya, tetapi begitu juga partisipasi masyarakat dalam momen “ngibing”.
Adegan ibing-ibingan inilah sebagai identitas pertunjukan joged itu sendiri yang dapat membangkitkan dan menghidupkan suasana setiap pertunjukan lebih bergairah, interaktif, kreatif dan dinamis dengan mengundang gelak tawa para penonton dalam bentuk hiburan segar,” paparnya.
Untuk bisa ikut ngibing dalam Tari Pejogedan ini seorang penonton harus bisa menari (Bali) yang baik karena pengibing sebenarnya hanya membolehkan berinteraksi dengan penari Joged melalui adu gerak tari bukan lewat kontak fisik (memegang, memeluk dan merangkul). Tari Joged Bumbung memiliki pola-pola yang agak bebas, lincah dan dinamis, yang diambil dari gerak Legong Keraton maupun Tari Kekebyaran dan dibawakan secara improvisasi.
“Satu hal yang menjadi daya pikat Tari Joged Bumbung ini adalah gerak-gerakannya yang genit dan sensual dengan goyangan pinggulnya yang merangsang. Oleh sebab itu sejak lama Tari Joged Bumbung dikategorikan sebagai tarian erotis atau igel-igelan buang,” sebutnya kembali.
Pemda Bali kembali unjuk peduli menyampaikan penegasan dan kebijaksanaan yang pada inti spiritnya agar semua pihak berperan aktif menjaga dan menghormati keberadaan Tari Joged Bumbung. Bagaimana efek dari perhatian pemerintah ini, diharapkan berdampak positif, lebih-lebih bila mengingat tari ini bersama dengan delapan tari Bali lainnya telah ditetapkan sebagai warisan budaya dunia. “Semoga Tari Joged insaf dan tobat,” pungkasnya. [T]