Penyataan Gubernur Koster Selasa (8/2/2022) yang intinya mengimbau agar warga Bali lebih memilih merayakan Hari Tumpek Krulut ketimbang Valentine menuai beragam tanggapan di media sosial. Tak kalah, hal ini juga menjadi obrolan di dunia ‘luring’, macam pangkalan Ojol, warung kopi, pasar, dan yang lainnya. Tampaknya petimbangan utama imbauan ini karena Tumpek Krulut adalah budaya Bali, sementara Valentine tidak.
Sesungguhnya telah semenjak lama sudah beredar artikel maupun berita ringan yang memuat tentang keberadaan Tumpek Krulut. Sejalan dengan pernyataan Gubernur Koster, tulisan-tulisan itu menyebut Tumpek Krulut dapat dijadikan substitusi Valentine.
Meskipun demikian tidak banyak juga umat yang merasa kaget. Barangkali karena sangat banyak tumpek bahkan reahinan Hindu di Bali yang juga bertema kasih sayang, sebut saja tumpek uye kasih sayang kepada binatang, tumpek wariga kasih sayang kepada tumbuh-tumbuhan, nyepi kasih sayang kepada alam, tumpek landep kasih sayang kepada perkakas sehari-hari, dan semacamnya.
Kasih sayang antarsesama manusia bahkan bisa terkandung dalam rerahinan yang lebih banyak lagi. Namanya juga ritual komunal, pastinya memerlukan kerjasama, koordinasi, saling pengertian, dan semacamnya.
Menjadi wajar bila banyak orang yang gerah dengan dampak buruk perayaan kasih sayang yang dianggap terlalu sensual semacam kesalahan memaknai Valentine. Bukan rahasia lagi jika pada hari ini selain cokelat dan bunga yang laris manis, juga alat kontrasepsi beserta kamar short time. Mesti saya tak punya datanya tentu banyak pula seks pranikah, kehamilan yang tidak dikehendaki, hingga pelecehan seksual.
Sebegitu besarnya ‘bahaya’ kekeliruan merayakan Hari Valentine sehingga banyak orang berpikir apabila diganti dengan perayaan Tumpek Krulut yang sakral tentu tidak mungkin ada pelanggaran norma-norma kesusilaan hingga hukum. Sekali lagi ini baru dugaan dari tempat ngobrol. Namun demikian jangan lupa Hari Suci yang lekat dengan ‘suasana malam’ seperti Siwaratripun ditengarai kerap dijadikan ajang berbuat menyimpang oleh kaum remaja.
Bayangkan, para remaja tentu akan diizinkan oleh orangtuanya apabila menyebut hendak sembahyang bersama. Setelahnya siapa yang bisa menjamin jika mereka benar-benar bersembahyang. Apalagi kita tahu bersama jika kaum remaja yang baru memasuki masa pubertas seringkali berbuat di ‘luar batas’.
Dengan tanpa bermaksud mengecilkan keberadaan kaum remaja yang taat dalam pengendalian diri, kerawanan ini membuat orangtua atau guru serba gamang untuk bersikap. Jika tidak diizinkan untuk pergi, jelas-jelas anaknya akan bersembahyang. Bila diijinkan tidur mereka juga tidak nyenyak. Tidak sedikit pula orangtua yang harus ‘majagra’, berkeliling memastikan keberadaan anak gadisnya dari satu tempat ke tempat lain saat Siwaratri.
Saat majagra bersama di sekolah guru-guru juga ekstra ketat mengawasi anak didiknya dengan seksama, takut kalau-kalau ada yang mojok atau kabur dari sekolah. Mereka juga menghadapi dilema yang tiada berbeda dengan para orangtua siswa. Jika boleh jujur tentu mereka ingin meniadakan kegiatan itu. Namun kembali lagi, pada esensinya kegiatan tersebut adalah suci.
Sesungguhnya bila dicermati beberapa versi sejarah Hari Valentine juga tidaklah terlalu buruk. Malahan versi-versi kisah itu menampakkan citra kesetiaan dan penghargaan kepada cinta sejati. Sebut saja St. Valentine yang dibunuh oleh Kaisar Claudius karena telah menikahkan pasangan kekasih yang saling mencintai secara sembunyi-sembunyi.
Versi berikutnya menyebutkan tokoh ini jatuh cinta kepada seorang gadis, puteri sipir penjara yang diduga juga mencintainya. Kesetiaan Valentine yang membawa citanya sampai mati semakin membuat kisah ini mashyur. Kendatipun ada juga yang menyebut Valentine sebagai bagian dari ritual kuno berama Lupercalia yang identik dengan seksualitas dan kekerasan.
Sebagai manusia yang beradab tentu kita telah dapat memilih mana nilai-nilai yang dapat diadopsi atau sebaliknya dihindari dari budaya-budaya import. Justeru kita terlihat kurang berwawasan bahkan kurang teguh iman ketika menyebut suatu hal buruk namun ternyata tidak mampu menjelaskan keburukan-keburukannya secara moderat.
Sementara di lain sisi kita juga telah latah meniru tradisi dari luar seperti upacara bendera (bendera pertamakali muncul pada kebudayaan kuno di kawasan Laut Tengah), baris berbaris (pertamakali muncul pada era kekaisaran Romawi), lagu kebangsaan (muncul pertamakali di Belanda dengan judul Wilhemus), dan semacamnya. Bukankah hasil-hasil meniru itu tidak menimbulkan sesuatu yang buruk bahkan menjadi hal yang wajib ketika dikelola dengan arif ?.
Jangan sampai pula kita mentabukan Hari Valentine karena kebobrokan-kebobrokan yang sesungguhnya berasal dari dalam. Kita malah gagal mengadopsi nilai-nilai luhurnya seperti kesetiaan terhadap pasangan maupun sesama serta curiga kepada dampak buruknya saja. Saya jadi ingat kisah orang-orang tua masa tahun 90-an yang melarang anak-anaknya mengkonsumsi apel merah import.
Bibi saya mengatakan apel itu mengandung racun. Beruntung saya sempat memergoki bibi saya tengah sembunyi-sembunyi mengupas apel merah untuk kemudian dimasukkan ke dalam mulutnya. Ketika saya tanyakan kenapa ia boleh memakannya, dengan agak kagok dia menjawab bila kalau sudah dewasa saya baru boleh memakannya.
Ayah saya juga pernah bercerita jika semasa kecil dilarang untuk ngemil gula merah oleh para tetua. Alasannya bisa menyebabkan rambut menjadi berwarna merah. Baik ayah maupun saya sendiri ketika menginjak dewasa barulah sadar jika makanan itu sejatinya tidak berbahaya. Pelarangan dilakukan karena mereka tidak mampu membelinya dalam jumlah banyak. Maksud saya mengutarakan analogi ini agar kita terbebas dari sifat kekanak-kanakan. Mengkambinghitamkan sesuatu karena kelemahan yang lain. Terang kelemahan itu selamanya tidak bisa diperbaiki karena memang sengaja ditedengaling-alingi.
Disamping sedikit berotokrtik, saya juga mengapresiasi pelestarian dan pemaknaan yang benar pada hari-hari raya khas Bali, tidak saja Tumpek Krulut. Apalagi menurut Gubernur Koster hari ini memiliki kadar Tresna Asih tinggi. Bukankah cinta kasih semacam itu yang tengah dibutuhkan dunia kita yang rindu perdamaian, kesetiaan, kepedulian, dan yang lainnya.
Tetapi sekali lagi upaya pelestarian itu harus disertai tindakan yang tidak setengah-setengah. Jika masih setengah-setengah, apalagi hanya untuk pencitraan, tentu bukan pelestarian namanya. Jangan sampai Tumpek Krulut mengalami nasib sama seperti Siwaratri yang kerap ‘dinodai’. Ada yang berdalih Tumpek Krulut tidak isi acara begadang-begadangan, jadi akan jauh lebih terkendali. Namun mereka lupa Valentine juga tidak mengharuskan, toh juga para remaja ‘nakal’ misa-misaang raga membuat acara begadang hingga nginepang.
Maksud saya ketika pemerintah membuat imbauan yang positif, rakyat juga mesti mendukungnya. Kenapa rakyat mesti mendukung? Bisa jadi ini pertanyaan retorik. Tetapi perlu pula saya jawab dengan pendapat: bila merayakan tresna asih tidak diapresiasi lantas mau apa ?.
Dukungan jelas tidak harus selalu eksplisit. Mengkritik dengan mengajukan saran-saran penyempurnaan juga termasuk dukungan. Asalkan tidak ribut-ribut tanpa solusi. Tugas lain dari sinergi rakyat dan pemerintah adalah memformat perayaan itu dengan tepat serta mendetail. Kira-kira bagaimana acara pembukaan, inti, dan penutupnya. Jika ini disebut hari kasih sayang tentu semua orang bahkan setiap makluk membutuhkan kasih sayang. Biar tidak terlalu luas, kita bicarakan manusia dahulu. Manusia ada berbagai tingkatan ada bayi, anak-anak, remaja, dewasa, dan orangtua. Apabila dibicarakan secara ritual akan berbeda lagi, ada walaka murni, ekajati, dan dwijati.
Semua golongan ini mesti dirinci keterlibatannya pada perayaan Tumpek Krulut. Disamping itu mesti dipikirkan cara agar tresna asih ala Tumpek Krulut tidak dicemari birahi buta sebagaimana yang banyak dikhawatirkan dari keliruan merayakan Valentine selama ini, karenanya dinyatakan perlu diganti. Jangan sampai kita sama-sama bingung dan berujar, “Disesuaikan dengan cara masing-masing saja dan toh, pada-pada suba gédé”.[T]