Bagi generasi milenial, peristiwa ini mungkin tak ada artinya sama sekali. Tapi bagi saya, peristiwa ini adalah keajaiban yang bisa saja menjadi ciri, cihna, atau petunjuk di tengah berbagai krisis, seperti krisis air yang kita hadapi saat ini.
Tabe Pakulun Ida Ratu lan Ida Dane sami
Ceritanya bermula pada 7 Maret 2022. Saya mengikuti upacara ritual pamungkah yang dilaksanakan oleh Subak Ganggangan di Pura Batu Lumbung di Desa Adat Soka, Desa Dinas Senganan, Penebel, Tabanan.
Ritual pamungkah itu adalah ritual untuk memohon berkah pada Ibu Pertiwi agar padi yang telah ditanam di subak kami tumbuh subur. Kami memohon Anugrah Sang Ibu di Pura Ulun Siwi Batu Lumbung.
Selama ini, secara turun-temurun, memang ada hubungan khusus antara kami yaitu Desa Adat Pagi sebagai krama Subak Ganggangan dengan Desa Adat Soka sebagai Pangempon Pura Batu Lumbung.
Karena secara fisik sampai saat ini kami masih mengakui bahwa salah satu bangunan palinggih yang ada di Pura Batu Lumbung adalah milik krama Ganggangan. Palinggih itu adalah Palinggih Ibu atau Pura Ibu. Terletak di Jeroan Pura Batu Lumbung, di sebelah kiri palinggih utama atau pamukian yang berupa Batu besar.
Palinggih Ibu itu sendiri berbentuk Padma bersanding dengan tiga buah Padma lain. Sedangkan di sebelah kanan Palinggih Utama itu berdiri juga Padma yang merupakan Palinggih Pucak Bukit Puwun dan Palinggih berupa meru tumpang lima yang merupakan Palinggih Ulun Danu Tamblingan.
Pagi itu saya sendiri sedikit terlambat sampai di lokasi Pura. Prajuru dan beberapa tokoh Subak sudah siap memulai ritual saat saya mulai memasuki areal Jeroan Pura Ulun Siwi Batu Lumbung. Setelah memberi salam hormat pada yang sudah lebih dahulu hadir, pandangan saya pun langsung tertuju pada palinggih utama yang berupa batu besar.
Alangkah terkejutnya saya, palinggih utama yang secara fisik berupa batu besar itu seluruhnya tertutup karo, atau kara, atau kekara, yakni tumbuhan merambat sejenis kacang. Orang menyebutnya dengan nama kekara tahun atau karo tahun. Itu tumbuhan yang sangat langka.
Saya terkejut, karena sekitar bulan lalu saya sempat nangkil ke Pura itu. Saat itu palinggih yang berupa batu besar itu bersih, tanpa ada tanaman di di atasnya. Saat itu, seorang pemangku memang sempat melihat karo tahun itu tumbuh di sisi palinggih batu besar, namun tumbuhan itu masih kecil.
Tentang tumbuhan karo tahun memang sudah sangat langka, dan sudah tidak ada yang membudidayakan. Artinya, jika tak dibudidayakan, mungkin sangat jarang (atau bahkan tidak ada) yang menyimpan bijinya. Lalu, setelah sekian lama taka da tumbuhan karo tahun, kenapa bisa tumbuh seakan-akan begitu saja di sisi palinggih batu besar.
Dalam hati saya bersyukur luar biasa karena diizinkan melihat peristiwa itu. Sekali lagi, mungkin tak banyak yang takjub melihat hal itu. Mungkin hanya saya yang terheran-heran, lalu merasa senang dan bersyukur. Kenapa?
Ceritanya begini. Semasa kecil kakek saya sering bercerita tentang Pura Batu Lumbung ini, di mana Pura itu berkaitan dengan kisah-kisah raja di Kerajaan Tabanan. Selain itu, Pura itu juga berhubungan sangat erat dengan masalah-masalah air, kesuburan dan kesejahteraan rakyat di wilayah Tabanan.
Konon, berabad-abad lalu, saat Kerajaan Tabanan mengalami krisis luar biasa, Raja mengutus satu tim khusus untuk melakukan semacam ekspedisi atau eksplorasi ke daerah utara Tabanan, ke lereng-lereng gugusan Gunung Batukaru.
Setelah beberapa hari menelusuri wilayah utara, rombongan menemukan batu besar. Rombongan menaruh bibit kacang kekara atau karo tahun di batu itu, lalu rombongan berkemah di daerah itu. Besoknya, rombongan atau tim ekspedisi itu kaget karena biji karo tahun itu tumbuh rimbun dan rambatannya menyelimuti batu besar itu.
Artinya, dalam waktu semalam, biji itu tumbuh dan langsung merambat dengan rimbun. Rombongan kemudian mempercayai bahwa tempat itu merupakan sumber atau akar kemakmuran untuk jagat Tabanan.
Batu besar itu adalah palinggih utama di Pura Ulun Siwi Batu Lumbung yang sekarang. Dan sampai saat ini keberadaan Pura Ulun Siwi Batu Lumbung itu tetap menjadi Huluning Subak Tabanan.
Jadi, tumbuhnya kekara atau karo tahun saat ini di palinggih batu besar itu bisa saja diartikan sebagai ciri akan tumbuhnya kembali kemakmuran setelah kita dihantam berbagai krisis. Atau, hal itu bisa dijadikan ciri atau pengingat untuk para penguasa (raja zaman sekarang) untuk turun kembali atau mengirimkan tim khusus untuk melihat kembali atau melakukan penelitian mendalam, sekaligus memelihara sumber-sumber air, sumber kemakmuran, atau sumber penghidupan rakayat di daerah hulu.
Terima Kasih, Matur Suksema, Leluhur sami. [T][Editor: Adnyana Ole]