Wacana tentang pertunjukan wayang masa kini terus bergulir dari pembahasan bahwa seni pewayangan mengalami penurunan karena fenomena yang terjadi saat ini ketika pertunjukan wayang sebagai bali-balihan atau hiburan tergerus oleh berbagai jenis hiburan khas modern, baik kehadiran televisi yang menampilkan banyak hiburan, begitu pula smart phone yang mampu menarik perhatian masyarakat secara personal.
Seni pewayangan di sisi lain juga mengalami perkembangan, terlihat dari hadirnya dalang-dalang muda dan juga dalang wanita yang mampu menyaingi keterampilan memainkan wayang, layaknya seperti para dalang pria, serta dapat dilihat dari perkembangan jumlah siswa maupun mahasiswa yang mengambil jurusan seni pedalangan disekolah dan perguruan tinggi seni di Bali yang memiliki jurusan pedalangan. Selain itu, munculnya karya-karya eksperimental juga mewakili atas perkembangan wayang tersebut.
Perkembangan yang pesat dalam seni pewayangan saat ini menyebabkan munculnya konsep-konsep baru yang ditawarkan dari para pengkaryanya, salah satu konsep yang hampir selalu digunakan oleh para pencipta karya pewayangan adalah konsep Teater Pakeliran yang merupakan sebuah konsep pertunjukan dengan memadukan seni teater dan seni pakeliran.
Teater Pakeliran sebagai konsep garap
Teater Pakeliran dapat dibagi menjadi dua suku kata yaitu teater dan pakeliran. Teater berasal dari kata Yunani yaitu theatron yang berarti tempat pertunjukan. Dalam perkembangannya kata teater memiliki arti lebih luas dan diartikan sebagai sesuatu yang dipertunjukan di depan orang banyak (Bandem, 1996, hlm. 9).
Di Indonesia, kebaradaan teater lebih dikenal dengan sebutan teater daerah karena pertunjukannya yang bersifat tradisional. Salah satu kesenian yang juga dapat dikategorikan sebagai bagian dari teater daerah adalah pertunjukan wayang kulit walaupun dalam arti harfiah dari wayang adalah bayangan, namun dalam kaitannya dengan teater tradisional wayang juga dikaitkan sebagai seni teater yaitu pertunjukan boneka yang terproyeksi melalui bayangan di panggung/layar dan sutradara ikut bermain di dalamnya berbeda dengan sandiwara atau film. Sutradara dalam pertunjukan wayang sebutan dengan dalang.
Pakeliran adalah istilah yang ditujukan untuk sebuah pertunjukan kesenian wayang yang menggunakan kelir/layar sebagai salah satu medium utamanya. Dalam pertunjukan pakeliran menggunakan pencahayaan untuk menyinari wayang agar mampu menghasilkan bayangan dari wayang tersebut. Dalang sebagai tokoh utama dalam kemajuan kesenian pewayangan saat ini mengalami puncak kreativitasnya sehingga keberadaan pakeliran saat ini mengalami perkembangan yang melahirkan jenis-jenis pakeliran baru seperti Kelir berkembang; Kelir yang tersusun tiga; Kelir lebar; Kelir bulat; Kelir segi tiga; Kelir dinamis; dan lain sebagainya.
Maka, Teater Pakeliran dapat didefinisikan sebagai sebuah pertunjukan pewayangan dengan memadukan teater (aktor manusia) dan wayang di dalamnya yang bertujuan untuk mempertegas suasana dan menambah kesan “baru” dalam seni pertunjukan pewayangan.
Awal mula penyebutan Teater Pakeliran sebagai sebuah konsep belum dapat dipastikan dengan jelas, namun penulis meyakini bahwa penyebutan Teater Pakeliran muncul karena seniman pengkarya terdahulu tidak ingin meninggalkan unsur tradisi yang diwarisi oleh lehururnya yaitu kelir/layar/pakeliran, maka medium apparatus tersebut dimasukkan kedalam penyebutan konsep ini dan munculah identitas baru yaitu Teater Pakeliran.
Perpadun aktor dan boneka/wayang sebagai sebuah konsep pertunjukan seni bukan menjadi hal yang baru, hanya saja penyebutan konsep ini sedikit berbeda. Istilah penyebutan Teater Pakeliran karena hanya menambahkan medium layar/kelir didalamnya, sedangkan konsepnya sama yaitu memadukan unsur teater wayang (boneka) dengan teater manusia. pada abad ke-20 konsep ini disebut puppet theatre (teater boneka). Dalam buku form of puppet, menyebutkan :
the appearance of living human being on the puppet stage is a factor that supports the “puppet characteristic” of the subject. this is nothing new in conteporary puppet theatre. the mutual performance of the puppet and the actor has been around for a verylong time. (Tomanek, 2006:110)
Pernyataan diatas menunjukan bahwa keberadaan konsep ini sudah ada sejak dahulu dan masih eksis hingga saat ini. Eksistensi dari konsep yang memadukan unsur wayang dan aktor manusia ini terlihat dari periodeisasi penciptaan karya pewayangan di Bali.
Pencipta teringat dengan kisah Dalang Buricek yang mencoret wajahnya dengan latu (abu dari lampu wayang) dan mengambil pengutik (pisau belati) untuk merobek kelir serta menjulurkan kepalanya sambil tolah-toleh dan menari menampakkan giginya (ngejengit). melihat gelagat dalang Buricek yang aneh dan lucu tersebut, kontan raja tertawa terbahak-bahak dan dengan bersamaan rakyatpun ikut tertawa. Akhirnya raja memuji dan mengakui dalang Buricek akan kepintaran dan kepiawaiannya.
Kisah diatas menunjukan bahwa spontanitas Dalang Buricek merupakan salah satu ungkapan teatrikal yang dilakukan ketika pertunjukan wayang dalam kelir dengan media wayang dua dimensi yang ia lakukan tidak dapat menarik perhatian penonton maka diperlukan sebuah inovasi agar mampu memikat penontonnya dengan salah cara yaitu sebuah teater. Dalang Buricek dapat dikatagorikan sebagai pemain teater karena dalang yang terlihat secara otomatis dianggap sebagai aktor, yang memiliki dunianya sendiri (Tomatek,2006:110). Dari kisah tersebut sebagian dalang mempercayai mitos bahwa merobek bagian atas kelir/layar merupakan sebagai sebuah pernghormatan kepada dalang buricek dan berkembang hingga saat ini.
Problematika dalam konsep Teater Pakeliran
Namun yang terjadi saat ini, Teater Pakeliran sebagai sebuah konsep yang populer dalam seni pewayangan mulai mengalami keraguan oleh penontonnya, dimana dalam pertunjukannya keberadaan teater akan lebih mendominasi karena teater lebih mudah digarap sedangkan fungsi medium kelir yang digunakan hanya sebagai penunjang dan wayang yang muncul dalam kelir tidak memiliki porsi lebih banyak dibandingkan dengan keberadaan teater (manusia). Tanggapan penulis memiliki persamaan dengan Tomanek (2006:7) yang menyebutkan bahwa :
On a stage that has been designed for puppets of smaller proportions, the live actor seems too dominant and takes on a special relationship with the puppet (Gulliver amidst Lilliputians, Ivan the Great as the power of Russia, Snow White amongst the dwarfs, a Hunter amongst the animals, etc). Another example appears with the actor-puppeteer; the space doesn’t seem to belong to him. The spectator “doesn’t want” to see him; so if the designer doesn’t try to fulfill their wish by using other stronger barriers (the colour of the puppeteer’s costume verses the colour of the puppet, larger movements of the puppeteers, his gestures, small mcvements of the puppet’s abilities, etc), the size of the space serves to the puppets’ advantage, and the puppeteer becomes “invisible”.
Dari penjelasan diatas, Maka perlu adanya suatu rumusan yang tepat untuk mengkomposisikan Teater Pakeliran sebagai sebuah konsep yang popular digunakan dalam kalangan seniman dalang khususnya dalang kontemporer saat ini.
Ketika perkembangan Teater Pakeliran sangat eksis sebagai sebuah konsep penciptaan pewayangan, pengkaryanya mulai tidak menghiraukan elemen-elemen kecil yang berpengaruh besar dan dapat berdampak buruk pada pertunjukan Teater Pakeliran tersebut. adapun elemen-elemen tersebut seperti :
- Gerak berlebihan yang dihasilkan oleh aktor sehingga gerak wayang yang hanya dapat digerakan secara sederhana akan terlihat lemah dibandingkan tokoh manusianya.
- transisi dari pakeliran ke teater. Keluar masuk wayang dan aktor tidak di komposisi dengan dengan baik sehingga ketika aktor masuk dari samping kanan dan berpindah adegan ke layar maka terkadang wayang keluar dari kiri yang seharusnya jika aktor masuk dari kanan maka wayang keluar dari kanan.
- warna kostum actor yang terlalu mencolok seperti merah, kuning, hijau, dll. jika pemain teater menggunakan kostum dengan warna yang lebih mencolok dari wayang yang hanya sebuah bayangan dengan warna hitam dan putih, maka wayang akan mengalami penurunan kwalitas dari pada pemain teater. Seperti contoh adegan raja dengan abdinya, tokoh raja pada bagian wayang yang hanya hitam dan putih sedangkan abdinya menggunakan busana yang berwarna bahkan berisi motif emasnya. hal kecil seperti ini akan berdampak besar pada karya wayang dengan konsep Teater Pakeliran.
Selain hal diatas, Pengkarya melihat adanya ketidak pastian tentang keberadaan konsep Teater Pakeliran saat ini, dimana perlu adanya satu komposisi yang jelas dalam konsep tersebut seperti persentase teater dengan penggarapan pakeliran, musik dengan penggarapan naskah, dll, sehingga mampu tercipta suatu karya yang mewakili keberadaan konsep Teater Pakeliran tersebut.
Menyikapi problematikan tersebut. maka dapat dikatakan bahwa secara kuantitas seni pedalangan mengalami perkembangan namun secara kualitas mengalami penurunan, pernyatan tersebut langsung di konter oleh pandangan bahwa penurunan kualitas yang dimaksud yaitu para pencipta karya pewayangan menciptakan karya dengan menggunakan konsep Teater Pakeliran namun tidak memahami secara mendalam tentang keberadaan konsep tersebut yang menyebabkan muncul bahasa “yang penting misi (yang penting isi saja)” baik dari penambahan teater atau pakelirannya. Sedangkan secara mendasar konsep Teater Pakeliran harus mensinergikan antara teater dan wayang atau pakeliran tersebut.
Perlunya formulasi konsep Teater Pakeliran
Konsep Teater Pakeliran membutuhkan pemetaan konsep secara mendasar. Mengingat salah satu karya wayang yang diciptakan dengan konsep Teater Pakeliran oleh Penulis sendiri dengan judul Wayang Ental dirasakan sangat kompleks dan rumit dalam penggarapannya sebagai pertunjukan wayang yang konsep Teater Pakeliran.
Teater Pakeliran sebagai pondasi dasar dalam penciptaan karya seni wayang yang tegolong baru membutuhkan suatu formulasi yang tepat. Dalam perkembanganya, formulasi yang telah terukur serta terpetakan tersebut akan menjadi gambaran dasar sebuah konsep ‘Teater Pakeliran’ yang dapat mempermudah proses kreatifitas seniman pedalangan dalam menentukan persentase dalam masing-masing aspek pada bagian teater dan pakelirannya. [T]