Dalam film seri Breaking Bad, tepatnya pada season ketiga. Gus Fring mengundang White (alias Heisenberg) untuk makan malam di rumahnya. Di tengah mereka menyantap hidangan. Gus Fring merasa dirinya kembali ke masa kecil, sebab makanan yang ia santap. Dan ketika itu ia berkata “Cara indra terhubung dengan ingatan selalu membuatku kagum.” Dengan wajah yang puas.
Saya bukan ingin menulis tentang film seri garapan Vince Gilligan tersebut. Bukan pula perubahan psikologis dari Walter White, yang awalnya hanya guru kimia di SMA, berubah secara drastis menjadi pembuat metamfetamina (sabu-sabu). Pun, tidak pula tentang kematian Hank di episode-episode terakhir.
***
Saya ingin mencoba menjelaskan bahwa kata-kata Gus Fring itu begitu relevan dengan pengalaman yang saya dapatkan juga teman-teman Bali di Kota Malang. Tentunya, tidak hanya perantau yang di Malang saja. Mungkin sebagian orang Bali yang merantau di pulau Jawa juga punya pengalaman demikian.
Pertama-tama, ketika berada di Malang, saya rindu kuliner Bali, terutama kuliner sebagaimana yang terkenal di kota asal saya, kota Singaraja di Buleleng. Antara lain masakan Bek Juk, jukut tembak Cik Wati, bahkan sate plecing Cik Isah di kota Singaraja.
Dalam hal kuliner, di Kota Malang, saya mendapati sebagian besar makanan di Kota Malang terkesan manis di lidah. Warung tegal, nasi padang, nasi cumi, nasi ikan, nasi ayam, nasi segala macam nasi, hampir keseluruhan tak familiar di mulut saya. Bahkan warung makan yang tersemat embel-embel “raja sambal” pun sambalnya tetap memiliki cita rasa yang dominan manis. Bagi lidah saya, yang terbiasa dengan makanan kampung halaman di Singaraja, terkhusus dapur ibu, seakan belum bisa berkenalan dengan makanan-makanan di Malang.
Untuk itulah, tak jarang ketika pulang kampung dan sudah waktunya akan kembali ke Malang, Saya berinisiatif membawa bekal be mesere ke Malang, untuk memuaskan lidah saya yang belum juga akrab dengan makanan di rantau. Be mesere adalah sejenis daging sisit atau disuir-suir, lalu diisi bumbu khas, yang mungkin hanya terdapat di Singaraja/
Alih-alih membawa satu karung be mesere,motor saya hanya mampu menampung dua plastik klip besar. Dan itu tak sampai genap sebulan sudah habis, kantong plastiknya sudah kosong melompong. Karena selain saya yang mengkonsumsi, teman-teman saya pun ikut serta. Sewaktu kehabisan be mesere saya kembali harus berkenalan dengan makanan-makanan di Kota Malang. Hitung-hitung untuk mencocok-cocokan makanan itu dengan lidah saya.
Misalnya saya makan ayam bumbu manis, tempe bacem, ayam kremes yang sambalnya seakan tak ada rasa pedasnya. Juga kuah rawon yang sepertinya tak ada campuran pangi sebagaimana di Singaraja. Galau, karena merasa tak ada Bek Juk, tak ada jukut tembak Cik Wati, bahkan sate plecing Cik Isah.
Kalau ada waktu lebih banyak, saya berusaha untuk mencari-cari makanan yang sedikit mirip dengan makanan di kampung halaman.
Tepat sekali, seorang teman merekomendasikan nasi balap kepada saya. Tempatnya di dekat kontrakan, di depan kampus UMM (Universitas Muhammadiyah Malang). Ketika saya selesai mengisi bensin yang berada pas di samping kampus UMM. Saya melihat warung makan yang disebutkan. Bertuliskan “Warung Sasak”. Iya, Lombok. Berpikir bahwa pulau Lombok bersebalahan dengan pulau Bali, saya memiliki pandangan bahwa lidah kita sama, kemungkinan besar makanan kita tak jauh berbeda.
Saya masuk dan memesan makanan yang direkomendasikan teman saya, yaitu nasi balap, tak berselang 15 menit, nasi balap sudah sampai di atas meja saya. Begitu dihidangkan, baunya menyengat, dan rasa panas yang saya hirup sebenarnya bukan dari nasi yang baru dimasak, tetapi dari aroma ayam suwir berwarna merah muda dengan kilauan minyak yang keemas-emasan. Nasi balap terdiri dari ayam suwir pedas (mirip sekali dengan be mesere bali), kacang kedelai, dan kentang yang dipotong memanjang tipis serta digoreng sampai benar-benar kering.
Baru suapan pertama, keharuman dari lembar daun jeruk begitu menggigit dan rasa pedas menempel di dinding kerongkongan saya. Itu membuat saya teringat kepulan asap dari penggorengan ketika ibu memasak be mesere. Kepulan asap itu melambung ke plafon dapur, lalu menyebar, menyerang mata abah, abang dan saya sendiri, hingga terasa perih.
Saya puas, di Malang akhirnya saya menemukan kuliner yang cocok di lidah. Dan itu masakan Lombok.
Setelah cukup lama berada di Malang, saya pun akhirnya tahu bahwa Kota Malang cukup kaya dengan tempoat-tempat makan dengan masakan nusantara, masakan yang berasal dari daerah-daerah lain di luar Jawa. Saya pun merasa bahwa kepingan-kepingan kampung halaman ternyata banyak dan bertebaran di Kota Malang.
Saya menjelajah seluruh kuliner yang berbau-bau Bali di Malang. Mulai dari ayam betutu di Jalan Kembang Sepatu, godoh (pisang goreng) di pasar besar, sampai kopi yang saya rasa persis seperti kopi banyuatis di Buleleng. Semua berusaha saya sentuh dan rasakan, selain sebagai pemuas dahaga, saya anggap saja itu juga sebagai obat rindu saya kepada Bek Juk, Cik Wati, Cik Isah dan kopi Pak Amri di Pantai Pelabuhan Buleleng.
***
Lama-lama saya menemukan berbagai macam ke-Bali-an di Malang sehingga saya makin akrab dan tak merasa asing lagi di kota itu. Selain dari hal makanan dan sejenisnya, ternyata ada hal yang sangat menarik juga yang membuat saya seperti berada di Bali, seperti melihat sejumlah mahasiswa berpakaian adat Bali pada acara-acara tertentu dan menonton kesenian Bali di sejumlah gedung pertunjukan, dan saya terkadang berfikir apakah semua perantauan seperti saya saat mengalami hal-hal semacam itu.
Di Singaraja, di kota asal saya, saya sering berkeliling kota kalau sore sedang cerah-cerahnya, dan tak ada kesibukan. Naik motor melewati pasar Banyuasri. Melintas sekadar melihat taman kota. Lalu berakhir di Pantai Pelabuhan Buleleng. Iya, kegiatan semacam itu juga saya lakukan di Kota Malang, murni saya tujukan untuk menghilangkan rasa lelah dan bosan, misalnya ketika hampir seharian penuh tak punya kegiatan.
Di Singaraja, ketika melihat setiap plat motor yang ada di depan saya, atau ke setiap plat motor-motor yang memutar arah, hampir semua yang saya temui kendaraan itu berplat DK, jelas karena saya hidup di Bali. Dan pada waktu itu tak ada kesan kegembiraan yang khusus. Sungguh, tak ada apa-apa ketika hal kecil itu terjadi di Bali.
Namun ketika saya menjadi anak rantau di Kota Malang untuk pertama kalinya, hidup di luar Bali, hidup di tengah-tengah keramaian lalu lintas, yang semua plat motornya campur-campur. Ada yang B, G, S, P, L dan bermayoritas plat N. Saya merasa kesepian di tengah-tengah keramaian orang. Saya merasa orang Bali pertama yang menginjakkan kaki di bumi Jawa.
Karena masih merasa baru merantau dan belum ada banyak kenalan orang Bali di Malang. Perasaan kesepian masih berselimut dalam diri saya. Sampai berselang waktu sekitar seminggu, barulah saya menemukan teman-teman kampung saya yang berasal dari Singaraja. Rasa kesepian memang menghilang, tapi tak ada kegembiraan khusus, hanya biasa-biasa saja.
Hingga pada suatu hari, selepas kurang lebih setahun menjadi rantauan di Malang. Saya kembali melakukan kegiatan yang sering saya lakukan di Singaraja, healing-healingan. Berkendara mengitari kota yang sudah cukup saya hapal jalannya. Memutari Jalan Besar Ijen, memutari Soehat, mampir sekadar duduk di Taman Merjosari, sambil liat ukhti-ukhti tiktokan.
Merasa rasa puas dalam diri sudah terpenuhi. Saya bersiap untuk perjalanan balik ke kontrakan. Lalu lintas yang menyisir Taman Merjosari memang selalu padat pada jam-jam akan menuju waktu maghrib. Dan saya terjebak di kemacetan tersebut.
Tepat pada detik itulah, tiba-tiba, betapa dengan mendadaknya, sekonyong-konyongnya, mata saya mengarah ke motor sepasang suami istri yang tak saya kenal, yang ada di depan saya. Lagi-lagi secara tidak sadar, mata saya sedikit menunduk ke bawah, dan saya tak percaya apa yang saya lihat. Ternyata plat motor sepasang suami istri dengan anak di tengahnya tersebut adalah DK.
Sungguh, ada perasaan yang tak bisa diuraikan mengerubungi saya, perasaan yang kalau bisa dibilang begitu paripurna. Di belakang mereka saya senyum-senyum sendiri. Tak memahami kenapa saya begitu senang dan bahagia. Sekelebat saya seakan berucap dengan senyum tipis-tipis “ternyata aku tidak sendiri di sini.”
Pasangan suami istri itu masih berada di depan saya, hingga lalu lintas kembali normal. Tiba di perempatan, mereka mengambil haluan yang berbeda dari saya. Dalam perjalanan saya masih terus menyeringai memikirkan kejadian itu. Sampai di kontrakan saya berteriak dan menyampaikan momen itu kepada teman-teman kontrakan. Ternyata mereka pun merasakan apa yang saya rasakan.
Selepas kejadian itu, saya banyak menemukan di jalan sekitaran kampus-kampus, warung makan, kedai kopi dan juga lampu merah, motor-motor yang berplat DK. Melihat mereka seakan saya sudah mengenal mereka lama sekali. Saya seperti merasa kita sudah saling kenal satu sama lain, jauh sebelum pertemuan di tempat rantauan.
***
Benarlah kata Gus Fring. Keterpukauannya terhadap cara kerja indra kita, membuat saya berfikir demikian dan memercayai itu. Bahwa indra bekerja mengenali, merasakan dan merespon serangkaian peristiwa. Dan begitulah, indra saya mengenali lagi apa yang pernah saya kenali, dan indra saya merasakan lagi apa yang pernah saya rasakan. Tentunya dengan euforia yang beda juga ada sentuhan nostalgia di dalamnya.[T]